Apidi Bukit Menoreh, dekat dengan sumber mata air. Panah pemburu tak bakal menghujamnya, onak dan duri tak akan melukainya. Ketulusan hatilah peruntuh putus asa dan murka hatinya. Tenang, tak lagi bergelombang. Api di Bukit Menoreh, tak biarkan mawar kuncup dan mekar. di kaki lembah dan punggung sentosa bukitnya “Aku tak peduli,” teriaknya. Tebal: 360 Halaman Buku Bekas Kondisi : Cukup Harga : 20.000 Stock :(HABIS / SOLD OUT) Judul : Matilda. Penulis : Road Dahl Penerbit : Gramedia Cetakan Kedua, 2001 Judul : Bundel Novel Api DiBukit Menoreh - Hanya ada 8 Bundel jilid 21-99 ( 79 Jilid-belum Tamat ) Isi Perbundel 9-10 Buku. Penulis : Sh. Mintardja APIDI BUKIT MENOREH EPS 359 - 360 Untara mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia berkata, ku tahu, Kiai, tetapi biarlah kegembiraan kita menjadi lengkap. Hari itu tidak akan terlampau lama. Dua ceritaapi dibukit menoreh, cerbung api dibukit menoreh, cersil api dibukit menoreh, api di bukit menoreh full pdf, api di bukit menoreh pdf free download, api dibukit menoreh karya sh mintardja, komik api dibukit menoreh, kisah api dibukit menoreh, api dibukit menoreh lengkap, api di bukit menoreh lengkap pdf, serial api di bukit menoreh Menempelkanlabel HTI, FPI, Politik Identitas, dan tek-tek bengek lainnya, kepada Anies Baswedan, tidak akan mencemari dirinya. Buah karya tangan2 kotor para buzzer itu akan redup dengan sendirinya, hangus oleh gelombang gerakan rakyat "butuh Pemimpin yg ApiDi Bukit Menoreh. Tehni Fotografi. Cersil Nusantara. Cersil Khu Lung. Komik Yakari. Novel Barat. Adventure Asterix Obelix. Kenji. Cersil Chin Yung. Bajiquan Kungfu 8 Mata Angin. Adventur of Tintin. Sulap Vol 2. Judo tutorial. Arad dan Maya. Creative Beading. Kendo. Eyewitness ensiklopedi. Erotic Guide To Better Orgasms. Jet Kune Do AeUR4. ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebelum mereka menjawab, Ki Umbul Telu itu pun berkata pula, “Kami masih ingin juga mendapat petunjuk Angger berdua.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Bagaimana mungkin kami memberikan petunjuk kepada Ki Umbul Telu. Yang mungkin dapat kami sampaikan adalah sekedar gagasan-gagasan yang mungkin banyak berarti.” “Gagasan-gagasan itulah yang sebenarnya ingin kami dengar. Kami akan mempertimbangkan pelaksanaannya.” “Ki Umbul Telu. Bukan maksud kami menolak keinginan Ki Umbul Telu agar kami untuk beberapa lama tinggal di padepokan ini. Tetapi kami masih harus melanjutkan perjalanan kami. Meskipun demikian, kami akan mengusahakan waktu barang dua tiga hari untuk tetap tinggal di sini.” “Tidak hanya dua tiga hari,” sahut Ki Kumuda, “tetapi dua tiga bulan.” Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih menyahut, “Terima kasih, Ki Kumuda. Tetapi kami tidak dapat tinggal di satu tempat untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi kami akan berusaha untuk tidak mengecewakan Ki Kumuda.” Ki Kumuda pun tertawa pula. Dengan demikian, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat segera meninggalkan padepokan di gumuk kecil itu. Mereka tidak sampai hati untuk menolak permintaan para pemimpin di padepokan itu. Ki Umbul Telu memang sedang merencanakan untuk membuka kembali jalur perdagangan dengan para pedagang yang lewat di jalan-jalan yang dianggapnya berbahaya, sehingga mereka memerlukan membentuk kelompok-kelompok agar mereka dapat mengatasi para penyamun di perjalanan. Jika mereka dapat membantu menjamin keamanan di sepanjang jalan itu, maka perdagangan pun akan terbuka kembali. Yang akan lewat tidak hanya orang-orang berkuda yang melarikan kuda mereka seperti dikejar hantu. Tetapi juga para pedagang yang membawa pedati yang dapat memuat berbagai macam barang dagangan yang terhitung agak besar dan berat. Namun dalam dua tiga hari, para penghuni padepokan itu masih disibukkan selain mengubur mereka yang terbunuh, juga merawat mereka yang terluka. Bagaimanapun juga padepokan itu pun masih juga dibayangi oleh wajah-wajah duka, karena ada di antara mereka yang telah gugur di perjuangan mereka mempertahankan perguruan mereka. Karena itu, maka dalam tiga hari pertama setelah pertempuran di bukit kecil itu, Ki Umbul Telu masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk mulai dengan rencananya. Baru kemudian, setelah tiga hari berlalu, Ki Umbul Telu mulai berbicara dengan para pengikut Ki Dandang Ireng yang menyerah dan ditahan di Perguruan Awang-Awang. “Kami tidak dapat menahan kalian untuk seterusnya di sini. Kami pun tidak berhak untuk membuat penyelesaian yang termudah dengan membunuh kalian semuanya,“ berkata Ki Umbul Telu. Para tawanan itu menundukkan kepala mereka. Mereka menjadi berdebar-debar, keputusan apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu. Orang yang dituakan di padepokan itu. Seandainya para penghuni padepokan itu mengambil keputusan untuk membunuh mereka semuanya, maka mereka dapat saja melakukannya tanpa diketahui oleh siapapun juga. Apalagi oleh tangan-tangan kekuasaan Mataram. Tetapi ternyata Ki Umbul Telu tidak akan melakukannya. “Kami, para penghuni padepokan ini,” berkata Ki Umbul Telu selanjutnya, “telah sepakat untuk membuat perjanjian dengan kalian. Kami tahu bahwa perjanjian ini tidak mempunyai ikatan apa-apa. Maksudku, masing-masing akan dapat melanggarnya. Tetapi kita pun harus menyadari, bahwa pelanggaran atas perjanjian itu akan dapat berakibat buruk bagi hari-hari kita di masa mendatang. Kita akan dapat mengambil langkah-langkah yang jauh berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Khususnya kami, penghuni padepokan ini.” Para tawanan itu masih tetap menundukkan kepala. “Dengarlah keputusan yang telah kami ambil. Para penghuni padepokan ini bukan pembunuh yang dapat membunuh kalian dengan hati yang beku. Tetapi kami menghormati hidup sesama kami, termasuk kalian, meskipun kalian adalah perampok dan penyamun. Bahkan kami telah memutuskan untuk melepaskan kalian dari tangan kami. Pergilah. Tetapi seperti yang aku katakan, kita akan membuat perjanjian. Kami akan melepaskan kalian. Selanjutnya kalian tidak akan melakukan lagi perampokan di sepanjang bulak-bulak panjang atau di tebing-tebing sungai, atau dimanapun. Kami akan bekerja sama dengan para pedagang dan para Demang untuk mengamankan lingkungan ini, karena kami sangat berkepentingan. Jika pada suatu ketika kami menjumpai kalian di antara para perampok dan penyamun, maka kami akan terpaksa menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Karena itu, maka sebelum kalian pergi, kami akan memberikan pertanda pada tubuh kalian. Di pergelangan tangan kalian akan kami buat lukisan kecil. Dengan duri dan kemudian diusap dengan reramuan, maka lukisan kecil itu tidak akan pernah hilang. Karena itu, dimanapun kita bertemu, kami akan segera dapat mengenali kalian. Bahkan kami akan memberitahukan kepada para para pedagang, para Demang dan bahkan para petugas dari Mataram yang sempat datang ke lingkungan ini. Mereka yang menjumpai kalian dengan pertanda di tangan kalian, maka mereka akan menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Bahkan kalian akan dapat dihukum mati, karena kalian sudah melanggar janji kalian sendiri.” Tidak seorangpun di antara para tawanan itu yang menyahut. Mereka masih saja menundukkan kepala mereka dengan jantung yang berdebaran. Pertanda di pergelangan mereka itu tentu akan mereka bawa sampai akhir hidup mereka. Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kemauan Ki Umbul Telu itu. Jika ada di antara mereka yang menolak, Ki Umbul Telu akan dapat mengambil tindakan yang lebih keras terhadap mereka. Sebenarnyalah mulai hari itu, setiap orang yang tertawan itu telah ditandai di pergelangan tangan mereka. Seorang demi seorang bergantian. Ada tiga orang penghuni padepokan itu yang mampu membuat lukisan di tubuh seseorang dengan duri, yang kemudian diolesi reramuan yang tidak akan dapat dihapus lagi. Para tawanan itu baru akan dilepaskan jika luka-luka di pergelangan tangan mereka itu sudah mengering. Sementara itu, Ki Umbul Telu akan segera mulai menghubungi beberapa orang Demang yang daerahnya dilalui oleh para pedagang dalam perjalanan mereka. Dalam pada itu, pada hari-hari yang luang itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menjelajahi bukit kecil itu. Di dalam dan di luar dinding padepokan. Mereka melihat-lihat air yang mengalir dari celah-celah batu-batu padas ke lekuk-lekuk yang lebih rendah. Kemudian terjadilah parit-parit kecil, yang jadi aliran yang lebih besar yang dapat mengaliri sawah di kaki bukit itu. Sawah yang dikerjakan oleh para penghuni bukit itu serta para cantrik. Selain untuk mengaliri sawah, para cantrik juga membuat blumbang untuk memelihara berbagai jenis ikan. Sekali-sekali Glagah Putih dan Rara Wulan ditemani oleh orang-orang tertua di padepokan itu. Namun pada kesempatan yang lain, mereka hanya berdua saja berjalan-jalan di sekeliling bukit kecil itu. Ketika kepada Ki Kumuda Glagah Putih bertanya tentang beberapa batang pohon raksasa yang dipagari dan dianggap keramat, Ki Kumuda pun menjawab, “Kita hormati pepohonan raksasa itu, Ngger. Di sela-sela akar-akarnya yang menebar di bawah bumi, tersimpan air. Pepohonan itu sudah memberikan percikan kehidupan kepada lingkungan ini.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata para pemimpin di padepokan itu cukup bijaksana. Dengan caranya, mereka mencegah para penghuni bukit itu menebang pepohonan raksasa yang membuat bukit itu tetap basah. Tiga buah umbul yang besar, beberapa sendang kecil yang bertebaran di lereng bukit, menyatu dengan parit-parit yang menampung air yang merembes dari sela-sela batu padas itu, membuat tanah di sekitar bukit itu menjadi daerah persawahan yang subur. Namun sambil melihat-lihat lingkungan di sekeliling bukit kecil itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat juga melihat kemungkinan, bahwa ada satu tempat yang dapat mereka pakai untuk menyembunyikan peti kecilnya. Hanya petinya. Tanpa isinya, yang sudah dilekatkan dengan tubuh Glagah Putih. Tetapi di luar sadar mereka, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan dengan Ki Kumuda di sisi yang agak curam dari tebing bukit kecil itu, dua pasang mata selalu mengawasi mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berdiri di balik gerumbul perdu di tebing bukit itu, memandang ketiga orang yang berjalan di jalan setapak di bawah tebing yang agak curam itu dengan seksama. “Tentu dua orang yang masih terhitung muda itulah yang dikatakan sepasang suami istri yang berilmu sangat tinggi,” berkata laki-laki yang bertubuh kekar, berdada bidang. Wajah yang nampak keras dengan mata yang cekung itu merupakan ungkapan dari kekerasan hatinya serta kecerdikannya. “Ya,” sahut seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya. Seorang perempuan yang termasuk tinggi dibanding dengan perempuan kebanyakan. Tubuhnya yang ramping itu nampak seakan-akan tidak berbobot. “Kita tidak akan melepaskan kesempatan ini. Mereka-lah sebenarnya yang telah memporak-porandakan rencana kita setelah kita berhasil memperalat Dandang Ireng, sehingga Dandang Ireng tidak berhasil merebut kekuasaan di bukit kecil itu.” “Apa yang sebaiknya kita lakukan, Kakang?” “Keduanya harus kita singkirkan dari bukit ini. Baru kemudian kita mencari kesempatan untuk menguasai bukit kecil itu, sebagaimana yang sudah kita rencanakan dengan mempergunakan Dandang Ireng sebagai alatnya. Kita akan dapat mendirikan sebuah perguruan dengan nama sebagaimana nama perguruan yang sudah ada di sana.” “Bukankah dengan demikian kita harus mulai dari permulaan lagi?” “Ya. Kita tidak mempunyai pilihan. Karena itu maka kita harus segera mulai. Adalah sangat menguntungkan bahwa sekarang kita menemukan kedua orang suami istri itu. Kita akan melenyapkan mereka, sebagai pernyataan bahwa langkah kita yang baru sudah kita mulai.” “Yang seorang lagi?” bertanya perempuan itu. “Bukankah orang itu salah seorang pemimpin dari perguruan ini? Bukankah orang itu yang bernama Kumuda?” “Ya. Tetapi apa yang harus kita lakukan atas orang itu?” “Jika kita melenyapkan sepasang suami istri itu, maka kita juga harus membunuh Kumuda. Tetapi bukankah menyingkirkan Kumuda tidak akan terlalu sulit bagi kita?” “Jika Kumuda itu bekerja sama dengan sepasang suami istri itu?” “Seberapa tinggi ilmu sepasang suami istri yang nampaknya masih terlalu muda untuk menghadapi kita berdua, maka keduanya tidak akan banyak memeras keringat kita. Bahkan bersama Kumuda sekalipun.” “Kumuda termasuk seorang yang berilmu tinggi. Menurut keterangan mereka yang sempat melarikan diri dan melihat cara sepasang suami istri itu bertempur, maka keduanya berilmu sangat tinggi.” “Jangan terpengaruh oleh laporan para cucurut itu. Mereka adalah pengecut yang tidak berguna sama sekali. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka, tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Pada kesempatan mendatang, mereka akan dapat kita jadikan umpan lagi bersama orang lain, sebagaimana mereka menyertai Dandang Ireng memasuki padepokan yang pernah dihuninya itu.” “Jika itu pertimbangan Kakang, baiklah. Jangan biarkan mereka menjadi semakin jauh.” Keduanya pun kemudian bergerak dengan cepat. Bukan hanya perempuan yang bertubuh tinggi dan ramping itu sajalah yang seakan-akan tidak berbobot sehingga mampu bergerak dengan ringan, tetapi laki-laki yang bertubuh kekar itu pun mampu pula bergerak dengan cepatnya. Ketika mereka bergerak di sela-sela gerumbul perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun tiba-tiba berhenti. Ki Kumuda pun berhenti. Tetapi ia tidak segera mendengar sebagaimana didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun beberapa saat kemudian, maka ia pun berdesis, “Ya. Aku mendengarnya.” Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka pun segera melihat dua sosok yang seakan-akan terbang menukik dari belakang gerumbul di atas tebing yang tidak terlalu tinggi itu. Dua orang laki-laki dan perempuan itu pun kemudian dengan lunak menapak di hadapan Glagah Putih, istrinya dan Ki Kumuda. Ketiga orang itu bergeser surut setapak. Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata, “Kalian berdua telah mengejutkan kami.” “Maaf, Ki Sanak,” sahut laki-laki separo baya yang bermata cekung itu. “Kami tidak bermaksud mengejutkan kalian.” “Siapakah kalian berdua, dan apakah maksud kalian menghentikan kami bertiga?” bertanya Glagah Putih kemudian. “Jadi kalian belum mengenal kami?” “Belum, Ki Sanak.” “Baiklah. Jika demikian kami akan memperkenalkan diri kami. Orang menyebutku Gagak Bergundung. Perempuan ini adalah istriku, Nyi Gagak Bergundung.” Ki Kumuda terkejut mendengarkan nama itu. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Jadi kalian berdua inikah yang digelari Suami Istri Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin?” “Kau sudah mendengar namaku, Kumuda.” “Aku sudah mendengarnya. Tetapi kau pun sudah tahu namaku.” “Aku dapat mengenali hampir setiap penghuni padepokan ini, kecuali mereka para pemula. Aku dapat mengenali Umbul Telu, Lampita, Kumuda dan Ganjur, kemudian masih ada beberapa orang lain pada lapisan atas murid-murid Perguruan Awang-Awang. Selain mereka, maka para murid perguruan ini pun membuat tempat tinggal tersebar di atas bukit ini. Selain mereka, masih ada sekelompok anak-anak muda yang tinggal di bangunan utama padepokanmu.” “Dari mana kau tahu?” Orang yang menyebut dirinya Gagak Bergundung itu tertawa. Di sela-sela suara tertawanya ia pun berkata, “Tetapi ada bedanya, Kumuda. Jika aku mengenalmu, bukan karena namamu yang besar dan pantas untuk dikenal. Tetapi aku sengaja berusaha mengenali orang-orang yang berada di atas bukit ini. Berbeda dengan namaku, yang banyak dikenal karena kami berdua memang pantas dikenal.” “Untuk apa kau datang kemari, Gagak Bergundung?” bertanya Ki Kumuda. “Kami hanya ingin sekedar melihat-lihat bukitmu, Kumuda.” “Hanya itu?” “Ya. Tetapi ternyata di sini aku melihat dua orang yang telah mengotori bukitmu ini. Kedua suami istri ini.” “Kenapa kau anggap mereka mengotori bukit ini? Mereka justru telah membantu kami menghadapi saudara-saudara seperguruan kami yang tekah berkhianat.” “Satu cerita yang menggelikan. Apalah artinya dua orang laki-laki dan perempuan ini bagi perguruanmu, yang telah memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi?” “Lawan kami terlalu banyak. Karena itu kami merasa sangat berhutang budi kepada keduanya, yang telah terjun di kancah pertempuran dan ternyata keduanya berilmu sangai tinggi.” “Kau telah dipengaruhi oleh sikap sombong mereka. Aku juga sudah mendengar, seakan-akan keduanya mampu menyapu lereng bukit ini yang dirayapi oleh para pengikut Dandang Ireng.” “Ya.” “Dengan demikian, maka kedatangan kami berdua tidaklah sia-sia.” “Apa maksudmu?” bertanya Ki Kumuda. “Aku, Gagak Bergundung suami istri yang tidak terkalahkan di daerah Selatan ini, ingin membuktikan, apakah benar keduanya berilmu tinggi. Jika mereka mengiyakan anggapan orang bahwa mereka berilmu tinggi, maka mereka harus dapat setidaknya mengimbangi kemampuan kami. Kami berdua tidak mau kehilangan gelar kami, bahwa kami adalah orang-orang yang tidak terkalahkan.” “Gagak Bergundung,” bertanya Giugah Putih kemudian, “apakah sebenarnya alasanmu, sehingga kau menantang kami berdua untuk melawanmu? Bukankah kita belum pernah bertemu dan belum pernah saling bersinggungan kepentingan?” “Sudah aku katakan, bahwa aku tidak ingin kehilangan gelarku. Aku tidak mau ada orang lain yang dianggap berilmu sangat tinggi di daerah kuasaku. Karena itu, maka setiap orang yang muncul di dunia olah kanuragan, harus aku pangkas dan bahkan harus aku bongkar sampai ke akarnya. Bukan hanya kalian berdua yang akan aku musnahkan, tetapi juga perguruan kalian. Guru kalian dan saudara-saudara seperguruan kalian. Aku yakin bahwa kalian bukan lahir dan besar di Perguruan Awang-Awang.” “Apakah alasanmu itu sudah cukup pantas untuk menantang orang lain untuk bertempur?” “Tentu.” “Bagaimana pendapatmu jika kami mengakui, bahwa kalian berdua adalah orang yang memiliki ilmu tertinggi di lingkungan ini?” “Mungkin kau akan mengakui kebesaran namaku di hadapanku. Tetapi esok atau lusa jika kau tidak berada dihadapanku, kau akan berkata lain.” “Bukankah kau dapat mencari kami dan membuat perhitungan?” “Itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Kenapa aku harus menunggu kau ingkari pernyataanmu? Bukankah sekarang kita sudah bertemu? Menurut pendapatku, agar kami tidak membuang-buang waktu, kami akan membunuh kalian bertiga. Sesudah itu kami tidak akan terganggu lagi oleh keingkaran kalian terhadap pengakuan kalian di hadadapanku sekarang.” “Gagak Bergundung,” berkata Glagah Putih, “alasanmu itu tentu alasan yang sekedar kau buat-buat.” Gagak Bergundung itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata dengan lantang, “Apapun yang kau katakan, aku akan tetap membunuh kalian berdua. Apapun alasannya. Karena itu, bersiaplah untuk mati.” “Jadi inilah kenyataan tentang sepasang suami istri yang bernama Gagak Bergundung, dari Goa Susuhing Angin di perbukitan di sebelah Rawa Pening itu?” geram Ki Kumuda. “Nama besarmu ternyata muncul dari kuasa kegelapan.” “Jangan sesali nasibmu yang buruk, Kumuda. Karena aku akan membunuh kedua orang suami istri yang tidak tahu diri ini, maka kau pun akan mati, agar kau kau tidak menjadi saksi kematian kedua orang suami istri ini.” “Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, Gagak Bergundung. Jika sudah waktunya datang, dimanapun serta dengan sebab apapun, maka mati itu akan menjemputku. Tetapi jika hari ini waktumu-lah yang akan datang, maka kau berdua-lah yang akan mati.” “Aku ingin mengoyak mulutmu, Kumuda. Atau kau-lah yang akan mati lebih dahulu dari kedua orang ini.” “Tidak, Gagak Bergundung,” sahut Glagah Putih, “kau berdua atau kami berdua. Kau harus mengalahkan kami lebih dahulu, jika kalian ingin bertempur melawan Ki Kumuda. Kalian berdua memang bukan lawan Ki Kumuda. Sebelum kalian dapat berbuat apa-apa, jantung kalian sudah berhent berdenyut. Tetapi jika kalian lebih dahulu bertempur melawan kami berdua, maka kalian masih akan mempunyai kesempatan untuk menikmati perbandingan ilmu di antara kita.” “Anak iblis kalian semuanya. Baik. Kami berdua akan lebih dahulu membunuh kalian berdua. Tetapi jika Kumuda ingin melibatkan diri, kami sama sekali tidak berkeberatan, karena dengan demikian, maka pekerjaan kami akan lebih cepat selesai.” “Tidak,” sahut Glagah Putih, “kami berdua, dan kalian pun berdua. Ki Kumuda akan menjadi saksi, apakah yang akan terjadi di antara kita.” “Persetan, anak iblis. Kesombonganmu telah menyentuh langit. Tetapi kau akan segera mati. Istrimu juga akan mati. Demikian pula Kumuda. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi bagi kami, Kumuda tidak lebih dari seekor nyamuk yang akan mati dengan sekali tepuk.” “Beri aku kesempatan, Ngger,” geram Ki Kumuda. “Biarlah aku menanggapinya, Paman. Kami-lah yang sebenarnya menjadi sasaran mereka, apapun alasannya. Karena itu, biarlah kami yang melayaninya, karena persoalannya adalah antara kami berdua dan mereka berdua.” “Bagus,” Gagak Bergundung itu pun menyahut dengan nada tinggi, “segera bersiaplah untuk mati. Mayat kalian bertiga akan aku lemparkan ke jurang itu, hingga saatnya baunya mengganggu anak-anak yang sedang menggembalakan kambingnya.” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun berkata kepada Ki Kumuda, “Minggirlah, Ki Kumuda. Biarlah kami berdua melayani kedua iblis dari Goa Susuhing Angin ini.” Ki Kumuda tidak menjawab. Ia sadari kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilaporkan para murid Perguruan Awang-Awang. Karena itu maka ia pun bergeser surut. Yang kemudian berhadapan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan dengan Gagak Bergundung suami istri. “Sayang bahwa kecantikanmu akan ikut terlempar ke jurang itu, anak manis,“ desis Nyi Gagak Bergundung, yang bertubuh tinggi melampaui kebanyakan perempuan. Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mengangkat wajahnya pada saat ia berbicara dengan Nyi Gagak bergundung. Ada kecantikan terkesan di wajah Nyi Gagak Bergundung. Tetapi ada pula kesan keganasannya. Ketika perempuan itu tertawa, maka suara tertawanya melengking tinggi, seperti suara tertawa hantu perempuan yang melihat tanah yang masih merah di pekuburan. “Nyi,” tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “kalau aku boleh bertanya, berapa umurmu sekarang?” Nyi Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba ia pun tertawa, “Untuk apa kau tanyakan berapa umurku?” “Wajahmu membingungkan. Kadang-kadang aku melihat kau seolah-olah baru berumur sekitar tiga puluh tahun. Tetapi kemudian wajahmu itu berkerut, sehingga rasa-rasanya kau sudah berumur lima puluh tahun lebih.” “Ternyata kau benar-benar anak iblis. Dalam keadaan yang gawat, dan bahkan umurmu akan terputus sampai hari ini, kau masih sempat bergurau.” “Aku tidak bergurau, Nyi. Aku benar-benar bingung melihat garis-garis wajahmu. Tetapi yang jelas bahwa kau adalah perempuan yang bengis tanpa kelembutan sama sekali.” “Kau benar,” jawab Nyi Gagak Bergundung, “aku bukan perempuan yang cengeng yang bermanja-manja dan memanjakan orang. Selama ini kami adalah suami istri yang sangat ditakuti, karena kami membunuh orang yang tidak kami kehendaki untuk hidup terus sebagaimana kalian berdua, karena kalian berdua akan dapat mengganggu pekerjaan-pekerjaan kami di kemudian hari.” “Apakah pekerjaanmu?” Nyi Gagak Bergundung terdiam sesaat. Namun sambil menggeram ia pun menjawab, “Pekerjaanku adalah membunuh. Karena itu bersiaplah. Sebentar lagi aku akan membunuhmu.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu ia melihat Glagah Putih sudah bergeser menjauh dan mulai bertempur melawan Ki Gagak Bergundung. “Nampaknya perempuan ini bersungguh-sungguh,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. “Agaknya suami istri ini benar-benar pembunuh yang tidak berjantung. Mereka dapat membasahi tangan mereka dengan darah orang-orang yang tidak bersalah sekalipun, dengan tanpa debar di dada mereka.“ Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia belum tahu tataran ilmu perempuan itu yang sesungguhnya, sedangkan niat perempuan itu untuk membunuhnya bukan sekedar untuk mengancamnya saja. “Bayangan kematianmu sudah nampak di wajahmu, perempuan cantik,” desis Nyi Gagak Bergundung sambil tersenyum. Senyumnya telah menggetarkan jantung Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan menjawab, “Kau keliru, Nyi. Yang kau lihat di sorot mataku bukan bayangan kematianku, tetapi isyarat akan kematian lawanku. Agaknya isyarat itu sudah kau lihat sendiri.” “Persetan kau.” Perempuan yang bertubuh tinggi itu tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya. Ia pun segera bergeser menghindari serangan itu, dan bahkan ia pun segera membalas menyerang. Serangan Rara Wulan ternyata mengejutkan lawannya. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak setangkas itu. Sehingga dengan demikian, maka perempuan itu seolah-olah telah diperingatkan untuk berhati-hati menghadapi perempuan yang masih terhitung muda itu. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dan saling menghindar. Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Ki Kumuda yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Dilihatnya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan garangnya, sementara dua orang perempuan bertempur dengan gerak yang cepat, tangkas dan cekatan. “Mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi,” desis Ki Kumuda. Namun ketika mereka sudah bertempur beberapa lama, maka Ki Gagak Bergundung dan Nyi Gagak Bergundung mulai menyadari, bahwa lawan mereka adalah benar-benar orang berilmu tinggi yang mampu mengimbangi ilmu mereka. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa kedua orang suami istri yang bernama Gagak Bergundung itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. Semakin lama pertempuran pun menjadi semakin sengit. Nyi Gagak Bergundung yang mendapat lawan yang mampu menahan serangan-serangannya, menjadi semakin marah. Ia tidak mengira bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya, bahkan setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi. “Dimana anak ini menimba ilmu?” desis Nyi Gagak Bergundung. Bahkan ia melihat unsur-unsur gerak yang mulai membingungkannya. Sebenarnyalah ketika pertempuran menjadi semakin sengit, serta Nyi Gagak Bergundung meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Rara Wulan pun mulai menapak ke dalam tata gerak ilmu yang semakin rumit. Meskipun ia masih berpijak kepada unsur-unsur gerak dari ilmu perguruan yang diturunkan lewat Ki Sumangkar di bawah bimbingan Sekar Mirah, serta ilmu yang disadapnya dari perguruan Ki Sadewa dan Kiai Gringsing lewat suaminya dan Agung Sedayu, namun segala sesuatunya telah menjadi semakin matang. Arti dari setiap gerakan, arah serta sasarannya, menjadi semakin tajam. Namun dengan demikian, Nyi Gagak Bergundung yang mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi agak sulit untuk mengenali unsur-unsur gerak itu. Ia menjadi bingung untuk menyebut, perempuan yang masih terhitung muda itu dilahirkan dari jalur perguruan yang mana. Nyi Gagak Bergundung itu pun kemudian semakin meningkatkan ilmunya, untuk memaksa Rara Wulan menunjukkan alas yang paling mendasar dari perguruannya. Dalam keadaan yang sulit, maka seseorang akan terpaksa kembali pada ilmu yang paling dikuasainya. Tetapi debar di jantung Nyi Gagak Bergundung itu menjadi semakin keras, ketika ia sadari bahwa unsur-unsur gerak lawannya itu masih tetap saja membingungkannya. Bahkan meskipun Nyi Gagak Bergundung mencoba menekan perempuan yang masih terhitung muda itu, sama sekali tidak berhasil. Serangan-serangan Nyi Gagak Bergundung yang datang membadai, masih saja selalu dihindari oleh Rara Wulan. Tetapi ketika Nyi Gagak Bergundung bergerak semakin cepat, maka Rara Wulan tidak lagi selalu menghindar. Dengan hati-hati ia mulai menjajagi kekuatan dan tenaga Nyi Gagak Bergundung. Benturan-benturan kecil pun tidak lagi dapat dihindari. Namun benturan-benturan kecil itu sudah cukup mengejutkan Nyi Gagak Bergundung. “Gila anak ini,” berkata Nyi Gagak Bergundung di dalam hatinya, “dari mana ia menyadap kekuatan dan tenaga yang demikian kuatnya, dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar?” Sebenarnyalah dalam benturan-benturan yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung merasa betapa kuatnya tenaga lawannya itu. Tetapi Nyi Gagak Bergundung masih merasa bahwa dirinya adalah bagian dari sepasang Gagak yang namanya ditakuti oleh banyak orang. Bahkan gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun yang garang pun hatinya akan menjadi kuncup jika mereka mendengar nama Gagak Bergundung. Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung itu masih tetap yakin bahwa ia akan dapat menghancurkan perempuan yang sombong itu. Dalam pada itu, pertempuran antara Gagak Bergundung melawan Glagah Putih pun menjadi semakin sengit. Ki Gagak Bergundung juga menjadi heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi. Dalam gejolak kemarahannya, maka Ki Gagak Bergundung pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi, didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat kuat. Tetapi ternyata bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang tenaga dalam lawannya itu sempat mengejutkannya. Ketika tataran ilmu keduanya menjadi semakin tinggi, maka serangan-serangan mereka pun silih berganti mulai menembus pertahanan lawan. Sekali-sekali serangan Gagak Bergundung sempat mendorong Glagah Putih beberapa langkah surut. Namun pada kesempatan lain, Gagak Bergundung-lah yang terlempar surut dan bahkan kehilangan keseimbangannya. Namun demikian Gagak Bergundung itu terjatuh, maka ia pun segera melenting berdiri. Namun sentuhan-sentuhan serangan Glagah Putih yang menjadi lebih sering menembus pertahanan Gagak Bergundung. Bahkan sentuhan-sentuhan serangan Glagah Pulih itu pun terasa mulai menyakiti tubuhnya. “Gila orang ini,” geram Gagak Bergundung, “ternyata orang ini memang berilmu tinggi.” Di atas sebuah batu padas yang besar, Ki Kumuda berdiri dengan wajah yang tegang. Sekali-sekali ia memperhatikan Glagah Putih yang bertempur melawan Gagak Bergundung. Namun sejenak kemudian, perhatiannya tertuju kepada pertempuran antara Rara Wulan dan Nyi Gagak Bergundung. Bahkan sampai beberapa lama, Ki Kumuda tidak dapat meyakini, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Ketika kemudian terjadi benturan-benturan di antara Glagah Putih dan Gagak Bergundung, maka Ki Kumuda pun mulai berpengharapan. Ia melihat bahwa kekuatan Glagah Putih yang didukung oleh tenaga dalamnya ternyata lebih besar dari lawannya. Di setiap benturan yang terjadi, maka Gagak Bergundung-lah yang selalu tergetar surut. Demikian pula Rara Wulan yang bertempur melawan Nyi Gagak Bergundung. Agaknya Rara Wulan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari lawannya. Namun Ki Kumuda pun menyadari bahwa orang-orang yang berilmu tinggi terbiasa menyimpan ilmu pamungkasnya, yang hanya akan dipergunakan pada saat-saat yang paling gawat. Ilmu pamungkas itulah yang biasanya akan menentukan, siapakah di antara mereka yang akan mampu mengalahkan lawannya. Ki Kumuda meyakini bahwa Gagak Bergundung suami istri yang namanya ditakuti oleh banyak orang itu mempunyai pegangan yang diandalkannya sebagai ilmu pamungkasnya. Tetapi agaknya Gagak Bergundung itu masih belum merasa perlu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya. Dalam keadaan yang semakin sulit karena serangan-serangan Glagah Putih yang semakin sering menembus pertahanannya, maka Gagak Bergundung tidak segera sampai pada ilmu puncaknya itu. Tetapi Gagak Bergundung masih akan mencoba kemampuannya mempergunakan senjata. Ketka Gagak Bergundung tidak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, ia tidak segera melepaskan ilmu puncaknya. Tetapi ditariknya goloknya yang besar, yang berada di sarungnya yang melekat di punggungnya. “Aku akan membelah kepalamu dan menaburkan otakmu yang penuh dengan kesombongan itu, anak iblis,“ geram Gagak Bergundung. Glagah Putih meloncat surut. Ia melihat golok yang besar, panjang dan tentu berat. Tetapi di tangan Gagak Bergundung, golok itu berputaran seperti baling-baling blarak. “Jangan sesali nasibmu yang buruk,” berkata Gagak Bergundung lebih lanjut. “Baiklah,” sahut Glagah Putih, “aku tidak ingin kepalaku terbelah. Karena itu, maka aku pun akan mempergunakan senjataku.” Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia pun segera mengurai ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalannya. Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Katanya, “Apa artinya ikat pinggangmu itu? Golokku adalah golok pusaka turun temurun. Golokku dibuat oleh seorang Empu di pertapaannya, di kaki Gunung Kendeng, lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Ayahku telah membabat puluhan lawannya dengan golok ini. Kakekku-lah yang telah membunuh Ki Jalak Ambal yang diakui dapat menghilang itu, dan membelah dadanya. Sedangkan aku telah memenggal kepala lawan-lawanku yang jumlahnya tidak terhitung lagi.” “Ada dua kemungkinan pada ceritamu itu, yang kedua-duanya tidak berharga bagiku. Pertama, kau membual. Seorang pembual adalah seorang yang licik dan biasanya seorang pengecut. Kedua, jika ceritamu itu benar, maka kau adalah bayangan kuasa kegelapan yang harus dihancurkan. Hidupmu sama sekali tidak berharga bagi sesamamu. Apalagi bagi Pencipta jagad raya ini. Kau adalah kerak kehidupan yang hanya akan mengotori bumi ini.” Wajah Gagak Bergundung menjadi merah. Kemarahannya telah membuat jantungnya bagaikan membara. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang Glagah Putih dengan garangnya. Goloknya yang besar dan berat itu terayun-ayun bagaikan selembar klaras kering yang tidak berbobot. Tetapi Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali. Setelah menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh kitab Ki Namaskara, maka Glagah Putih telah mengalami loncatan yang jauh pada tataran ilmunya. Karena itu, menghadapi Gagak Bergundung, Glagah Putih mampu menempatkan dirinya pada lapis yang bahkan lebih tinggi dari lawannya. Meskipun demikian, Gagak Bergundung itu pun masih saja berteriak, “Apapun yang kau lakukan, anak iblis, golok pusakaku yang disebut Kiai Naga Padma ini akan menyelesaikan tugasnya dengan baik.” Glagah Putih tidak menghiraukannya. Tetapi Ki Kumuda-lah yang menjadi semakin tegang. Nama Gagak Bergundung telah membuatnya berdebar-debar. Apalagi ketika ia mendengar nama golok Kiai Naga Padma. Tetapi bagaimana mungkin golok Kiai Naga Padma berada di tangan seorang yang muncul dari kuasa kegelapan itu? Menurut pendengarannya, Kiai Naga Padma adalah pusaka seorang pertapa, yang pada masa sebelumnya banyak berbuat kebajikan dan menolong sesamanya. Seorang pertapa yang hanya diketahuinya dengan sebutan Kiai Pupus Kendali. Namun nama Kiai Pupus Kendali itu sudah lama tidak pernah disebut-sebut lagi. “Kakang Umbul Telu mungkin mengetahui lebih banyak tentang Kiai Naga Padma,” desis Ki Kumuda. Sebenarnyalah bahwa golok di tangan Gagak Bergundung itu telah memaksa Ki Kumuda menjadi berdebar-debar. Putaran golok itu seolah-olah memunculkan bara yang kemerah-merahan di udara. Galagah Putih yang bertempur dengan sengitnya, harus melihat kenyataan itu pula. Dengan jantung yang berdebar ia mulai memperhatikan golok di tangan lawannya yang garang itu. “Luar biasa,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “golok itu tentu bukan golok yang dibuat oleh pande besi kebanyakan. Golok itu tentu dibuat oleh seorang Empu yang mumpuni, yang jarang ada duanya.” Namun di tangan Glagah Putih pun tergenggam senjatanya yang dapat dipercaya. Meskipun ujudnya hanya sebuah ikat pinggang, tetapi senjata itu sudah terbukti memiliki kelebihan dari jenis-jenis senjata yang lain. Apalagi di tangan Glagah Putih yang berilmu sangat tinggi, setelah ia menguasai sebagian besar isi kitab, yang menurut tanggapannya diterimanya dari Kiai Namaskara, meskipun dengan cara yang tidak dapat dimengertinya. Dengan demikian, maka keberadaan golok Kiai Naga Padma di tangan Gagak Bergundung sama sekali tidak menggetarkan jantung Glagah Putih. Apalagi setelah mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit. Gagak Bergundung yang mengira akan dapat segera menebas senjata lawannya sehingga putus, ternyata sangat mengejutkannya. Ketika kedua senjata itu beradu, maka seakan-akan golok yang dibanggakan oleh Gagak Bergundung itu membentur tongkat baja yang tidak tergoyahkan. Di luar sadarnya, Gagak Bergundung itu mengumpat kasar. Justru tangannya-lah yang tergetar sehingga telapak tangannya terasa pedih. Gagak Bergundung meloncat beberapa langkah surut. Sedangkan Glagah Putih sengaja tidak memburunya. Glagah Putih sengaja memberi waktu kepada Gagak Bergundung untuk memahami apa yang baru saja terjadi. “Dari mana kau dapatkan senjatamu itu?” geram Gagak Bergundung. Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku membelinya di pasar di padukuhan sebelah,” jawab Glagah Putih sambil tersenyum. “Pasar yang hampir mati karena para pedagang tidak mau singgah lagi. Pasar yang dibayangi oleh kerusuhan karena para perampok dan penyamun yang berkeliaran di jalan-jalan.” “Persetan dengan bualanmu.” “Jadi, menurut pendapatmu, dari mana aku dapatkan senjata ini?” “Kau akan menyesali kesombonganmu itu.” “Aku atau kau.” Gagak Bergundung yang menjadi semakin marah itu telah meloncat menyerangnya pula. Goloknya yang besar terayun dengan derasnya mengarah ke leher Glagah Putih. Namun dengan tangkasnya pula Glagah Putih menggerakkan senjatanya. Dengan paduan antara jenis senjatanya pilihan di tangannya serta ilmunya yang sangat tinggi, dilambari pula oleh tenaga dalamnya, maka Glagah Putih menangkis serangan lawannya. Pada saat kedua senjata pilihan itu beradu, maka segumpal bunga api telah memercik ke udara. Ternyata Gagak Bergundung justru telah terguncang. Beberapa langkah ia tergetar surut. Sementara itu, Glagah Putih masih berdiri tegak di tempatnya. Sekali lagi Gagak Bergundung mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat mengelak dari kenyataan, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang sulit dibayangkannya. Namun Gagak Bergundung masih mempunyai harapan untuk memenangkan pertempuran itu. Ia masih mempunyai beberapa simpanan yang akan dapat dipergunakan untuk mengakhiri pertempuran, jika tidak ada lagi jalan lain. Dalam pada itu, Ki Kumuda yang menjadi penasaran atas keberadaan golok itu di tangan Gagak Bergundung, telah berteriak, “He, Gagak Berundung! Darimana kau dapatkan golok Kiai Naga Padma itu? Bukankah golok itu milik seorang pertapa yang dikenal dengan nama Kiai Pupus Kendali?” “Persetan dengan Pupus Kendali. Ia bukan apa-apa bagi ayahku. Pupus Kendali tidak lebih dari belalang yang menyebut dirinya elang.” “Kau telah membunuhnya?” Gagak Bergundung tidak sempat menjawab. Serangan Glagah Putih datang beruntun, sehingga Gagak Bergundung harus berloncatan surut. Namun kemudian Glagah Putih justru menghentikan serangannya sambil berkata, “Jawab pertanyaan Ki Kumuda. Kau bunuh Kiai Pupus Kendali itu?” “Apa pedulimu dengan Kiai Pupus Kendali? Sekarang aku akan membunuhmu, anak bengal.” Gagak Bergundung-lah yang kemudian meloncat menyerang Glagah Putih dengan kecepatan yang tinggi. Namun Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Gagak Bergundung itu. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran dengan irama yang semakin cepat. Gagak Bergundung merasa bahwa ia tidak mungkin beradu kekuatan dan tenaga dengan orang yang masih terhitung muda itu. Tetapi Gagak Bergundung akan mengandalkan pertempuran selanjutnya dengan kecepatan geraknya. Goloknya yang besar itu semakin cepat berputar dengan meninggalkan cahaya kemerah-merahan di udara. Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun masih bertempur dengan garangnya melawan Rara Wulan. Ternyata seperti Gagak Bergundung, istrinya itu pun tidak mengira bahwa ia akan berhadapan dengan seorang perempuan yang masih terhitung muda, namun berilmu sangat tinggi. Jika semula para pengikut Dandang Ireng melaporkan kepadanya tentang ilmu dua orang suami istri yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih sangat meragukannya. Namun di medan, ia benar-benar bertemu dengan perempuan sebagaimana dikatakan oleh pengikut Dandang Ireng itu. Seperti suaminya, maka dalam keadaan terdesak Nyi Gagak Bergundung pun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkeredipan. “Jarang dapat dijumpai pedang yang dibuat dengan pamor yang mendebarkan itu,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Dengan demikian ia pun mengerti bahwa pedang itu bukanlah sembarang pedang. Agaknya Nyi Gagak Bergundung pun menyadari bahwa Rara Wulan memperhatikan pedangnya yang dibanggakannya. “Kau perhatikan pedangku, perempuan cantik?” bertanya Nyi Gagak Bergundung. “Ya,” jawab Rara Wulan, “pedangmu adalah pedang yang sangat bagus.” “Bukan sekedar bagus buatannya. Tetapi pedangku adalah pedang yang bertuah. Tidak seorangpun yang dapat lolos dari ujung pedangku jika aku sudah terlanjur menariknya dari wrangkanya.” “O, ya?” “Pedangku adalah senjata pemberian guruku. Aku adalah murid perempuan terbaik di perguruanku, sehingga guruku telah mewariskan pedang ini kepadaku. Pedang yang dinamainya Kiai Samekta, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kiai Tigas Prahara.” “Nama yang membuat kulitku meremang.” “Tidak hanya meremang. Tetapi kulitmu akan terkoyak-koyak sebelum tubuhmu akan terkapar di jurang itu.” “Kita akan melihat, siapakah yang lebih beruntung di antara kita.” Nyi Gagak Bergundung tidak menyahut. Tetapi ia pun mulai memutar pedangnya. Desingnya seperti gaung sendaren merpati yang terbang berputar di langit. Rara Wulan bergeser surut, Ia pun segera melepaskan selendangnya dan memegang kedua ujungnya dengan kedua tangannya. “Apa yang akan kau lakukan dengan selendangmu?” Rara Wulan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja satu ujung selendangnya itu terjulur lurus mengarah ke dada Nyi Gagak bergundung. Perempuan itu terkejut. Dengan serta merta ia memiringkan tubuhnya untuk menghindari serangan itu. Tetapi Nyi Gagak Bergundung itu tidak sepenuhnya terlepas dari garis serangan selendang Rara Wulan. Ujung selendang Rara Wulan masih juga menyentuh bahu Nyi Gagak Bergundung. Akibatnya ternyata sangat menyakitkan hati perempuan bertubuh tinggi ramping dan berwajah bengis itu. Terdengar ia berdesah tertahan. Namun tubuhnya menjadi goyah. Selangkah ia bergeser surut, dan bahkan hampir saja Nyi Gagak Bergundung kehilangan keseimbangannya. “Anak iblis,“ geram Nyi Gagak Bergundung, “aku bunuh kau. Aku belah jantung di dadamu.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi perempuan itu sudah bersiap sepenunya untuk menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah, keduanya pun segera tenggelam dalam pertempuran yang sengit. Serangan Nyi Gagak Bergundung pun datang susul menyusul bagaikan ombak yang berguncang di lautan. Tetapi serangan Nyi Gagak Bergundung tidak meruntuhkan pertahanan Rara Wulan. Bahkan Nyi Gagak Bergundung merasa betapa sulitnya menembus pertahanan itu. Sekali-sekali ujung pedang Nyi Gagak Bergundung terjulur mengarah ke sasaran. Namun ternyata bahwa Rara Wulan selalu saja sempat bergeser menghindar. Bahkan ketika Nyi Gagak Bergundung yang telah berada di tataran yang lebih tinggi dari ilmunya, sehingga tubuhnya seakan-akan dapat melayang di udara dengan kecepatan yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih saja tidak mampu menyentuh tubuh Rara Wulan dengan ujung senjatanya. Rara Wulan pun mampu mengimbangi kecepatan gerak Nyi Gagak Berundung. Bahkan dalam benturan senjata yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung justru merasakan betapa tenaga dalam lawannya menjadi semakin besar. Dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, serangan Rara Wulan-lah yang semakin sering menembus pertahanan Nyi Gagak Bergundung. Ujung selendangnya beberapa kali sempat menyentuh tubuh lawannya. Bahkan ketika ujung selendang Rara Wulan tepat mengenai dada Nyi Gagak Bergundung, maka Nyi Gagak Bergundung itu pun terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan kemudian kehilangan keseimbangan. Nyi Gagak Bergundung itu pun jatuh terlentang. Untunglah bahwa segerumbul perdu sempat menahan tubuhnya, sehingga tidak terguling ke dalam jurang. Meskipun jurang itu tidak begitu dalam, namun tumbuh-tumbuhan berduri yang tumbuh di lereng jurang itu akan dapat menyakitinya. Agaknya Nyi Gagak Bergundung tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun ia bersenjata pedang pemberian gurunya, namun pedang itu tidak mampu menyentuh kulit lawannya. Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung telah berniat untuk mengakhiri pertempuran itu dengan mempergunakan ilmui puncaknya. Karena itu, demikian Nyi Gagak Bergundung itu bangkit berdiri, maka ia pun justru menyarungkan pedangnya. Rara Wulan pun menyadari apa yang akan dilakukan oleh Nyi Gagak Bergundung. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera mengikatkan selendangnya di lambungnya. Namun tiba-tiba terdengar isyarat yang menghentak daun telinga. Tiba-tiba saja Rara Wulan melihat Gagak Bergundung bagaikan kilat menyambar pergelangan tangan istrinya. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu bagaikan terbang meninggalkan arena pertempuran. Rara Wulan sudah siap memburunya. Namun terdengar Glagah Putih mencegahnya, “Jangan, Rara.” “Aku akan dapat mengejarnya,” jawab Rara Wulan. “Ya. Tetapi kita memerlukan waktu yang lama. Keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik. Pada saat kita dapat menyusul mereka, maka kita tentu sudah berada di tempat yang jauh sekali.” “Jadi menurut perhitungan Kakang, kita pasti akan dapat menyusul mereka?” “Menurut perhitunganku dapat, meskipun masih tergantung banyak hal yang mungkin kita hadapi.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Yang dikatakan oleh Glagah Putih itu meyakinkan dirinya, bahwa ia pun sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik. Setidak-tidaknya sama seperti Gagak Bergundung dan istrinya. “Tetapi Kakang, keduanya adalah orang yang sangat berbahaya. Mungkin pada suatu saat mereka akan kembali ke padepokan ini, justru pada saat kita sudah pergi.” “Ki Kumuda melihat apa yang terjadi. Ki Kumuda akan dapat melaporkannya kepada Ki Umbul Telu. Kemungkinan kembalinya Gagak Bergundung akan memacu para penghuni padepokan ini untuk semakin meningkatkan ilmu mereka, setidak-tidaknya para sesepuhnya.” “Kita akan berbicara dengan Ki Kumuda.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mendapatkan Ki Kumuda yang masih berdiri di tempatnya. Namun di wajahnya membayangkan hati yang kecewa. “Sayang, keduanya dapat melarikan diri,” desis Ki Kumuda. “Ya. Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat baik. Mereka dapat lari seperti angin,” sahut Glagah Putih. “Apakah mereka tidak akan kembali?” bertanya Ki Kumuda. “Aku kira tidak dalam waktu dekat. Agaknya ada kesempatan bagi para sesepuh di padepokan ini untuk mempersiapkan diri.” “Tetapi sulit untuk mengimbangi ilmu mereka.” “Mungkin sendiri-sendiri, para sesepuh padepokan ini memerlukan waktu yang lama untuk dapat menyusul kemampuan Gagak Bergundung. Tetapi bukankah para sesepuh di padepokan ini dapat bekerja sama untuk menghadapi mereka? Betapapun tinggi ilmu keduanya, namun mereka tidak akan dapat melawan para penghuni padepokan ini yang juga berilmu tinggi, dalam jumlah yang jauh lebih banyak.” Ki Kumuda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita memberikan laporan kepada kakang Umbul Telu.” Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriring kembali ke bangunan utama padepokan yang berada di atas bukit itu. Laporan Ki Kumuda itu sempat membuat para sesepuh yang ikut mendengarnya menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak akan ingkar dari tanggung jawab mereka. Yang harus mereka lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kemungkinan yang buruk itu, meskipun mereka pun yakin bahwa Gagak Bergundung tidak akan kembali dalam waktu dekat. Sementara itu, Gagak Bergundung suami istri yang menyadari bahwa mereka berdua tidak disusul oleh kedua lawan mereka, telah berhenti di pinggir jalan. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah berada di tempat yang jauh dari Perguruan Awang-Awang. “Kedua orang suami istri itu berilmu sangat tinggi,” desis Gagak Berundung, “mereka mampu mengimbangi ilmu kita berdua.” “Tidak,” sahut Nyi Gagak Bergundung, “sebenarnya aku ingin membinasakan perempuan yang sombong itu dengan ilmu pamungkasku. Tetapi Kakang telah mengajakku meninggalkan arena.“ “Justru aku ingin mencegahnya, Nyi. Jika kau mempergunakan ilmu andalanmu, maka perempuan itu pun akan melakukan hal yang sama. Aku pun tidak berniat untuk mempergunakan ilmu andalanku.” “Kakang meragukan kemampuanku, dan bahkan kemampuan Kakang sendiri.” “Bukan begitu. Tetapi menurut dugaanku, keduanya tentu juga memiliki Ilmu yang mereka andalkan. Nah, bukan aku tidak meyakini ilmu kita, tetepi seberapa tinggi ilmu pamungkas mereka? Jika ilmu mereka lebih tinggi atau setidak-tidaknya mengimbangi ilmu kita, maka dalam keadaan yang lemah, kita sulit akan mempertahankan diri. Seandainya kedua orang suami istri itu mengalami kesulitan sebagaimana kita alami dalam benturan ilmu andalan yang seimbang, namun masih ada Kumuda di arena itu. Ia akan dapat berbuat lebih jauh lagi terhadap kita berdua, yang menjadi lemah karena benturan ilmu andalan itu.” “Tetapi aku yakin, bahwa ilmuku akan menghancurkan perempuan itu.” “Yang aku ragukan, jika ilmu lawan-lawan kita mampu mengimbangi ilmu kita. Agaknya keduanya memiliki landasan ilmu yang sangat kokoh.” Nyi Gagak Bergundung menarik nafas panjang. Tetapi kemudian sambil mengangguk ia pun berkata, “Ya. Mungkin Kakang benar. Tenaga dalam perempuan itu sangat tinggi. Ketika ujung selendangnya menyentuh dadaku, rasa-rasanya nafasku menjadi pepat dan tersumbat. Sementara itu ujung pedangku masih belum mampu menyentuh pakaiannya. Agaknya perempuan itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.” “Ya. Agaknya kita belum dapat menjajagi kemampuan mereka yang sesungguhnya, meskipun kita sudah bertempur beberapa lama. Mereka mampu bergerak sangat cepat.” “Tetapi mereka tidak mengejar kita.” “Tentu ada perhitungan lain.” Keduanya pun kemudian terdiam. Sambil berjalan perlahan-lahan menyusuri tepi hutan, mereka masih merenungi kemampuan lawan-lawan mereka. Mereka pun tertegun ketika mereka melihat seekor kijang yang berlari kencang menerobos gerumbul-gerumbul perdu di bibir hutan. Namun kemudian menghilang di antara pepohonan. “Jika saja kita dapat bergerak selincah kijang,“ desis Nyi Gagak Bergundung. Namun kedua orang suami istri itu tidak pernah membayangkan bahwa lawan-lawan mereka yang masih terhitung muda itu pernah hidup sebagai sepasang kijang, pada saat mereka menjalani laku Tapa Ngidang. Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun bertanya, “Sekarang apa yang akan kita lakukan?” “Kita kembali ke sarang kita lebih dahulu. Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru.” “Apakah kita akan kembali ke padepokan itu?“ “Kita mempunyai banyak waktu. Kita tidak tergesa-gesa. Mungkin kita akan kembali kelak.” Nyi Gagak Bergundung mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka. Di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan telah melibatkan diri dalam kesibukan sehari-hari. Bahkan Ki Umbul Telu yang berusaha menghubungi beberapa orang Demang telah mengajak Glagah Putih pula bersama para tetua di padepokan itu. Sementara Rara Wulan yang tinggal di padepokan, berusaha untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para penghuninya. Dengan demikian, maka para penghuni padepokan itu telah mendapatkan pengalaman-pengalaman baru bagi ilmu mereka. Ternyata usaha Ki Umbul Telu tidak sia-sia. Beberapa orang Demang menyambut dengan baik kesediaan Ki Umbul Telu untuk bekerja sama menjaga keamanan lalu-lintas di beberapa kademangan, untuk menghidupkan kembali kegiatan perdagangan di kademangan-kademangan itu. Kegiatan perdagangan itu akan memberikan arti pula bagi Perguruan Awang-Awang, yang ingin memperluas pemasaran hasil bumi dan hasil kerajinan tangan para penghuni padepokan itu. “Kami akan membantu memberikan latihan-latihan kanuragan kepada anak-anak muda di beberapa kademangan,” berkata Ki Umbul Telu kepada Ki Demang di Karang Panjang. “Bagus, Ki Umbul Telu. Kami akan sangat berterima kasih.“ “Meskipun tidak dengan serta-merta, tetapi kita akan dapat merancang waktu, kapan kita bergerak melawan para perampok itu,” berkata Ki Umbul Telu. “Ya. Rencana yang akan kita susun bersama.” “Sementara itu, kami akan minta setiap kademangan mengirimkan beberapa anak muda terpilih ke perguruan kami.” Ki Demang Karang Panjang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berbicara dengan para Demang tetangga-tetangga kami. Jika mungkin, aku akan mengundang empat atau lima orang Demang. Akan lebih baik jika Ki Umbul Telu bersedia hadir pula.” “Tentu, Ki Demang,” sahut Ki Umbul Telu, “aku akan bersedia datang. Bukankah kita akan bekerja sama? Setelah kita mempunyai kekuatan yang memadai, maka kita akan berbicara dengan para pedagang yang selama ini hanya lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar, dengan memacu kuda mereka tanpa berpaling di pasar-pasar kita yang mereka lewati.” “Ya. Kita harus berusaha merubah keadaan itu. Dengan memberikan bantuan menyelenggarakan keamanan lingkungan, agaknya mereka akan mengindahkan daerah ini. Daerah ini mempunyai banyak bahan perdagangan yang dapat memberikan keuntungan bagi segala pihak,” sahut Ki Demang. Sebenarnyalah di tiga hari berikutnya, telah diselenggarakan pertemuan oleh beberapa orang Demang untuk menanggapi gagasan Ki Umbul Telu. “Jika Ki Umbul Telu bersedia membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda kami, maka kami akan bersedia ikut dalam rencana ini,” berkata seorang Demang. “Tentu,” sahut Ki Umbul Telu, “kami bersedia menerima anak-anak muda dari setiap kademangan, asal mereka bersedia menjalani satu kehidupan yang sederhana di padepokan kami.” “Kami tentu akan membantu beban padepokan Ki Umbul Telu,” sahut seorang Demang. Demikianlah, maka para Demang dan Ki Umbul Telu itu sepakat untuk saling membantu. Para Demang akan mengirimkan sekitar sepuluh sampai dua puluh lima orang anak muda untuk berlatih di padepokan Ki Umbul Telu selama dua atau tiga bulan. Kemudian bergantian dengan anak-anak muda yang lain, sementara yang sudah berlatih di padepokan Ki Umbul Telu akan memberikan latihan kepada kawan-kawan mereka di kademangan. Para Demang itu merencanakan, dalam waktu setengah tahun, maka mereka sudah siap berhubungan dengan para pedagang. “Kita tidak perlu tergesa-gesa,” berkata Ki Demang Karang Panjang, “tetapi dengan langkah yang pasti kita menyongsong hari esok. Syukur jika rencana waktu itu dapat diperpendek.” “Kita akan berbuat dengan bersungguh-sungguh dan dengan sebaik-baiknya,“ sahut Ki Umbul Telu. “Sedangkan para pedagang itu sendiri sudah mempunyai kelompok-kelompok tertentu. Mereka tentu juga sudah memiliki landasan kekuatan. Dengan bekerja bersama, kita berharap bahwa daerah ini akan dapat kita amankan, sehingga arus perdagangan tidak hanya sekedar lewat tanpa meninggalkan bekas apa-apa di lingkungan kita.” Dengan demikian, maka Ki Umbul Telu dan para Demang itu sudah membuat pijakan bersama untuk mengembalikan kesibukan perdagangan di daerah mereka masing-masing. Kerja sama di antara beberapa kademangan dan Perguruan Awang-Awang diharapkan akan dapat memecahkan masalah, meskipun tidak dengan serta-merta. Tetapi pijakan itu telah memberikan pengharapan bagi kesejahteraan hidup rakyat di beberapa kademangan serta di Perguruan Awang-Awang. Dengan demikian, maka keberadaan Perguruan Awang-Awang itu akan dapat memberikan arti yang sebenarnya bagi lingkungan di sekitarnya. Bukan sekedar satu kehidupan yang terpisah yang berada di sebuah perbukitan terpencil. Sehingga dengan demikian maka ilmu mereka pun dapat diamalkan dalam pengertian yang wajar. Sementara itu, selama Glagah Putih dan Rara Wulan berada di Perguruan Awang-Awang, maka mereka telah menemukan sebuah celah-celah di sebuah goa, yang agaknya tidak pernah disentuh bahkan oleh para penghuni padepokan itu. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah menyembunyikan peti kayunya yang manis berukiran lembut di celah-celah itu. “Bukankah celah-celah itu tidak basah?” bertanya Rara Wulan kepada Glagah Putih. “Tidak. Tetapi bagaimanapun juga, celah-celah itu tetap saja lembab.” “Aku akan membungkusnya dengan kain panjang.” “Kain panjang? Kau tidak sayang, bahwa selembar kain panjangmu akan kau susupkan di celah-celah itu?” “Untuk melindungi peti kecil itu. Kasihan peti itu jika akan segera menjadi lapuk.” Glagah Putih tidak menyahut. Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah membungkus peti kecil itu dengan sehelai kain, dan menyimpannya di celah-celah di dalam goa itu dan menyamarkannya dengan bongkah-bongkah batu padas. Ketika rencana Ki Umbul Telu mulai berjalan, maka bangunan utama padepokan itu menjadi bertambah ramai. Bahkan ada beberapa orang anak muda yang tinggal di rumah beberapa orang keluarga yang dapat menampungnya. Mereka adalah anak-anak dari beberapa kademangan di sekitar padepokan itu. Latihan-latihan segera dimulai pula. Anak-anak muda itu harus menjalani kehidupan yang penuh keterikatan pada tatanan, untuk menempa mereka menjadi orang-orang mampu mengendalikan diri. Sejak hari-hari pertama, mereka harus sudah bekerja keras, siang dan malam. Waktu-waktu beristirahat mereka terasa menjadi sangat sempit. Pada mulanya, anak-anak muda yang datang dari beberapa kademangan itu merasa sangat letih. Tetapi setelah mereka berada di padepokan itu sepekan, maka mereka mulai dapat menyesuaikan dirinya. Para murid dari Perguruan Awang-Awang yang memberikan latihan kepada mereka pun berpijak pada tatanan perguruan, sehingga terasa sangat keras bagi anak-anak muda itu. Tetapi karena mereka merasa mendapat beban dari para Demang mereka masing-masing, maka mereka pun berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya. Waktu yang hanya dua atau tiga bulan itu memang terlalu pendek untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi dengan tempaan yang keras, maka agaknya hasilnya kelak akan memadai. Mereka tidak hanya menghadapi kesatuan prajurit atau murid-murid dari perguruan yang sudah berilmu tinggi. Tetapi mereka akan menghadapi para perampok, yang sebagian besar tidak mendasari ilmunya dari perguruan yang manapun. Mereka hanya berlandaskan keberanian, kebengisan, dan kadang-kadang diwarnai dengan dendam atas peristiwa-peristiwa yang telah menimpa diri mereka dan keluarganya. Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan yang keliru itu karena tekanan kehidupan yang terasa sangat menekan keluarganya, sehingga akhirnya mereka mencari jalan yang paling mudah, meskipun dengan kemungkinan yang terburuk dalam hidupnya Ketika segala sesuatunya sudah berjalan lancar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan padepokan itu, untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun sebelum keduanya minta diri, keduanya telah mendengar dari para tetua di padepokan itu, beberapa hal tentang dunia olah kanuragan yang mungkin akan dilewati oleh kedua orang suami istri itu. Dari beberapa orang yang dituakan di padepokan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar beberapa nama dan orang-orang berilmu tinggi yang berkeliaran di dunia olah kanuragan. “Nampaknya selama pengembaraan, Angger berdua tidak menyelam sampai ke dasar. Angger belum banyak mengenal nama-nama orang berilmu tinggi, baik yang berlandaskan ilmu yang mapan dan berkiblat kepada Kang Murbeing Dumadi, tetapi juga mereka yang berkiblat kepada kuasa kegelapan.” “Ya,” sahut Glagah Putih, “selama ini kami hanya menapaki permukaan.” “Ternyata bahwa dunia olah kanuragan tidak ubahnya seperti lebarnya rimba raya. Pepohonan raksasa tumbuh dimana-mana. Sedangkan di sela-selanya, gerumbul-gerumbul rerungkutan liar dengan tumbuh-tumbuhan merambat dan berduri. Sulur-sulur liar serta dahan-dahan yang rapuh berpatahan silang-melintang. Di dalamnya hidup berbagai jenis binatang buas, binatang berbisa, serta serangga-serangga yang dapat membunuh dengan sengatnya.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun menarik nafas panjang. Mereka sudah mempunyai cukup pengalaman dalam pengembaraan mereka. Tetapi ternyata bahwa banyak nama-nama yang masih belum mereka kenal. Beberapa tempat dan perguruan dari para penganut tuntunan yang berbeda, dan bahkan berlawanan. Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun teringat kepada dua dunia yang dijumpainya di rumah tua yang semula mereka kenal dihuni oleh Ki Nawaskara. Dunia yang tenang tenteram dan damai. Tetapi di dunia itu pula mereka kemudian menjumpai kehidupan yang buas dan liar. Yang satu menghancurkan yang lain. Semuanya berbuat bagi kepentingan diri masing-masing. Tanpa pengendalian diri dan apalagi apa yang disebut pengorbanan bagi kepentingan sesama. “Tetapi bukan berarti bahwa seluruh permukaan bumi ini sudah menjadi tlatah kuasa kegelapan, Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “masih ada orang yang dapat dipercaya. Masih ada orang yang bersikap jujur. Karena itu, tidak sepatutnya jika Angger berdua kehilangan sama sekali kepercayaan kepada sesama.” “Ya. Ki Umbul Telu,” sahut Glagah Putih sambil mengangguk-angguk, “tetapi bukankah sulit sekali untuk memilahkan yang mana yang pantas dipercaya dan yang mana sebaliknya?” “Kau benar, Ngger. Mereka yang licik dan julig justru akan menampakkan diri sebagai seorang yang jujur dan baik hati. Tetapi dalam kesempatan yang mereka tunggu, maka mereka akan menerkam tengkuk dari belakang. Sementara itu, mereka yang sungguh-sungguh jujur dan berpijak pada kebenaran justru akan tersingkir, karena mereka akan selalu mengganggu langkah-langkah selingkuh di berbagai sisi kehidupan.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Sepanjang pengalaman mereka menjelajahi kehidupan yang beraneka, maka mereka membenarkan pesan-pesan Ki Umbul Telu itu. Ternyata Ki Umbul Telu bukan seorang yang hanya hidup di seputar dinding padepokannya saja. Tetapi agaknya Ki Umbul Telu dan para tetua dari Perguruan Awang-Awang juga memiliki wawasan kehidupan yang luas. Namun hampir di luar sadarnya ketika Glagah Putih itu pun bertanya, “Ki Umbul Telu. Ki Umbul Telu sudah menyebut banyak nama dari orang-orang yang bergerak di dunia olah kanuragan. Bahkan mereka yang berkiblat kepada kuasa terang maupun mereka yang berada di bawah kuasa kegelapan. Tetapi Ki Umbul Telu tidak menyebut seorang yang namanya justru mengumandang sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Siapa, Ngger?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah Ki Umbul Telu pernah mendengar nama sebuah perguruan besar yang kini sedang menyusun diri kembali?” “Perguruan apa, Ngger?” “Perguruan Kedung Jati, di bawah pimpinan seorang yang memiliki tongkat baja putih. Tongkat baja putih itu memang pertanda kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati. Bukankah di Perguruan Awang-Awang juga ada pertanda kepemimpinan, yang baru saja kembali ke perguruan ini setelah beberapa lama dibawa oleh murid-murid yang berkhianat itu?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Aku sudah mendengar, Ngger. Bahkan pada suatu saat, seolah-olah sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu sudah kembali ke perguruan. Tetapi ternyata tidak. Tongkat baja putih yang satu adalah palsu.” “Ya. Aku juga pernah mendengar.” “Bukankah tongkat baja putih yang sebuah berada di Tanah Perdikan Menoreh?“ Ki Lampita justru bertanya. “Ya. Demikian menurut pendengaranku. Satu dari sepasang tongkat baja putih itu berada di Tanah Perdikan Menoreh.” “Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “aku memang pernah mendengar kegiatan para murid Perguruan Kedung Jati, yang sudah terpecah dan bahkan tenggelam untuk beberapa lama sejak Jipang dikalahkan oleh Pajang. Namun sebenarnyalah aku ingin berterus-terang kepada Angger berdua. Aku tidak tahu apakah Angger terlibat dalam usaha menghimpun kembali para murid dari Perguruan Kedung Jati atau tidak.” “Kami tidak terkait dengan Perguruan Kedung Jati itu, Ki Umbul Telu. Aku berkata sebenarnya.” “Aku percaya, Ngger.“ Ki Umbul Telu itu terdiam sejenak. Lalu katanya, “Berapa waktu yang lalu, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu memang pernah menghubungi perguruan kami. Mereka menyatakan keinginan mereka agar kami bergabung dengan Perguruan Kedung Jati yang sedang menghimpun kekuatan. Tetapi kami mengatakan bahwa tidak seorangpun di antara kami yang pernah menjadi murid Perguruan Kedung Jati.” “Apakah kata mereka, Ki Umbul Telu?” “Menurut mereka, meskipun seseorang belum pernah menjadi keluarga Perguruan Kedung Jati, namun mereka akan dapat masuk dalam keluarga besar Perguruan Kedung Jati. Baru kemudian akan disusun kaitan serta tatanan kekeluargaan dari Perguruan Kedung Jati itu. Mereka yang sekarang berniat membangunkan kembali perguruan itu mengangankan kebesaran dan kejayaan perguruan itu, sebagaimana pada masa Jipang masih tegak. Meskipun satu dari sepasang tongkat baja putih itu belum berada di tangan mereka, namun mereka yakin bahwa pada saatnya tongkat itu akan mereka kuasai. Sehingga sepasang tongkat pertanda kebesaran itu akan dapat dijadikan perlambang kebersaran Perguruan Kedung Jati sebagaimana sebelumnya.” “Bagaimana tanggapan Ki Umbul Telu?” “Aku belum dapat mengambil sikap. Aku belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah kami tidak hanya akan menjadi sekedar pengikut-pengikut yang kelak akan dienyahkan. Menurut pendengaran kami, yang sekarang berada di bawah pengaruh para pemimpin Perguruan Kedung Jati itu sudah cukup banyak. Tetapi dari bermacam-macam perguruan, gerombolan dan kelompok yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Ada di antara mereka para murid sebuah perguruan yang benar-benar ingin mengembangkan ilmu untuk diamalkan. Tetapi ada di antara mereka yang muncul dari sarang-sarang gerombolan penjahat yang kotor, yang akan menumpang kegiatan mereka yang berniat menegakkan kembali panji-panji Perguruan Kedung Jati itu. Dengan demikian, mereka yang berniat membangun kembali perguruan itu bekerja sama dengan kepentingan yang berbeda dengan gerombolan-gerombolan penjahat itu.” “Apakah mereka akan menghubungi Ki Umbul Telu lagi?” “Agaknya demikian. Tetapi aku tidak tahu, kapan dan kebenaran dari keterangannya itu. Namun mereka sempat meninggalkan ancaman, bahwa siapapun yang berusaha menghalangi bangkitnya Perguruan Kedung Jati akan dibabat, dan bahkan akan digali sampai ke akarnya sehingga tidak akan mungkin bangkit kembali. Menurut mereka yang datang, sampai saat ini Perguruan Kedung Jati itu telah mampu menghimpun kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan pasukan prajurit di Demak. Sebentar lagi, maka Perguruan Kedung Jati akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram.” “Ki Umbul Telu percaya?” “Ngger. Aku percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan yang besar. Tetapi tentu tidak akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram. Meskipun demikian, dengan cara yang mereka tempuh, tampil dan kemudian menghilang, maka mereka pada suatu saat memang akan dapat merepotkan Mataram.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah menurut pendengaran Ki Umbul Telu, orang yang memimpin perguruan yang sedang berusaha bangkit itu?” “Pemimpin yang menguasai tongkat baja itu adalah Ki Saba Lintang. Tetapi ia mempunyai beberapa orang pendukung yang dapat diandalkan. Ki Saba Lintang bukanlah seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ada dua atau tiga orang yang ilmunya dapat diandalkan, sebagaimana Gagak Bergundung suami istri.” “Bagaimana dengan Gagak Bergundung?” Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Angger dalam hubungannya dengan Perguruan Kedung Jati?” “Ya.” “Aku tidak tahu, Ngger, apakah Gagak Bergundung itu akan menjadi salah seorang di antara para pendukung Perguruan Kedung Jati yang sedang menyusun diri itu. Tetapi jika benar ia akan berada di antara mereka yang berniat menyusun kembali Perguruan Kedung Jati, maka ia tidak akan memusuhi kami, karena Perguruan Kedung Jati pun berniat untuk menyeret kami ke dalam lingkungan mereka.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apa-apa lagi tentang Perguruan Kedung Jati itu. Ia tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu terhadap tawaran Perguruan Kedung Jati untuk bergabung ke dalamnya. Bahkan Glagah Putih pun kemudian telah mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana pendapat Ki Kumuda dengan bualan Gagak Bergundung?” “Maksud Angger?” “Tentang goloknya yang besar itu. Apakah benar golok itu golok Kiai Pupus Kendali? Sebelumnya ia mengatakan bahwa golok itu adalah pusaka turun temurun. Namun sejak semula aku sudah menduga bahwa ia hanya sekedar membual.” “Gagak Bergundung memang menyebut golok itu bernama Kiai Naga Padma.” “Tetapi bukankah Kiai Naga Padma sudah dibuat beratus tahun yang lalu?” “Menurut bualannya, ayahnya-lah yang telah mengambil alih golok itu dari Kiai Pupus Kendali. Jika demikian, bukankah kakeknya tidak atau belum pernah mempergunakannya?” Ki Umbul Telu-lah yang menyahut, “Gagak Bergundung memang seorang pembual. Tetapi mungkin saja ayahnya telah mencuri golok itu semasa kakeknya masih hidup. Apakah Kiai Pupus Kendali itu terbunuh atau tidak, tidak ada beritanya sama sekali. Tetapi sudah lama sekali nama Kiai Pupus Kendali tidak pernah disebut lagi.” “Ki Umbul Telu,“ bertanya Glagah Putih kemudian, “apakah Ki Umbul Telu mengetahui, dimanakah letak padepokannya?” “Angger akan mencarinya?” “Kami adalah pengembara. Apakah salahnya jika kami berusaha melacak beberapa nama dari orang-orang yang memiliki kelebihan, namun yang sudah tidak pernah disebut lagi namanya?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Kami pun baru mendengar namanya saja. Kiai Pupus Kendali adalah seseorang yang berilmu tinggi, seangkatan dengan guruku. Bahkan mungkin umurnya lebih tua.” “Jika guru Ki Umbul Telu tidak dikhianati, bukankah ia masih ada sekarang ini?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Tetapi guru sudah tua. Kau lihat, bahwa kami pun sudah setua ini. Sudah pantas menjadi ayahmu.” “Kami akan mencoba melacak keberadaan Kiai Pupus Kendali itu, Ki Umbul Telu. Kami pun ingin membuktikan, apakah Gagak Bergundung tidak membual tentang golok Kiai Naga Padma itu, yang juga dikatakannya pusaka turun temurun.” “Tentu ada yang sisip pada bualannya itu, Ngger. Tetapi jika kau benar-benar ingin meyakinkan kebenaran tentang Kiai Pupus Kendali, aku hanya dapat memberi ancar-ancar. Kiai Pupus Kendali bukan seorang yang berilmu tinggi yang mendirikan sebuah perguruan. Tetapi Kiai Pupus Kendali adalah seorang pertapa, yang hanya diikuti oleh tiga atau empat orang murid utamanya. Itu pun hanya menurut pendengaran kami.” “Baiklah, Ki Umbul Telu. Agaknya kami benar-benar ingin melacaknya. Apakah aku dapat menemui atau tidak, biarlah kesempatan yang menentukan. Tetapi ancar-ancar Ki Umbul Telu sangat kami perlukan.” “Ngger. Segalanya hanyalah menurut pendengaran kami. Kami tidak berani memastikan kebenarannya.” “Kami mengerti, Ki Umbul Telu.” “Kiai Pupus Kendali berada di sebuah pertapaan yang terasing di kaki gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara. Menurut kata orang, pertapaannya sudah berada di daerah yang sangat dingin. Dengan demikian, maka pertapaan itu tentu berada di tempat yang agak tinggi.“ “Terima kasih, Ki Umbul Telu. Dari bukit ini, kami akan menuju Gunung Sumbing.” “Kapan Angger akan berangkat?” “Kami sepakat akan melanjutkan pengembaraan kami esok pagi.” “Esok pagi? Begitu cepat?” “Bukankah kami sudah cukup lama di padepokan ini? Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami akan dapat singgah di padepokan ini.” “Berhati-hatilah, Ngger. Kami tahu bahwa Angger berdua ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga Angger berdua mampu mengalahkan Gagak Bergundung. Meskipun demikian, Angger akan memasuki belantara yang buas, liar dan penuh menyimpan bahaya. Yang kasat mata maupun yang tidak.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Keduanya sudah memiliki pengalaman yang cukup luas. Namun agaknya mereka belum menukik ke dalam rimba olah kanuragan yang buas dan liar itu. “Ki Umbul Telu,” berkata Glagah Putih kemudian, “kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Umbul Telu terhadap pengembaraan kami. Kami akan berhati-hati di perjalanan. Pengenalan kami atas beberapa nama akan sangat membantu perjalanan kami. Ciri-ciri unsur gerak yang Ki Umbul Telu beritahukan kepada kami dari beberapa orang di antara mereka, memberikan gambaran kepada kami, dunia seperti apakah yang akan dapat kami lewati.” “Baiklah, Ngger. Jika pada suatu saat Angger merasa jemu menempuh perjalanan dalam pengembaraan Angger, datanglah kembali ke padepokan kami.” “Terima kasih, Ki Umbul Telu.” Ternyata keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu telah memberikan bekal yang cukup banyak bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka pun dapat membayangkan, bahwa mereka memang akan ngambah hutan yang dipenuhi duri bebandotan serta rawa-rawa lumpur yang kental, yang dihuni oleh buaya-buaya yang buas serta ular-ular air yang berbisa. Ketika kemudian malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di bilik yang disediakan bagi mereka berdua, telah membuka-buka kembali kitab yang diberikan oleh Kiai Namaskara dengan cara yang aneh itu. Beberapa petunjuk mereka tekuni untuk menambah kematangan diri yang sudah mereka warisi. Meskipun mereka memasuki bilik mereka agak awal, namun hampir semalam suntuk mereka tidak tidur. Baru di dini hari keduanya sempat memejamkan mata beberapa saat. Ketika fajar menyingsing, keduanya telah siap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun Ki Umbul Telu masih menahan mereka. Ki Umbul Telu mempersilahkan kaduanya untuk minum minuman hangat serta makan pagi lebih dahulu sebelum mereka melanjutkan perjalanan. “Kalian akan menempuh perjalanan yang berat di medan yang berat pula. Karena itu, sebaiknya kalian makan pagi lebih dahulu. Meskipun barangkali kalian akan melewati beberapa padukuhan yang cukup besar, tetapi pada umumnya pasar yang ada di padukuhan-padukuhan itu menjadi sepi, sehingga jarang ada kedai yang masih membuka usahanya.“ Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Baru setelah mereka makan pagi serta beristirahat sebentar, maka mereka pun minta diri. Tidak hanya keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu saja yang melepas kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi beberapa orang penghuni padukuhan serta para cantrik telah ikut melepas mereka pula di pintu gerbang. “Terima kasih,” berkata Glagah Putih dan Rara Wulan ketika mereka meninggalkan pintu gerbang. “Kami menunggu kalian datang kembali,” berkata Ki Umbul Telu. “Kami akan berusaha untuk kembali lagi,” sahut Glagah Putih. Demikianlah, keduanya pun meninggalkan padepokan di atas bukit itu. Beberapa lamanya mereka menuruni lereng yang rendah, sehingga akhirnya mereka pun sampai di sebuah dataran yang subur, yang mendapat air dari bukit kecil yang masih menyimpan kelompok-kelompok pepohonan raksasa, yang untuk melindunginya, pepohonan itu telah dikeramatkan, sehingga tidak seorangpun yang mengusiknya. Ketika matahari mulai naik, maka dedaunan yang basah nampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya. Beberapa titik embun masih hinggap di dedaunan itu. Burung-burung liar yang hinggap di pepohonan terdengar bersiul gembira menyambut kehadiran hari yang baru. Panas matahari yang mulai menggatalkan kulit mengiringi perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa ratus langkah di hadapan mereka, nampak sebuah padukuhan yang memanjang, seakan-akan memotong jalan yang akan dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. “Ketika Kakang dan Ki Umbul Telu berbicara tentang rencana untuk membangunkan keberanian anak-anak mudanya, apakah Kakang juga singgah di padukuhan itu?” “Kami hanya menemui para Demang, Rara. Kademangan yang membawahi padukuhan itu-lah yang mengaturnya. Tetapi padukuhan itu tentu sudah terlibat pula untuk mengirimkan dua atau tiga anak mudanya.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian, jika kita nanti berjalan melalui jalan itu, Kakang tentu belum dikenal oleh para penghuninya.” “Tentu belum.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ada juga baiknya, karena perjalanan kita tidak akan terganggu.” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jika mereka belum mengenal kita, bukan berarti bahwa tidak akan ada yang menyapa kita.” “Jika seorang menyapa kita, maka kita cukup menjawab satu dua patah kata. Kita tidak akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu sapaan mereka.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak mau diusik sama sekali.” “Ya,” Rara Wulan pun mengangguk. Ketika kemudian mereka berjalan di tengah-tengah bulak panjang, maka mereka sempat menebak-nebak jenis padi yang sedang tumbuh dengan suburnya. Nampaknya air yang mengalir di parit yang memanjang menyilang jalan bulak itu tidak pernah kering di segala musim. “Arah parit ini tentu mengalir dari bukit itu,” berkata Rara Wulan. “Ya, para pemimpin di padepokan itu mempunyai cara tersendiri untuk menyelamatkan hutan di pebukitan mereka,” sahut Glagah Putih. Demikianlah mereka berjalan di kesegaran udara pagi hari. Ketika mereka memasuki padukuhan yang memanjang dan terhitung besar di ujung bulak, maka padukuhan itu terasa sudah sibuk menapaki hari baru. Beberapa orang masih belum selesai menyapu halaman yang pada umumnya cukup luas. Seorang perempuan membawa kelenting di lambungnya untuk mengisi gentong yang diletakkannya di sebelah pintu regol halaman rumahnya, yang disediakannya bagi para pejalan kaki yang kehausan. Glagah Putih dan Rara Wulan berpapasan pula dengan beberapa orang anak yang menggiring kambing mereka ke padang rumput untuk digembalakan. Seorang yang sudah setengah baya memanggul bajaknya menuju ke pintu gerbang padukuhan, sementara anaknya yang sedikit lewat remaja menggiring dua ekor lembu di belakangnya. “Padukuhan ini nampak sibuk,” berkata Rara Wulan. “Ya. Agaknya penghuni padukuhan ini adalah orang-orang yang terbiasa bekerja keras.” Rara Wulan mengangguk. Katanya kemudian, “Kakang dengar suara orang menumbuk padi?” “Ya. Padukuhan ini benar-benar diramaikan dengan kerja keras oleh penghuninya.” Di sebelah simpang empat, keduanya terhenti sesaat. Seorang ibu muda sedang sibuk menyuapi anaknya yang menangis sambil meronta-ronta. “Anak itu belum lapar,” desis Glagah Putih. “Bukankah terbiasa seorang ibu menyuapi anaknya dengan paksa, agar anak itu menjadi kenyang dan segera tidur? Sementara itu ibunya dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Mencuci pakaian atau masak di dapur.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berdesis, “Nasi dengan gula kelapa.” “Ya. Nasi dengan gula kelapa yang dilumatkan dengan sedikit air yang sudah masak.” Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, mereka telah berada di tengah-tengah padukuhan. Beberapa orang yang nampaknya juga hanya sekedar lewat di padukuhan itu, berjalan dengan cepat melintas. Ada yang berjalan searah, tetapi ada juga yang berlawanan arah. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka tidak seorangpun yang mengenalnya. Baik mereka yang tinggal di padukuhan itu maupun orang-orang yang lewat. Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak terhambat. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka memasuki lagi sebuah bulak yang panjang di sebuah ngarai yang datar dan luas. Mereka melewati jalan yang termasuk jalan yang lebar. Tetapi agaknya jalan itu tidak terlalu ramai. Yang melewati jalan itu hanyalah orang-orang padukuhan yang pergi ke sawah, atau orang orang-orang yang bepergian dari satu padukuhan ke padukuhan lain yang tidak terlalu jauh. “Jalan ini tentu kepanjangan jalan yang tidak aman itu,” berkata Rara Wulan. “Ya,” sahut Glagah Putih, “tetapi jika beberapa kademangan bersama-sama Perguruan Awang-Awang itu sudah benar-benar bangkit, maka jalan ini akan menjadi ramai kembali. Para pedagang tidak merasa perlu untuk menunggu-nunggu yang satu dengan yang lain agar mereka dapat melintasi jalan ini dalam kelompok-kelompok yang besar. Bahkan para pedagang yang dapat mengupah satu atau dua orang pengawal. Jika jalan ini menjadi aman, maka pedagang-pedagang sedang dan pedagang kecil pun akan berani melintasi meski seorang diri.” Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin tinggi. Panasnya mulai terasa mengusik kulit mereka. Sementara itu nampak beberapa orang petani sedang sibuk bekerja di sawah. Tidak ada yang menghambat perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ketika matahari mencapai puncak langit, mereka telah berada di sebuah padukuhan yang terhitung besar. Ada sebuah pasar di padukuhan itu. Tetapi pasar itu nampaknya sepi-sepi saja. Bukan karena hari sudah menjadi semakin siang, tetapi nampaknya sejak pagi pasar itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Bahkan beberapa kedai di depan pasar itu pun tidak lagi dibuka, karena jarang orang yang datang untuk makan dan minum. Yang terbiasa datang ke pasar itu hanyalah orang-orang yang tinggal di padukuhan itu atau padukuhan sekitarnya saja, sehingga mereka tidak perlu singgah di kedai yang ada di depan pasar itu. Namun di pasar itu, ada juga yang menjual nasi. Nasi tumpang, berdekatan dengan penjual dawet cendol. Dibentangkannya sehelai tikar pandan yang tidak terlalu lebar, yang warnanya kekuning-kuningan serta sudah koyak di sudutnya. “Kita berhenti sebentar, Rara,” desis Glagah Putih. “Untuk apa?” “Ada dawet cendol dan nasi tumpang.” “Apa Kakang sudah lapar?” “Aku sudah mulai haus, meskipun belum lapar. Tetapi kita akan dapat berbincang-bincang dengan penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu.“ Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk. “Kita dapat duduk di tikar itu.” “Siapa yang membentangkan tikar itu? Penjual nasi atau penjual dawet?” “Siapapun yang membentangkan. Kita akan membeli nasi dan dawet.” Keduanya pun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka pun duduk di atas tikar yang dibentangkan di bawah sebatang pohon waru yang rimbun. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memesan nasi tumpang dan dawet cendol yang segar. “Pasar ini nampak sepi sekali?“ bertanya Rara Wulan. “Tadi pagi pasar ini sedikit ramai,“ jawab penjual nasi tumpang. “Ketika matahari naik, pasar ini pun menjadi sepi.” “Apakah biasanya pasar ini juga sepi?” “Hari ini sebenarnya hari pasaran. Karena itu, tadi pagi pasar ini menjadi agak ramai. Meskipun demikian, pasar ini masih saja terlalu sepi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.“ “Kenapa?“ “Lingkungan ini memang menjadi sepi. Para pedagang dari jauh tidak lagi mau singgah, karena pasar ini semakin terasa tidak aman.” “Sekarang masih juga tidak aman?” “Ya, sekarang.“ “Sejak beberapa waktu yang lalu,“ sahut penjual dawet. “Kenapa?” bertanya Glagah Putih. “Apakah kalian berdua bukan penghuni daerah ini?” “Kami hanya lewat saja, Ki Sanak.“ Penjual dawet itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putih mengacungkan mangkuknya yang telah kosong, “Lagi, Ki sanak. Aku haus sekali.“ Penjual dawet itu menerima mangkuk dari tangan Glagah Putih dan mengisinya lagi. “Nyai juga?” bertanya penjual dawet itu. “Tidak. Sudah cukup,“ jawab Rara Wulan. Glagah Putih menghirup dawet cendolnya. Kemudian ia pun bertanya pula, “Apakah sering ada orang-orang jahat yang datang kemari?” “Sasaran mereka adalah para pedagang yang lewat. Tetapi mereka biasanya lewat berkelompok, sehingga mereka mampu memberikan perlawanan. Kadang-kadang para pedagang itu berhasil menyelamatkan dagangan mereka. Tetapi kadang-kadang ada juga yang terpaksa harus ketinggalan, jika para penyamun itu menghadang mereka. Meskipun para pedagang itu sendiri mampu menghindar, tetapi sering terjadi beberapa bungkus dagangan mereka terjatuh atau tertinggal atau karena apapun, namun barang-barang itu akhirnya jatuh juga di tangan para perampok. Tetapi para perampok itu pun kadang-kadang harus mengorbankan satu dua orang kawan mereka yang terbunuh oleh para pedagang dan orang-orang upahan yang melindungi mereka.” “Apakah ada juga pedagang atau orang-orang upahannya yang menjadi korban?“ “Ya. Pernah juga terjadi. Tetapi biasanya kawan-kawannya berusaha membawa tubuh korban itu. Jika tubuh itu tertinggal, maka tubuh itu akan mengalami perlakuan yang buruk sekali, meskipun orang itu sudah mati.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu, penjual nasi tumpang itu pun berkata, “Kemarin ada sekelompok pedagang yang lewat. Pertempuran terjadi dengan para penyamun. Tetapi para pedagang itu berhasil lolos.” “Pertempuran itu terjadi di pasar ini?” “Tidak,“ sahut penjual dawet, “pertempuran itu terjadi di bulak sebelah. Bahkan seorang perampok terbunuh. Beberapa yang lain terluka. Karena itu, maka perampok itu menjadi sangat mendendam.” Namun permbicaraan mereka pun terputus. Mereka melihat beberapa orang yang berwajah garang datang dan berkerumun di depan pintu gerbang pasar. “Siapa mereka?” “Jangan memperhatikan mereka. Jika kalian berbuat wajar-wajar saja, mereka tidak akan menghiraukannya,” desis penjual dawet itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beringsut. Mereka berpura-pura tidak menghiraukan lagi, beberapa orang yang berkumpul di depan pintu gerbang itu. “Siapa mereka itu?” Glagah Putih bertanya sekali lagi. Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak mengenal mereka dengan pasti, tetapi mereka tentu sebagian dari para perampok itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Menilik sikap, pakaian serta wajah-wajah mereka, maka mereka adalah orang-orang yang garang, menakutkan dan bengis. “Apa yang mereka bawa dalam karung itu?“ bertanya Glagah Putih pula. Penjual dawet itu menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak tahu. Biasanya mereka merampas karung-karung seperti itu dari para pedagang yang lewat.” Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam. Di tangan mereka masih terdapat sepincuk nasi tumpang yang masih belum mereka habiskan. Kehadiran orang-orang itu telah membuat Glagah Putih dan Rara Wulan lambat menyuapi mulut mereka. “Jika sempat, menyingkir sajalah,“ tiba-tiba saja penjual dawet itu berdesis. “Kenapa?“ “Kau orang asing di sini. Jika terjadi sesuatu, kau dapat menjadi korban.” “Bagaimana dengan Ki Sanak dan bibi penjual nasi itu?” “Setiap hari kami berada di sini. Tidak ada masalah bagi kami.” “Jika aku pergi, mereka tentu akan menjadi curiga.” “Jangan lewat pintu gerbang itu, tetapi lewat pintu butulan, di sebelah gubug bekas tempat pande besi itu menempa.” “Bekas? Jadi mereka tidak bekerja di gubug-gubug itu sekarang?” “Tidak. Para perampok itu melarang mereka membuat alat-alat pertanian, yang katanya akan dapat dipergunakan sebagai senjata.” “Tetapi sebaiknya duduk sajalah di situ,” berkata penjual nasi tumpang. “Jika kalian pergi, memang akan dapat menarik perhatian mereka. Tidak terlalu banyak orang di sini, sehingga satu atau dua orang di antara mereka akan melihat jika kedua orang ini bangkit dan pergi meninggalkan tempat ini.” Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Ia sempat berpaling sekilas memandang sekelompok orang yang berkerumun di pintu gerbang itu. Katanya, “Ya. Sebaiknya kalian di sini saja.“ Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memutuskan untuk duduk saja di tikar, sambil makan nasi tumpang serta menghirup dawet cendol yang segar. Sementara itu, beberapa orang masih saja berkerumun di depan pintu gerbang pasar. Mereka meletakkan tiga buah karung yang penuh terisi di sebelah pintu gerbang pasar itu. Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak ingin meninggalkan pasar itu. Mereka ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh sekelompok orang yang berkerumun di depan pintu pasar itu. Beberapa orang yang masih berkerumun di pasar itu pun telah meninggalkan pasar. Satu dua orang yang berjualan justru berpura-pura tidak melihat apa-apa, sebagaimana penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan wajar-wajar saja tanpa memperhatikan orang-orang yang berkumpul di depan pintu pasar itu. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang masih ada di pasar itu menjadi berdebar-debar mendengar derap kaki kuda yang semakin lama semakin dekat. “Agaknya mereka sudah mencium berita bahwa akan ada sekelompok pedagang lewat,” desis penjual dawet itu. “Mereka akan mencegatnya?“ bertanya Rara Wulan. “Mungkin. Tetapi biasanya mereka tidak melakukannya di sini, tetapi di bulak sebelah.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia melihat kedua orang penjual nasi dan dawet itu menjadi tegang. Tetapi sebenarnyalah Glagah Putih sendiri dan Rara Wulan juga menjadi berdebar-debar. Ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka seorang di antara orang-orang yang berkumpul di pintu gerbang pasar itu melangkah ke tengah jalan sambil bersuit nyaring. Sejenak kemudian, sekelompok orang berkuda telah berhenti pula di depan pasar. Seorang di antara mereka bergeser ke depan sambil mengangkat tangan kanannya. “Delapan hasta dari utara,” berkata orang itu. Orang yang berdiri di tengah jalan itu pun menyaut, “Tujuh langkah dari selatan.” Orang yang duduk di punggung kuda itu bergerak beberapa langkah lagi mendekati orang yang berdiri di tengah jalan. “Lihat, apa yang kau bawa?” “Tujukkan dahulu mutiaramu itu,“ jawab orang yang berdiri di tengah jalan. Orang yang berkuda itu memberikan isyarat kepada seorang kawannya, yang bergeser mendekatinya sambil membawa sebuah peti kayu yang tidak begitu besar. Ketika peti itu dibuka, maka dua orang yang sejak semula nampaknya memang sedang menunggu di depan pasar itu mendekat. “Lihatlah,“ berkata orang yang berdiri di tengah jalan, “kau yang tahu benar tentang candu.” Kedua orang kawannya pun mendekat. Seorang di antara mereka menerima peti itu dan memperhatikan isinya dengan seksama. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi terkejut karenanya. Agaknya di pasar itu telah terjadi jual beli barang terlarang. Candu. Ternyata ada pula sekelompok orang berkuda yang lewat di jalan yang tidak aman itu, sekelompok orang yang tidak kalah jahatnya dengan para perampok dan penyamun yang sering mengganggu perjalanan para pedagang. Orang-orang berkuda yang nampaknya juga sekelompok pedagang yang lewat, ternyata adalah sekelompok orang yang berdagang barang-barang terlarang. Kedua orang yang menilai candu yang ada di dalam peti itu mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, “Ya. Barangnya sesuai dengan pembicaraan.” “Nah,” berkata orang berkuda, “sekarang bawa kemari barang-barangmu.” Orang yang berdiri di tengah jalan dan menghentikan sekelompok orang berkuda itu memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membawa tiga buah karung itu mendekat. Orang berkuda itu pun kemudian meloncat turun. Dua orang kawanyannya pun meloncat turun pula. Meskipun mereka sedang melakukan pertukaran barang dengan orang-orang yang menunggu di depan pasar itu, namun agaknya kedua belah pihak nampak tetap bersiaga. Kedua belah pihak agaknya tidak dapat saling mempercayai begitu saja. Setelah melihat-lihat isi karung itu, maka orang berkuda itu pun bertanya, “Kalian dapat dari mana barang-barang ini?” “Kami adalah sekelompok perampok dan penyamun. Kami dapatkan barang-barang itu dengan cara kami.” “Baiklah. Kami akan membawanya. Tetapi kami tidak akan segera dapat menguangkannya. Kami harus meneliti bahwa barang-barang ini tidak akan menjebak kami.” “Terserah saja kepadamu. Persoalan di antara kita sudah selesai. Jika pada kesempatan lain kalian lewat dengan membawa barang-barang berharga atau sejenis mutiara itu, mungkin kami-lah yang akan merampokmu.” “Tetapi mungkin pula kami-lah yang akan membinasakan kalian.” “Persetan dengan kesombonganmu.“ Orang berkuda itu tidak menjawab. Diperintahkannya orang-orangnya untuk membawa karung-karung itu di punggung kuda. “Jika kami memerlukannya lagi, dengan siapa kami harus berhubungan?” “Kau akan menghubungi kami?” “Ya.” “Bagaimana dengan perantara itu?” “Aku sudah membunuhnya. Ia telah mengkhianati kami. Untunglah kami segera mengetahui. Jika kami terlambat, maka pertukaran hari ini tentu tidak akan terjadi.” “Aku tidak berkeberatan. Kau sudah tahu, kemana perantaramu itu harus pergi. Tetapi kami-lah yang akan menentukan kapan kami membutuhkannya.” “Baiklah. Hampir setiap pasaran kami berada di pasar Seca. Setelah kami melewati jalan-jalan yang berbahaya, maka kami akan menyatukan diri dengan orang-orang lain.” “Apakah sekelompok pedagang yang sering lewat di jalan ini juga kelompok yang sekarang berada di sini?” “Ternyata kau sangat dungu. Tentu bukan. Yang datang bersamaku sekarang adalah mereka yang bersedia bekerja sama bersamaku, khususnya dalam perdagangan mutiara itu. Tidak seorangpun dari kawan-kawan pedagang yang mengetahui, bahwa aku berdagang candu. Tidak seorangpun dari mereka yang pantas dipercaya.“ Namun orang itu pun kemudian memandang berkeliling dan berkata, “Bagaimana dengan seisi pasar ini?” Tetapi orang yang agaknya pemimpin dari mereka yang berkumpul di depan pasar itu pun tertawa. Katanya, “Tidak seorangpun yang akan berani mengkhianati kami di pasar ini. Jika itu terjadi, maka kami akan membuat pasar ini menjadi debu dan membaurkannya ke sungai yang sedang banjir. Kami berkuasa di sini untuk berbuat apa saja sekehendak kami.“ Orang yang membawa candu itu mengangguk-angguk. Namun sejenak orang itu pun berkata, “Baiklah. Kami akan pergi. Jika kalian dapat dipercaya, maka hubungan di antara kita ini dapat berlanjut.“ “Aku pun akan menilai apakah kau tidak berkhianat.“ Orang yang membawa candu itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, orang-orang berkuda itu pun telah meninggalkan pasar yang sepi itu, justru menuju ke arah dari mana mereka datang. Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Gagah Putih pun kemudian segera membayar harga nasi tumpang dan dawet cendol itu. “Mereka telah pergi. Bukankah aku pun dapat pergi?” desis Glagah Putih. “Tetapi mereka masih berada di situ.” “Baiklah. Kami akan menunggu di sebelah regol pasar. Bukankah di dekat regol itu ada orang berjualan mentimun? Agaknya masih ada beberapa buah ketimun yang belum laku.“ “Hati-hatilah,” desis penjual nasi tumpang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Namun mereka pun kemudian bangkit dan berjalan menuju ke regol. “Kita tidak dapat berbuat apa-apa di sini,” desis Glagah Putih. “Kita dapat merampas candu itu dan memusnahkannya.” “Tetapi akibatnya akan buruk sekali bagi orang-orang sepasar. Bahkan untuk selanjutnya pasar ini akan mati. Tidak seorangpun yang akan berani lagi pergi ke pasar ini.“ “Lalu, apa yang harus kita lakukan?“ “Jika mereka pergi, kita akan mengikuti mereka. Kita memang tidak dapat membiarkan candu itu jatuh ke tangan orang banyak.“ Rara Wulan agaknya dapat mengerti. Jika mereka harus berbuat sesuatu, maka mereka tidak akan mengorbankan orang-orang yang berada di pasar itu. Demikianlah, sejenak kemudian ketika orang-orang yang semula berkumpul di depan pasar itu pergi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun keluar pula dari pasar itu. Mereka akan mengikuti sekelompok orang yang membawa candu itu, tetapi tanpa ada kesan bahwa keduanya keluar dari dalam pasar. Karena itu, maka untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan hanya memperhatikan arah perjalanan mereka. Ketika di kejauhan mereka berbelok ke kiri, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun baru melangkah meninggalkan pasar itu. Namun dengan cepat keduanya melangkah menyusul perjalanan sekelompok orang yang membawa candu itu. Di jalan simpang, mereka masih melihat sekelompok orang itu berbelok ke kanan. “Sekarang kita akan menyusul mereka.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan cepat melintasi jalan yang dilalui oleh sekelompok orang yang membawa candu itu. Mereka pun kemudian berbelok ke kanan. Memasuki sebuah bulak panjang itu, mereka telah berhasil menyusul sekelompok orang yang membawa peti candu itu. “Sekitar sepuluh orang,” berkata Glagah Putih. “Ya. Kita tidak tahu tataran kemampuan mereka. Apakah kita harus berusaha menghentikan perlawanan mereka secepatnya?” “Ya,“ jawab Glagah Putih, “kita tidak ingin terjebak dalam putaran kekuatan yang tidak terlawan.“ Rara Wulan mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun sudah mulai mengambil sikap. Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang dikenakan kemudian adalah pakaian khususnya. Namun Glagah Putih masih berdesis, “Jangan sebut candu, Rara.” “Kenapa?” “Mereka akan dapat menganggap orang-orang yang berada di pasar itu-lah yang berkhianat, dengan membuka rahasia candu itu kepada kita.“ “Baiklah, Kakang. Kakang sajalah yang berbicara dengan mereka.” Glagah Putih menganguk. Namun sebelum keduanya menghentikan orang-orang yang membawa peti berisi candu itu, pemimpin mereka telah memerintahkan mereka untuk berhenti. “Agaknya dua orang itu sengaja mengikuti kita,” berkata pemimpin sekelompok orang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyadarinya. Karena itu, maka Glagah Putih pun berhenti pula beberapa langkah dari mereka. “Apakah kalian berdua sengaja mengikuti kami?“ bertanya pemimpin kelompok itu. “Ya,“ jawab Glagah Putih. “Siapa kalian, dan apakah maksud kalian?” “Kalian tentu gerombolan perampok yang dipimpin oleh Kasan Barong.” “Siapa? “Kasan Barong.” Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian pemimpinnya itu pun menjawab, “Aku tidak mengenal orang yang bernama Kasan Barong. Bahkan namanya pun aku belum pernah mendengarnya.” “Jadi siapakah yang memimpin kelompok ini?” “Aku. Namaku Jati Ngarang.” “Bohong,“ jawab Glagah Putih sambil tertawa. Suara tertawanya bagaikan mengguncang bulak panjang itu. Bahkan jantung Rara Wulan pun telah tergetar pula mendengar suara tertawa Glagah Putih itu. Di antara derai tertawanya Glagah Putih pun berkata, “Ternyata Kasan Barong adalah seorang pengecut. Kenapa kau mengelak, ketika kau sudah bertemu dengan aku sekarang ini?” “Kau siapa?” “Namaku Lemah Bengkah. Perempuan ini adalah istriku. Nah, sekarang kau tahu, dengan siapa kau berhadapan. Kau pun tentu tahu, persoalan apa yang ada di antara kita.” “Persoalan apa?” “Jangan ingkar,” geram Glagah Putih, “kau curi kitab yang berisi ilmu kanuragan, yang disebut Kitab Mega Mendung. Nah, aku datang mengemban perintah Guru untuk mengambil kitab itu.” Wajah pemimpin sekelompok orang, yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu, memandang beberapa orang pengikutnya berganti-ganti. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Siapa pernah mendengar nama Kasan Barong? Dan siapakah yang pernah mendengar sebuah kitab yang disebut Kitab Mega Mendung?” Para pengikutnya itu menggeleng. “Tentu fitnah,” geram orang yang disebut Jati Ngarang. “Seandainya benar bahwa aku adalah orang yang kau sebut Kasan Barong, yang mencuri kitab gurumu, bagaimana kau tahu bahwa orang itu adalah aku?” “Aku sudah mendapat ancar-ancar dari Guru. Orang yang namanya Kasan Barong adalah seorang yang bertubuh tinggi, tegap, bermata tajam seperti mata elang, cerdik dan licik.” “Bukankah ada beribu orang yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata elang?” “Orang itu berkeliaran dan menjadi pemimpin sekelompok penyampun di daerah ini. Jelas. Tidak ada dua atau tiga, tetapi hanya ada satu orang saja. Kau. Meskipun namamu akan berganti seribu kali, tetapi bayangan di kepalaku adalah tepat terungkap pada wajah, ujud dan sifat-sifatmu.” “Persetan dengan igauanmu. Seandainya aku adalah Kasan Barong, apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan mengambil kembali kitab itu.” “Seandainya aku berhasil mencurinya, aku tentu tidak akan mengembalikannya kepadamu atau memberikannya kepada siapapun. Kecuali jika ada orang yang membelinya dengan harga yang sangat mahal.” “Apakah aku harus memaksamu dengan caraku?“ Orang yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu tertawa. Beberapa orang pengikutnya pun tertawa pula. Seorang yang berkumis lebat berkata di sela-sela derai tertawanya, “Kau hanya dua orang. Itupun seorang di antara kalian perempuan. Kami semuanya berjumlah sepuluh orang. Bagaimana mungkin kau akan memaksa kami untuk melakukan sesuatu? Apalagi yang harus kami lakukan itu tidak kami mengerti sama sekali.” “Meskipun kami hanya berdua, jika Guru tidak mempercayai kami, maka kami tidak akan mendapat perintah untuk mengambil kembali kitab itu. Beberapa pekan aku berkeliaran di daerah ini, sekarang aku menemukan orang yang aku cari. Aku tentu tidak akan melepaskan Kasan Barong yang licik itu.” “Persetan dengan celotehmu. Pergi, atau kami akan membunuhmu,” geram seorang yang tubuhnya agak gemuk. Lengannya yang besar itu hampir sebesar kentongan tunggak bambu petung. “Aku akan pergi dengan membawa Kitab Mega Mendung, sebagaimana diperintahkan oleh Guru.” Pemimpin sekelompok orang yang membawa candu itu pun kemudian berkata, “Selesaikan mereka berdua. Aku akan membawa peti itu pulang.” Namun tiba-tiba saja Glagah Putih hampir berteriak berkata, “Kitab itu tentu kalian simpan di dalam peti itu! Berikan peti itu kepadaku!” “Kau gila. Ini peti berisi perhiasan. Aku memang merampoknya dari beberapa orang pedagang yang lewat.” “Omong kosong. Jika peti itu berisi perhiasan, tunjukkan kepadaku. Aku tidak akan merampasnya.” “Kau tidak berhak melihat hasil rampokanku. Kau bukan keluarga kelompokku.” “Tetapi aku membawa wewenang guruku untuk mengambil kembali kitab itu.” “Apapun yang kau katakan, kau akan mati.” Orang yang tubuhnya agak gemuk itu pun melangkah maju, sedangkan orang yang berkumis lebat itu pun bergeser pula sambil berkata, “Aku akan menangkap perempuan ini saja. Keberadaannya di sarang kita akan memberikan banyak manfaat.” “Persetan kau,” geram orang yang agak gemuk, “aku akan membunuh laki-laki yang sombong ini.” Dalam pada itu, Jati Ngarang sendiri seakan-akan tidak menghiraukan lagi keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Bersama seorang yang membawa peti berisi candu itu, mereka meninggalkan tempat itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak boleh terpancang terlalu lama dalam pertempuran melawan kedua orag itu, agar mereka segera dapat menyusul Jati Ngarang dan para pengikutnya yang membawa peti itu pergi. Karena itu maka Glagali Putih pun kemudian berkata lantang, “Bersiaplah untuk mati!” Namun kemudian ia pun berteriak, “Kasan Barong! Jangan tinggalkan mayat kawanmu itu di sini. Jika kau pergi, kau harus membawa mayat mereka dan meninggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu!” Jati Ngarang menggeram. Tetapi ia hanya berpaling saja. Kemudian ia pun melanjutkan langkahnya. “Bagus,” geram Glagah Putih, “kalian berdua akan menjadi tumbal. Tetapi setelah membunuh kalian berdua, aku akan memburu Kasan Barong itu.” “Kau masih saja nekad menyembutnya Kasan Barong,” geram orang yang agak gemuk itu, “tetapi aku akan segera membungkam mulutmu.” Orang yang agak gemuk itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Namun orang itu tidak membiarkan Glagah Putih lepas dari serangannya. Meskipun tubuhnya agak gemuk, tetapi orang itu meloncat dengan cekatan. Ketika tubuhnya berputar, maka kakinya pun terayun mendatar mengarah ke kening. Glagah Putih bergeser selangkah surut. Serangan itu tidak mengenainya. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian dengan cepat meloncat menyerang. Orang yang bertubuh gemuk itu terkejut. Tetapi ia pun mampu bergerak cepat menghindar. Namun serangan kedua Glagah Putih, tidak mampu dihindarinya. Kaki Glagah Putih terjulur lurus menggapai dadanya. Orang bertubuh gemuk itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh tercebur ke dalam air yang mengalir di parit yang menjulur di pinggir jalan itu. Yang tertawa justru Rara Wulan. Katanya kepada orang berkumis lebat itu, “Lihat, kawanmu sempat mandi.” Orang berkumis lebat itu menggeram. Katanya, “Jangan meremehkan kawanku itu. Jika ia sudah melepaskan kemampuan puncaknya, maka suamimu akan lebur menjadi abu.” Rara Wulan tidak menjawab. Bahkan seolah-olah ia tidak mendengarnya. Bahkan ia pun bertanya, “Apakah kau juga akan mandi?” Rara Wulan tidak memberi kesempatan orang berkumis lebat itu menjawab. Tiba-tiba saja Rara Wulan pun meloncat menyerang. Tangannya-lah yang terjulur lurus mengenai dada orang berkumis lebat itu. Orang itu tidak mengira bahwa perempuan itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka ia pun tidak sempat menghindari serangan Rara Wulan itu. Demikian kerasnya serangan Rara Wulan, maka orang itu pun bergetar surut. Bahkan ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ternyata orang itu pun telah terdorong dan tercebur ke dalam parit itu pula. Dengan cepat orang itu pun bangkit dan meloncat ke tanggul. Tetapi seluruh pakaiannya sudah terlanjur basah, sebagaimana orang yang agak gemuk itu. Kejadian itu ternyata menarik perhatian beberapa orang kawannya yang masih belum terlalu jauh. Empat orang di antara mereka menghentikan langkahnya dan bahkan berbalik kembali. Jati Ngarang pun berpaling. Tetapi kemudian ia berjalan terus sambil berkata, “Jangan ragu-ragu. Selesaikan kedua orang itu dengan cepat.” “Baik, Lurahe,” jawab seorang di antara empat orang yang berbalik itu. Dalam pada itu, orang yang bertubuh gemuk itu pun mengumpat kasar. Dengan geram ia pun berkata, “Setan yang tidak tahu diri. Aku benar-benar akan membunuhmu.” “Lakukan saja kalau kau mampu. Kalau tidak, maka aku-lah yang akan membunuhmu.” Orang yang bertubuh gemuk yang pakaiannya menjadi basah kuyup itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih pun sudah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangan-serangannya menjadi sia-sia. Tangan dan kakinya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Glagah Putih. Demikian pula orang yang berkumis itu. Serangan-serangannya pun tidak berarti sama sekali bagi Rara Wulan. Bahkan yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi orang itu terlempar ke dalam parit, setelah tubuhnya membentur pohon turi yang menjadi pohon perindang di jalan bulak itu. Sambil bangkit berdiri orang berkumis lebat itu mengumpat. Sementara itu, keempat orang yang berbalik itu telah berdiri memperhatikan pertempuran itu. Mereka pun segera menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya bernama Lemah Bengkah dan menuntut diserahkan Kitab Mega Mendung itu adalah seorang yang berilmu tinggi. “Pantas gurunya mempercayainya untuk mencari kitab itu,” berkata seorang di antara keempat orang yang berbalik itu. “Tetapi apakah Ki Lurah benar-benar telah mencuri kitab itu dari gurunya?” “Tentu tidak. Yang dicarinya adalah orang yang bernama Kasan Barong. Tetapi orang itu agaknya sangat yakin, bahwa Lurahe itu-lah yang dicarinya.” “Mereka harus menebus kesalahpahaman ini dengan nyawa mereka,” geram seorang yang bertubuh raksasa, berambut panjang bergerai di bawah ikat kepalanya sampai ke bawah bahunya. Tetapi percakapan itu pun terhenti. Mereka melihat orang yang bertubuh agak gemuk itu terpelanting jatuh. Punggungnya telah menimpa tanggul parit yang berbatu-batu padas. “Edan!” teriak orang yang bertubuh gemuk itu, “Kau patahkan tulang punggungku.” Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya orang itu bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan. “Aku akan membunuhmu, keparat,” geram orang itu sambil menarik senjatanya. Sebuah golok yang panjang, berwarna kehitam-hitaman. Agaknya bukan golok kebanyakan. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun agaknya kawan-kawannya itu pun akan segera melibatkan diri pula. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah mengurai ikat pinggangnya. Orang yang bertubuh agak gemuk itu mengerutkan dahinya. Ia mendengar beberapa orang kawannya yang berbalik itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah perguruanmu begitu miskin, sehingga tidak mampu membekalimu dengan senjata apapun?” Glagah Putih bergeser surut. Dipandanginya orang yang mentertawakannya itu sambil berkata, “Inilah senjataku. Ini memang senjataku.” “Apa yang dapat kau lakukan dengan senjatamu itu?” “O. Kau ingin tahu?” Tiba-tiba saja Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan senjatanya ke arah leher lawannya yang agak gemuk itu. Ia berharap lawannya itu menangkis serangannya dengan goloknya yang panjang. Sebenarnyalah bahwa lawannya yang agak gemuk itu telah menyilangkan goloknya untuk membentur serangan Glagah Putih. Orang itu berharap akan dapat menebas putus ikat pinggang lawannya itu. Namun ketika benturan itu terjadi, orang yang agak gemuk itu terkejut. Demikian pula orang-orang yang memperhatikan pertempuran itu. Mereka melihat golok yang panjang itu bergetar. Bahkan golok itu telah terlepas dari tangannya. Golok yang membentur ikat pinggang Glagah Putih itu seakan-akan telah terbentur dengan sebatang bindi baja sebesar lengan orang yang agak gemuk itu. Orang yang kehilangan goloknya itu meloncat surut. Tetapi ia tidak sempat memungut goloknya, karena tiba-tiba saja di luar perhitungannya, Glagah Putih dengan kecepatan yang sangat tinggi telah berdiri sambil menginjak goloknya itu dengan satu kakinya. “Iblis keparat,” geram orang yang bertubuh agak gemuk itu. Glagah Putih memandangi orang-orang yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu sambil berkata, “Nah, kau lihat sekarang. Apa yang dapat aku lakukan dengan ikat pinggangku ini.” Orang-orang itu pun menjadi tegang. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Kita akan menyelesaikan orang itu bersama-sama.” Namun ketika keempat orang itu mulai bergeser, orang berkumis lebat itu mengaduh tertahan. Selendang Rara Wulan yang menyambar pundak kanannya, membuat tangan kanannya seakan-akan menjadi lumpuh. Bahkan orang itu tidak sempat menarik senjatanya, sebilah pedang yang tergantung di lambung kirinya. Keempat orang yang mulai bergerak itu berpaling. Mereka melihat kawannya yang berkumis lebat itu menyeringai kesakitan sambil mengumpat, “Perempuan terkutuk. Iblis manakah yang telah memberikan selendang itu kepadamu?” “Kenapa dengan selendangku?” Orang berkumis lebat itu mengelus pundaknya yang tulangnya bagaikan retak. Dalam pada itu, keempat orang yang berbalik itu pun segera membagi diri. Dua di antara mereka akan membantu orang yang tubuhnya agak gemuk itu. Sedangkan dua orang yang lain akan bertempur bersama orang yang berkumis lebat. “Bagaimana dengan perempuan ini?” bertanya seorang di antara kedua orang yang akan membantu orang yang berkumis lebat itu. “Bukan perempuan kebanyakan. Tetapi ia adalah iblis betina. Selendangnya sangat berbahaya.” “Bagaimana dengan selendangnya?” bertanya yang lain. “Jangan sampai tersentuh. Selendang itu dapat meretakkan tulang.” “Omong kosong,“ geram kawannya, “aku akan memotong selendang itu dengan pedangku.” Orang itu pun kemudian telah menggenggam pedang yang tajamnya berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. “Pedangku ini dapat memotong segenggam kapuk randu yang ditiupkan ke tajamnya. Apalagi selendang itu. Aku akan memangkasnya menjadi potong-potongan kecil.” Rara Wulan sama sekali tidak menanggapinya. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri untuk melawan ketiga orang yang kemudian berdiri memencar. Namun seorang di antara mereka sebelah tangannya sudah tidak begitu bertenaga. Justru tangan kanannya. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat dalam pertempuran melawan masing-masing tiga orang. Namun ternyata bahwa keenam orang itu pun segera mengalami kesulitan. Pedang yang dibanggakan, yang dapat memotong selembar kapuk yang dihembus ke tajamnya, tidak mampu mengoyakkan selendang Rara Wulan. Bahkan selendang itu jika terjulur seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tongkat baja yang sangat berbahaya. Dengan demikian, maka ketiga orang lawan Rara Wulan itu pun segera terdesak. Ketika orang yang tangan kanannya serasa telah menjadi lumpuh itu mencoba meloncat menyerang dengan kakinya, maka selendang Rara Wulan telah menyambar lambungnya. Dengan derasnya orang berkumis lebat itu terlempar ke samping. Tubuhnya terbanting dengan kerasnya di tanah yang berbatu padas. Orang itu pun mengerang kesakitan. Ia tidak lagi dapat segera bangkit. Tulang-tulangnya bagaikan telah berpatahan. Kedua orang kawannya menjadi sangat marah. Sambil menggeram mereka pun segera menyerang dengan senjata masing-masing, yang berputaran seperti baling-baling. Sementara itu, ketiga orang lawan Glagah Putih telah mendesak lawan-lawannya pula. Meskipun orang yang agak gemuk itu sudah dapat memungut senjata kembali, tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Glagah Putih. Bahkan senjata Glagah Putih-lah yang mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya itu. Seorang lawannya berteriak kesakitan sambil mengumpat ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai lengannya. Lengan itu pun telah terkoyak, seakan-akan tergores sebilah pedang yang sangat tajam. Namun dengan demikian orang-orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun harus menyadari, bahwa kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku mendapat perintah dari guru mereka itu benar-benar orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka seorang di antara mereka pun segera bersuit nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang mendahuluinya, agar mereka pun segera kembali untuk mengatasi kesulitan keenam orang itu. “Kalau bukan Lurahe Jati Ngarang sendiri, maka sulit untuk mengatasi dua orang ini,” desis seorang di antara mereka. Sementara itu, para pengikut Jati Ngarang itu sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka sama sekali tidak mampu untuk menguasai orang yang menyebut namanya Lemah Bengkah bersama istrinya itu. Jati Ngarang yang sudah berjalan semakin jauh, masih mendengar isyarat pengikutnya. Namun ia justru berkata, “Cepat. Kita harus segera pergi. Kedua orang itu tidak boleh menyusul kita.” “Tidak ada gunanya, Lurahe. Meskipun kita sudah menjadi semakin jauh, maka salah seorang dari kawan-kawan kita itu tentu akan dapat menunjukkan sarang kita, jika mereka tidak berhasil mengalahkan kedua orang yang sedang mencari Kitab Mega Mendung itu. Agaknya mereka sedang menemui kesulitan, sehingga mereka telah memberi isyarat.” “Mereka tidak akan berkhianat dengan menunjukkan sarang kita.” “Tetapi kedua orang suami istri itu tentu mempunyai seribu cara untuk memaksa agar kawan-kawan kami itu berbicara.” “Jadi menurut pendapatmu?” “Kita kembali kepada kawan-kawan kita itu. Kita membantu mereka. Kedua orang suami istri itu harus kita bunuh. Jika mereka belum mati, maka mereka tentu akan memburu Ki Lurah, karena mereka yakin bahwa Ki Lurah adalah orang yang mereka sebut Kasan Barong, yang telah mencuri Kitab Mega Mendung.” Pemimpin segerombolan penyamun itu termangu-mangu. Namun pada saat itu mereka membawa candu di dalam peti kayu kecil itu. Candu yang harganya mahal sekali, sehingga candu yang mereka bawa itu nilainya adalah beberapa ratus keping uang perak. Namun akhirnya Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah. Kita kembali. Kita akan membantu keenam kawan-kawan kita yang mengalami kesulitan itu.” Dengan tergesa-gesa keempat orang itu pun melangkah kembali. Mereka tidak menyangka, bahwa dua orang laki-laki dan perempuan itu mampu mengalahkan enam orang di antara mereka. Sedangkan para perampok dan penyamun itu adalah orang-orang yang telah berpengalaman bermain dengan taruhan darah dan bahkan nyawa. Ketika mereka sampai di arena pertempuran, maka kawan-kawan mereka sudah hampir tidak berdaya. Dua orang yang bertempur melawan Rara Wulan hampir tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Sedangkan yang seorang lagi telah pingsan, terbaring di tanggul parit. Sedangkan yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah menjadi tidak berdaya pula. Jati Ngarang menggeram marah. Kedua orang suami istri itu seakan-akan dengan sengaja mempermainkan para pengikutnya. “Selesaikan perempuan itu,” geram Jati Ngarang, “jika kau mampu menangkapnya hidup-hidup, lakukanlah. Jika kalian mengalami kesulitan, bunuh saja. Aku akan membunuh laki-laki ini.” “Baik, Ki Lurah.” Demikianlah, maka tiga orang telah bergeser mendekati Rara Wulan. Mereka meletakkan peti kecil berisi candu itu di atas tanggul parit, dekat sebatang pohon turi. Kepada orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, orang yang meletakkan peti itu berkata, “Kau sudah tidak mampu berkelahi lagi. Jaga peti itu. Taruhannya adalah nyawamu.” “Baik. Baik, Kakang,“ jawab orang itu sambil berjalan tertatih-tatih mendekati peti yang terletak di bawah pohon turi itu. Dalam pada itu, maka Rara Wulan pun harus bertempur lagi melawan tiga orang yang baru saja memasuki arena pertempuran. Mereka masih memiliki tenaga dan kemampuan mereka sepenuhnya. Selebihnya, seorang yang sudah mengalami kesakitan masih mampu bergabung dengan ketiga orang kawannya itu. “Menyerah sajalah,” berkata seorang yang hidungnya cacat. Agaknya bekas goresan senjata yang menyilang. Untunglah bahwa luka itu tidak menggores di matanya. “Kau lihat kawan-kawanmu?” sahut Rara Wulan, “Karena itu, kalian sajalah yang menyerah.” “Perempuan tidak tahu diri. Kami akan dapat menangkapmu dan mencincangmu menjadi sayatan-sayatan kecil. Tetapi kami pun dapat berbuat lain atasmu. Jika kau menyerah, maka keadaan akan menjadi lebih baik daripada masa-masa lalumu.” Rara Wulan tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu selendangnya telah berputar. Terdengar putaran selendang itu bergaung seperti sendaren. “Gila perempuan ini,” desis salah seorang lawannya. Seorang yang lain pun menggeram, “Marilah. Kita selesaikan saja perempuan itu secepatnya. Kita akan berpacu dengan Ki Lurah yang akan membunuh laki-laki yang sombong itu.” Orang-orang yang sudah siap bertempur melawan Rara Wulan itu pun mulai bergeser. Yang akan mereka lakukan adalah menangkap perempuan itu. Tetapi jika sulit dilakukan dan bahkan tidak mungkin, maka mereka akan membunuh saja perempuan binal itu. Sementara itu, Jati Ngarang sudah berhadapan dengan Glagah Putih. Glagah Putih menyadari, bahwa pemimpin sekelompok penyamun itu tentu orang yang berilmu tinggi, dilandasi oleh keberanian dan pengalamannya yang luas. Dengan pedang di tangan, maka Jati Ngarang pun telah siap untuk menyerang. “Siapapun kau, maka kau tidak akan mampu melawan pedangku ini.” Glagah Putih sempat memandangi pedang lawannya. Pedangnya yang berwarna kehitam-hitaman itu menyiratkan pantulan cahaya matahari dari pamornya yang berkeredipan. “Hanya pedang-pedang pilihan yang dibuat dengan pamor seperti itu,” berkata Glagah Putih di dalam hati. Namun Glagah Putih pun percaya penuh bahwa senjatanya adalah senjata yang tidak ada duanya. Dengan landasan tenaga dalamnya yang sangat tinggi, maka senjata itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Karena itu, maka Glagah Putih harus berhati-hati menghadapinya. Meskipun demikian, Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar. Sejenak kemudian, maka pedang itu pun telah berputaran. Kilatan cahaya matahari yang terpantul dari pamornya, kadang-kadang terasa bagaikan menusuk mata Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih pun segera menyadarinya, sehingga ia tidak lagi selalu memandangi daun pedang lawannya. Ketika lawannya meloncat sambil mengayunkan pedangnya, maka Glagah Putih pun bergeser untuk menghindar. Namun ketika ujung pedang itu bagaikan memburunya, maka Glagah Putih telah menepis pedang itu dengan senjatanya. Jati Ngarang menyadari bahwa senjata lawannya bukan senjata kebanyakan. Tetapi ketika pedangnya bersentuhan dengan senjata lawannya yang mengaku bernama Lemah Bengkah itu, maka ia pun bergumam di dalam hatinya, “Iblis manakah yang telah memberikan senjata itu kepadanya?” Demikianlah, maka mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Jati Ngarang berloncatan dengan cepat, sementara pedangnya terayun-ayun mengerikan. Berkali-kali pedang itu menebas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun jika ujung pedang itu gagal menyentuh tubuh lawannya, maka pedang itu pun terjulur, mematuk seperti seekor ular bandotan. Tetapi Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Jati Ngarang. Bahkan sekali-sekali Glagah Putih mendahului serangan-serangan yang akan dilancarkan oleh lawannya. Dengan demikian, maka serangan-serangan Jati Ngarang itu masih belum mampu menembus pertahanan Glagah Putih, dan apalagi menyentuh sasarannya. Tetapi justru serangan-serangan Glagah Putih-lah yang telah berhasil menggores di tubuh Jati Ngarang. Jati Ngarang itu meloncat surut sambil mengumpat kasar ketika terasa ikat pinggang lawanya itu menggores lengannya. Bahkan kemudian ternyata bahwa goresan ikat pinggang itu telah mengoyakkan kulit dan dagingnya, sebagaimana tajamnya sebilah pedang. “Gila!” teriak Jati Ngarang, “Apa yang telah kau lakukan dengan ikat pinggangmu?” “Aku mampu memenggal kepalamu dengan sekali tebas,” sahut Glagah Putih, “belum tentu kau dapat melakukannya dengan pedangmu itu.” “Tentu aku dapat melakukannya. Menunduklah. Aku akan menebas lehermu sehingga putus dengan sekali ayun.” “Aku tidak akan dapat mengerti apakah kau benar-benar melakukannya atau tidak. Jika kau ingin memamerkannya kepadaku, cobalah menebas leher salah seorang pengikutmu yang tidak berguna itu.” Jati Ngarang menggeram. Katanya, “Kau memang gila. Kami telah menyatakan diri menjadi satu keluarga. Jika aku ingin menebas leher, maka itu tentu lehermu. Pedangku yang sudah keluar dari wrangkanya, sudah menjadi haus.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku hanya mempunyai sebuah leher. Karena itu, aku tidak akan menyerahkannya kepadamu dengan suka rela.” “Dengan suka rela atau tidak, akibatnya tidak akan berbeda. Akhirnya kepalamu akan terpenggal juga.” “Kau bermimpi. Marilah kita buktikan, kepala siapakah yang akan terpenggal di arena pertempuran ini.” Jati Ngarang tidak menyahut. Tetapi ia pun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada. Namun Glagah Putih dengan cepat mengelak. Ditepisnya pedang lawannya menyamping. Dengan gerak yang sangat cepat, Glagah Putih telah mengayunkan senjata. Jati Ngarang mengaduh tertahan. Ujung ikat pinggang itu telah menggores lambungnya. Meskipun luka yang kemudian menyilang tidak begitu dalam, namun terasa luka itu menjadi sangat pedih dibasahi oleh keringatnya. Kemarahan Jati Ngarang rasa-rasanya telah membuat darah di seluruh tubuhnya mendidih. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Lawannya dengan senjatanya yang aneh, terlalu sulit untuk dikalahkan. Karena itu, maka Jati Ngarang itu telah berpaling sekilas untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kawan-kawannya. Jati Ngarang itu terkejut melihat apa yang terjadi dengan mereka. Juga satu kenyataan yang harus dihadapinya. Orang-orangnya yang bertempur melawan seorang perempuan itu ternyata sudah tidak berdaya. Dua orang tidak mampu melakukan perlawanan lagi. Meskipun mereka masih berdiri dengan senjata di tangan, tetapi rasa-rasanya mereka harus mengerahkan sisa-sisa tenaga mereka hanya untuk menyelamatkan keseimbangan mereka. Sementara itu, dua orang yang lain masih mencoba untuk bertempur. Namun mereka tidak berdaya lagi mengatasi serangan-serangan selendang Rara Wulan. Glagah Putih membiarkan lawannya untuk melihat kenyataan itu. Karena itu, Glagah Putih tidak tergesa-gesa menyerang Jati Ngarang yang menjadi sangat gelisah. “Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “kau harus melihat kenyataan itu. Serahkan saja kitab yang kau curi itu. Aku akan membawanya kepada Guru. Setelah itu, kau boleh meninggalkan arena ini.” “Persetan kau, Lemah Bengkah,” geram Jati Ngarang, “kau tidak akan dapat lari dari tanganku.” “Apakah kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?” bertanya Glagah Putih. Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang dengan sisa tenaganya. Namun yang terjadi, justru sebaliknya dari yang diharapkannya. Senjata aneh Glagah Putih itu telah mengenai pundaknya. Jati Ngarang meloncat surut. Tetapi kali ini Glagah Putih memburunya. Senjatanya itu pun terjulur lurus menyentuh dada. Jati Ngarang tidak mampu mengelak. Luka pun telah menganga pula di dadanya. Sambil mengerang kesakitan Jati Ngarang meloncat surut mengambil jarak. Glagah Putih membiarkannya berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya Jati Ngarang itu melihat orang-orangnya yang bertempur melawan Rara Wulan. Mereka semuanya sudah tidak berdaya lagi. “Jangan mengingkari kenyataan ini, Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “pergilah. Tinggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu.” Jati Ngarang termangu-mangu sejenak. Ia memang tidak dapat berbuat lain jika ia masih ingin tetap hidup. Karena itu, maka Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah jika kau menghendaki peti itu. Ambillah. Tetapi dengan syarat.” “Syarat apa?” “Jangan kau buka sebelum kau sampai ke hadapan gurumu.” “Kenapa?” “Kitab yang kau maksudkan adalah kitab yang keramat. Aku pun belum pernah membukanya. Aku hanya membawanya kemana aku pergi, agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Namun ternyata aku masih belum berhasil membukanya. Bahkan akhirnya niatku untuk membuka aku batalkan, setelah saudara tua seperguruanku memberitahukan bahwa kitab itu adalah kitab keramat. Tidak setiap orang dapat dan boleh membukanya.” “Kenapa kalau aku buka di sini?” “Terserah kepadamu. Tetapi aku sudah memperingatkanmu, bahwa sebaiknya kau buka di hadapan gurumu. Jika terjadi sesuatu, gurumu akan dapat menyelamatkanmu.” “Baik. Aku akan melakukannya.” Jati Ngarang itu termangu-mangu sejenak. Lalu ia pun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu. “Tinggalkan peti itu di situ.“ “Tetapi…” desis seorang kawannya. Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia membelalakkan matanya kepada orangnya itu. Sejenak kemudian Jati Ngarang dan orang-orangnya pun segera pergi. Sambil berjalan menjauh. Jati Ngarang pun berkata, “Biarlah mereka mengambil candu itu, daripada nyawa kita. Bukankah kita dapat menukarnya dengan benda-benda yang dapat kita rampas dari para pedagang yang lewat?” “Tetapi candu itu harganya mahal sekali.” “Mana yang lebih mahal? Candu itu atau nyawamu?“ Pengikutnya itu tidak menjawab lagi. Sementara Jati Ngarang itu berkata pula, “Selagi nyawa kita masih ada, kita akan mendapat kesempatan untuk mencarinya. Tetapi jika nyawa kita sudah tidak lagi berada di dalam tubuh kita, maka kita sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa.” Orang-orangnya tidak menjawab. Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh. Ada di antara mereka yang harus dipapah oleh kawannya yang masih sanggup berjalan dengan tegak. Namun Jati Ngarang sendiri tubuhnya terasa menjadi semakin lemah. Dari luka-lukanya, darah masih tetap mengalir. Akhirnya mereka memutuskan untuk berbelok masuk ke sebuah pategalan, untuk mengobati luka-luka mereka. Setidak-tidaknya memampatkan darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, yang ternyata terdapat dimana-mana. Bahkan selendang perempuan itu mampu menggoreskan luka di tubuh mereka. Sementara itu Rara Wulan dan Glagah Putih berdiri termangu-mangu di atas tanggul parit. Dengan nada ragu, Rara Wulan pun bertanya, “Kenapa kita melepaskan mereka semuanya, Kakang?” “Apakah kita harus membunuh mereka semua? Sementara itu tentu kita tidak dapat menawan mereka, karena kita berada di perjalanan.” “Aku mengerti. Tetapi dengan demikian, kita hanya melakukan pekerjaan ini sepotong. Sementara itu, mereka masih saja memperdagangkan barang yang terlarang itu.” “Kita akan berbicara dengan Ki Demang di kademangan ini. Biarlah Ki Demang melaporkannya kepada para petugas, meskipun mungkin Ki Demang akan menempuh perjalanan yang agak jauh.” “Agaknya daerah ini tidak terjangkau oleh tangan-tangan para petugas. Terbukti para perampok dan para penyamun masih saja berkeliaran di daerah ini.” “Ya. Tetapi laporan tentang perdagangan yang terlarang itu mudah-mudahan dapat mempertajam kerisauan daerah ini, sehingga daerah ini akan mendapat perhatian lebih besar. Tidak hanya sekedar perampok dan penyamun, tetapi justru peredaran barang-barang terlarang.” “Apakah Ki Demang berani melakukannya?” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi jika niat Ki Umbul Telu itu dapat terlaksana, maka persoalannya akan berbeda. Suasana di daerah ini akan berubah.” Rara Wulan mengangguk-angguk. “Para Demang di daerah ini pun mudah-mudahan juga tersembul nafas keberanian yang ditimbulkan oleh Ki Umbul Telu di sekitar bukit kecilnya itu, sehingga mereka akan berani memberikan perlawanan kepada para perampok dan penyamun.” “Tetapi jika hal itu dimaksudkan untuk memberikan ketenangan kepada para pedagang, maka akan dapat terjadi salah langkah, Kakang. Ternyata ada juga para pedagang yang langkahnya jauh lebih buruk dari para perampok dan penyamun. Mereka telah bekerja sama dengan para perampok dan penyamun untuk mengadakan barang-barang terlarang.” “Ya, itu juga merupakan masalah yang besar. Karena itu, persoalannya harus ditangani dengan sungguh-sungguh. Bukan sekedar sambil lalu. Jika para Demang dan beberapa perguruan membantu membuka jalan perdagangan agar daerah mereka menjadi ramai kembali, itu harus disadari bahwa jalan perdagangan itu tidak akan menjadi jalan peredaran barang-barang terlarang itu.” “Kita memang harus menemui salah seorang Demang yang terdekat dan membawahi lingkungan pasar itu.” Namun Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan atas peti itu?” “Kita akan memusnahkannya. Tetapi kita harus menyimpannya sedikit, sebagai bukti bahwa perdagangan barang terlarang ini memang ada. Kita akan menunjukkannya kepada Ki Demang yang membawahi pasar itu.” Demikianlah, keduanya pun kemudian telah membawa peti itu menjauhi tempat yang berpenghuni. Mereka berjalan menyusuri sebatang sungai ke arah udik, sehingga mereka sampai di tempat yang jarang didatangi seseorang. Ketika mereka naik tebing sungai itu, mereka telah berada di sebuah padang perdu. “Kita akan membakarnya, setelah kita menyimpan sedikit.” Keduanya pun kemudian mencari ranting-ranting kayu kering dan ditimbun di atas tebing sungai itu. Setelah mengambil sedikit contoh dari barang terlarang dan disimpan, maka peti itu beserta isinya diletakkan di atas setumpuk kekayuan kering. Glagah Putih pun kemudian telah membuat api, dan kemudian menyalakan kayu-kayu kering yang ditimbunnya itu. Sejenak kemudian, maka peti serta isinya pun telah terbakar. Angin yang bertiup di atas tebing perdu itu telah menaburkan asapnya ke arah hutan yang lebat. Setelah peti dan isinya itu lebur menjadi abu, maka keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka segera kembali ke pasar yang sudah menjadi lebih sepi. Kepada orang-orang yang masih ada di depan pasar, Glagah Putih dan Rara Wulan pun bertanya kepada mereka, dimanakah letak rumah Ki Demang yang membawahi pasar itu. “Rumahnya tidak begitu jauh, Ki Sanak,“ jawab seorang laki-laki berperawakan sedang, “ambil jalan ini. Jalan ini adalah jalan utama padukuhan ini. Di simpang tiga, kalian akan menjumpai sebatang pohon beringin yang besar. Nah, ambil jalan ke kiri. Jika kau berjalan terus, kau akan sampai ke banjar.” “Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putih pun telah menelusuri jalan utama padukuhan itu. Seperti yang dikatakan oleh laki-laki di depan pasar, ketika mereka sampai di simpang tiga, maka mereka pun telah berbelok ke kiri. Tidak sampai seratus langkah, maka mereka pun telah sampai di regol halaman sebuah rumah yang besar dan berhalaman luas. Menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka rumah itu tentu rumah Ki Demang. Namun untuk meyakinkannya, maka Glagah Putih pun bertanya kepada seorang remaja yang lewat sambil membawa walesan bambu. “Apakah rumah ini rumah Ki Demang, Tole?” Remaja itu berhenti. Sejenak ia termangu. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Ya, Kakang. Rumah itu adalah rumah Ki Demang. Apakah kau akan menemuinya?” bersambung Fully supportedPartially supportedFrançais CanadaFrançais FranceDeutsch Deutschlandहिंदी भारतItaliano ItaliaPortuguês BrasilEspañol EspañaEspañol México ♦ 15 Juli 2010 Terasa udara masih segar. Masih pula terdengar kicauan burung-burung liar di pepohonan yang tumbuh berjalan di pinggir jalan, yang di siang hari dapat menjadi pelindung dari teriknya panas matahari. Tetapi di pagi hari, mereka justru merasa hangat berjalan di bawah sinarnya yang mulai menggatalkan kulit. Jalan yang mereka lalui memang bukan jalan utama yang ramai, meskipun sekali-sekali pedati yang membawa hasil bumi melintas. Tetapi pagi itu, jalan itupun nampak sepi. Bahkan sawah-sawah pun sepi. Tidak ada petani yang turun ke sawah pagi itu, karena agaknya kerja di sawah memang sudah selesai. Namun di jalan yang terasa sepi itu. Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Tiba-tiba seorang meloncat dari balik segerumbul pohon jarak kepyar dan berdiri sambil bertolak pinggang di tengah-tengah jalan. Langkah Glagah Putih dan Rara Wulan terhenti. Selangkah Glagah Putih bergeser maju sambil berkata, “Ki Sanak mengejutkan kami.” Orang itu tertawa. Katanya, “Aku perlu berbicara dengan kalian berdua.” “Tentang apa Ki Sanak?” “Aku terasa heran terhadap kemampuan perempuan yang disebut Genduk Miyat itu, yang semalam telah ditontoni.” Wajah Rara Wulan berkerut. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Kau siapa, Ki Sanak? Apa pula hubunganmu dengan peristiwa semalam?” “Permainan kalian sangat rapi. Kalian telah menjebak Among Asmara, sehingga Among Asmara merasa sangat terhina.” “Apakah kau mempunyai hubungan dengan Among Asmara?” “Aku gurunya.” “O,” Glagah Putih Mengangguk-angguk, “hatimu terluka oleh kekalahan Among Asmara?” “Bukankah itu wajar? Kalian telah mempermalukan muridku. Kalian telah merendahkan muridku serendah-rendahnya, sehingga ia menjadi tidak berharga di mata kawan-kawannya dan pengikutnya.” “Jika terjadi demikian, siapakah yang bersalah?” “Aku tahu, muridku bersalah. Aku sudah pernah memperingatkannya. Aku pun masih akan memperingatkannya. Tetapi kalian telah mempermalukannya keterlaluan. Seharusnya kalian tidak mempermalukan muridku seperti itu.” “Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia tidak direndahkan sampai serendah-rendahnya, maka ia tidak akan menjadi jera. Jika kau, gurunya, pernah menegurnya dan Among Asmara masih juga kembali ke sifat buruknya, apakah itu sudah sepantasnya? Apakah kau sebagai gurunya tidak merasa tersinggung dan direndahkan oleh muridmu sendiri? Lalu apakah tindakanmu terhadap muridmu itu?” “Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia masih mengulanginya, maka Among Asmara harus dihukum, la telah menyalahgunakan kemampuannya untuk tujuan yang buruk, yang justru akan memperburuk citra perguruannya.” “Jadi, apa maksudmu sekarang? Bukankah yang aku lakukan sejalan dengan keinginanmu itu Ki Sanak?” “Tetapi Among Asmara berada di dalam bingkai perguruanku. Aku gurunya, yang wenang mengajarinya atau menghukumnya. Bukan orang lain. Apalagi yang kau lakukan bukan sekedar menghukum Among Asmara, tetapi kau sudah merendahkan ilmunya. Kau sudah meremehkan perguruannya. Sedangkan pemimpin dari perguruan itu adalah aku.” “Tetapi yang dilakukan Among Asmara justru di luar perguruannya. Ia sudah merugikan orang lain. Bahkan yang dilakukan adalah kesalahan yang mendasar sekali. Dengan paksa mengambil seorang perempuan untuk dijadikan istrinya Bukankah itu merupakan satu perbuatan yang sangat nista, justru dengan mengandalkan ilmunya? Ilmu yang diajarkan di perguruannya? Ilmu yang diajarkan oleh gurunya?” “Tetapi perguruanku tidak mengajarkan sifat yang nampak pada kelakuan Among Asmara. Justru karena itu aku harus menghukumnya. Tetapi aku tidak mau ada orang lain yang memandang rendah pada perguruanku. Seolah ilmu yang aku ajarkan itu tidak berarti apa-apa, sehingga Among Asmara justru dipermainkan oleh seorang perempuan. Aku tidak akan merasa tersinggung seandainya kau hukum Among Asmara tanpa mempermainkannya. Yang aku lakukan bukan pelepasan dendam karena kekalahan muridku, tetapi karena harga diri perguruanku sudah kau remehkan. Kau anggap ilmu yang dimiliki oleh Among Asmara itu tidak berarti sama sekali, sehingga kau telah mengalahkannya dengan cara yang sangat menyakitkan. Kau biarkan Among Asmara kehabisan nafas sehingga tidak mampu berbuat apa-apa lagi.” “Maaf Ki Sanak,” sahut Rara Wulan, “aku tidak bermaksud meremehkan ilmunya. Aku tidak bermaksud merendahkannya. Maksudku semata-mata untuk membuatnya jera.” “Itu yang kau katakan kepadaku sekarang,” berkata orang itu, “tetapi aku tidak yakin, bahwa itulah yang kau lakukan semalam.” “Ki Sanak. Itulah yang ingin aku lakukan.” “Aku tidak mempercayaimu.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat memberikan penjelasan lebih banyak lagi. Aku tidak dapat memaksamu percaya.” “Nah, sekarang aku datang untuk memperbaiki citra perguruan. Aku. ingin menunjukkan kepadamu, bahwa puncak ilmu di perguruanku tidak lebih rendah dari puncak ilmumu.” “Jadi, apa maksudmu, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih. “Aku ingin menakar ilmu dengan kalian. Siapapun yang akan bersedia membuat perbandingan ilmu itu.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah itu perlu, Ki Sanak?” “Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa perguruanku tidak seburuk yang kalian sangka.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih berkata, “Baiklah, Ki Sanak, jika itu yang kau kehendaki. Jika dengan demikian kau mendapat kepuasan dan merasa tidak direndahkan lagi.” “Tetapi aku muak dengan kesombonganmu. Kau tidak perlu mengalah untuk mendapat pujian, bahwa kau adalah seorang yang baik hati, berbudi luhur, menghindari perselisihan dan puji-pujian cengeng yang lain, karena kau dapat memberikan kepuasan kepadaku. Jika itu kau lakukan, kau sama sekali bukan orang yang baik hati, orang yang berbudi luhur, berkorban untuk orang lain atau sebutan-sebutan yang lain. Karena jika kau mengalah, itu sebenarnya tidak lebih dari satu sikap sombong yang sangat berlebihan saja.” “Baik.” “Jika demikian, kita akan mencari tempat terbaik. Tidak di jalan ini.” “Di mana?” “Di tikungan sungai itu. Di sebelah pohon besar itu. Kita tidak akan merasa terganggu oleh siapapun, karena tempat itu jarang sekali dikunjungi orang.” “Baiklah. Aku akan menuruti maumu.” Orang itu pun kemudian melangkah mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan meloncati parit dan berjalan menyusuri pematang. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergerak mengikuti mereka. Namun Rara Wulan sempat berdesis, “Apakah orang itu tidak akan menjebak kita, Kakang? Ia merasa bahwa muridnya telah kita jebak semalam, sehingga ia pun membalas dengan menjebak kita.” “Jika orang itu menjebak kita, kita akan mempergunakan segenap kemampuan kita untuk melindungi diri kita. Kita tidak mau menjadi pengewan-ewan, dipermalukan atau bahkan kita akan dibunuh beramai-ramai. Tetapi sebaiknya kita tidak berprasangka buruk.” “Ya, Kakang.” Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berjalan di sepanjang pematang menuju ke sebatang pohon raksasa yang agaknya tumbuh di pinggir sungai. Beberapa langkah di hadapan mereka, orang yang mengaku guru Among Asmara itu telah meloncat dari tanggul sungai, turun ke tepian yang berpasir dan berbatu-batu yang menebar di mana mana. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti sejenak di atas tanggul. Ditebarkannya pandangan mereka kemana-mana. Sepanjang tepian, dan bahkan ke sela-sela semak-semak di seberang sungai. Namun mereka tidak melihat seorangpun. Orang yang mengaku guru Among Asmara, yang sudah berdiri di tepian itu, agaknya dapat membaca kecurigaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, “Jangan menganggap bahwa aku licik seperti kalian yang telah menjebak muridku. Aku tidak akan menjebakmu. Aku memang mengundang dua orang saudara seperguruanku, tetapi tidak untuk melibatkan diri. Mereka akan menjadi saksi, apakah ilmu dari perguruan kami sedemikian rendahnya, sehingga harus dihinakan oleh sepasang pengembara seperti kalian berdua.” Tiba-tiba saja orang itu bertepuk tangan. Glagah Putih dan Rara Wulan memang agak terkejut ketika mereka melihat dua orang yang meluncur dari dahan pohon raksasa itu dan kemudian berdiri tegak di tepian. Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak memperhatikan pohon raksasa itu. Mereka tidak mengira bahwa dua orang dengan susah payah memanjat pohon itu dan bersembunyi di balik rimbun daunnya yang kecil-kecil seperti daun preh. “Nah, marilah. Turunlah. Kita seharusnya berkenalan lebih dahulu.” Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian turun dari atas tanggul dengan hati-hati. Nampaknya tebing tanggul yang rendah itu memang agak licin. “Kau lihat,” berkata guru Among Asmara kepada kedua orang yang datang kemudian, “bukankah mereka anak-anak yang sangat sombong? Kenapa mereka harus menuruni tanggul itu dengan hati-hati, bahkan berpegangan pohon-pohon perdu? Kenapa mereka tidak meloncat saja langsung ke tepian?” Seorang di antara mereka menjawab, “Ya. Aku yakin sekarang. Keduanya memang sangat sombong. Ketika kau berbicara tentang kesombongan mereka, aku masih ragu-ragu untuk mempercayainya. Tetapi sekarang, aku sudah meyakininya.” Glagah Putih dan Rara Wulan memang tertegun sejenak mendengar pembicaraan yang dengan sengaja diucapkan dengan keras itu. Tetapi mereka tetap saja menuruni tebing itu sambil berpegangan batang-batang perdu yang tumbuh di tebing yang rendah itu. Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berdiri di tepian. Rara Wulan masih menggendong peti kecil dengan selendangnya. “Nah, di hadapan para saksi, kita akan mengukur kemampuan kita,” berkata guru Among Asmara itu. “Tetapi sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri kami. Namaku Ki Narasembada. Saudara seperguruanku yang tinggi ini bernama Ki Tenaya Siji, dan yang satunya kurus kering itu kita sebut Ki Wreksa Aking.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat. Namun mereka juga agak heran, bahwa ternyata orang berilmu tinggi itu bertebaran di mana-mana. Dengan nada rendah Glagah Putih pun berkata, “Ki Narasembada tentu sudah tahu namaku. Namaku Wiguna, dan ini istriku. Namanya Miyat.” Orang yang bertubuh tinggi itu pun menyahut, “Nama yang bagus. Kalian pantas mengenakan nama itu.” “Sayang sekali, kalian terlalu sombong,” berkata orang yang bertubuh kurus. “Kami sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Kami berbuat wajar-wajar saja menurut perasaan kami. Tetapi jika itu kalian anggap sebagai satu sikap yang sombong, terserah saja kepada kalian.” “Kau sama sekali tidak berbuat dengan wajar,” sahut orang yang bertubuh kurus. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi semuanya itu terserah kepada kalian berdua. Kalau kalian merasa mapan dengan tingkah laku kalian, lakukan saja. Kami tidak berhak untuk merubahnya.” “Aku setuju,” sahut Ki Narasembada, “yang penting sekarang adalah membuktikan bahwa kau tidak dapat menghina perguruan kami.” “Bukankah yang dimaksud Ki Narasembada adalah aku, Kakang?” berkata Rara Wulan. “Biarlah kali ini aku yang melayaninya.” Rara Wulan tidak memaksa. Ia sadar bahwa Glagah Putih tidak dapat melepaskannya menghadapi orang yang nampaknya memang berbahaya itu. Ki Narasembada tentu memiliki kelebihan dalam segala hal dari muridnya, Among Asmara. “Bagus,” berkata Ki Narasembada, “aku kira kalian masih juga akan menyombongkan diri dengan menghadapkan perempuan itu dalam pertarungan ini.” “Jika itu yang kau kehendaki?” tiba-tiba saja Rara Wulan menyahut. “Biarlah aku saja yang menghadapi Ki Narasembada.” Ki Narasembada itu pun kemudian berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya sambil berkata, “Kalian akan menjadi saksi bahwa perguruan kita bukan perguruan tataran bawah. Bahwa perguruan kita memiliki landasan ilmu yang tinggi, sehingga tidak seharusnya dihinakan sebagaimana diperlakukan atas Among Asmara.” “Baik, Kakang,” jawab Ki Tenaya Siji, “kami akan menjadi saksi bahwa perguruan kita adalah salah satu dari perguruan yang terbaik.” Ki Narasembada itu pun kemudian berkata, “Bersiaplah, Wiguna. Kita akan segera mulai.” Glagah Putih pun telah mempersiapkan dirinya pula. Kepada Rara Wulan ia pun berkata, “Miyat, perhatikan apa yang akan terjadi di sini. Kau telah membuktikan bahwa Among Asmara bukan apa-apa bagimu. Sekarang aku juga akan membuktikan, bahwa perguruan yang dipimpin oleh Ki Narasembada tidak akan mendapat menyamai tataran perguruan kita. Apalagi jika Guru kita sendiri yang hadir di sini. Maka Ki Narasembada harus mengakui tujuh kali, bahwa perguruannya tidak dapat diperbandingkan dengan perguruan kita.” “Persetan kau, orang yang sangat sombong. Kau akan kami permalukan di sini. Meskipun tidak di hadapan banyak orang, tetapi kau harus malu kepada dirimu sendiri. Bahkan aku berharap bahwa gurumu akan bersedia datang. Jika tidak hari ini. maka kapan saja ia akan datang, aku akan menerimanya dengan senang hati.” “Apakah dengan demikian hanya kami-lah yang dapat disebut sangat sombong?” “Cukup!” Glagah Putih terdiam. Namun ia justru bergeser selangkah maju mendekati Ki Narasembada dengan tenangnya. Melihat sikap Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu, jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguaruannya pun terasa berdebar. Sikap itu menunjukkan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Wiguna itu masih sangat muda di mata Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruannya. Karena itu, seberapapun tinggi ilmunya, namun pengalamannya tentu belum begitu luas. Wawasannya masih sangat terbatas, sehingga kemenangannya atas Among Asmara telah membuatnya semakin sombong. Sikapnya bukan karena keyakinannya serta percaya diri yang tinggi, tetapi semata-mata karena kesombongannya, sehingga sulit baginya untuk menghargai orang lain. “Aku harus membuatnya jera. Ia harus mengakui bahwa di luar diri mereka berdua, terdapat ilmu yang lebih tinggi.” Dalam pada itu, Glagah Putih justru menyesuaikan diri dengan anggapan Ki Narasembada. Sebagai seorang yang sangat sombong, maka Glagah Putih telah membuka serangannya. Dengan derasnya Glagah Putih meloncat menyerang dengan kakinya. Namun serangan itu sama sekali tidak menyentuh lawannya. Ki Narasembada dengan gerak yang sangat sederhana telah menghindarinya. Namun serangan Glagah Putih itu justru membuat Ki Narasembada menjadi ragu-ragu. Jika laki-laki muda itu memiliki ilmu setingkat saja dengan perempuan yang mengembara bersamanya itu, maka ia tidak akan meyerang dengan serangan yang sangat sederhana itu. Karena itu, Ki Narasembada justru menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak segera membalas menyerang, tetapi diperhatikannya sikap laki-laki muda yang menyebut dirinya Wiguna itu dengan sungguh-sungguh. Namun penggraita Glagah Putih pun cukup tajam pula. Ia pun segera merasakan sikap Ki Narasembada sebagai satu sikap yang sangat berhati-hati. Karena itu, ketika Glagah Putih pun kemudian menyerang pula, maka serangannya benar-benar menjadi sangat berbahaya. Dengan demikian, maka pertempuran pun segera meningkat menjadi semakin bersungguh-sungguh. Keduanya pun dengan cepat meningkatkan ilmu mereka. Ki Narasembada mengukur kemampuan Glagah Putih dengan kemampuan Rara Wulan yang telah dilihatnya dengan diam-diam, pada saat Rara Wulan mengalahkan Among Namun Ki Narasembada sengaja tidak melibatkan diri untuk menjaga kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi. Bukan saja atas muridnya, tetapi juga atas dirinya sendiri. Selain atas dasar pertimbangan itu, Ki Narasembada pun membiarkan Among Asmara mendapat pelajaran dari kenyataan yang dihadapinya. Beberapa saat kemudian, pertempuran di tepian itu menjadi semakin sengit. Ki Narasembada telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia sadar sepenuhnya bahwa laki-laki yang masih muda itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Namun Glagah Putih pun dengan cepat pula meningkatkan ilmunya pula. Seperti Rara Wulan, maka Glagah Putih seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengenali kemampuan ilmunya sendiri, setelah ia menjalani laku bersama-sama dengan istrinya di hutan yang lebat, di kaki Gunung Merapi. Glagah Putih memang menemukan banyak hal yang terasa baru di dalam dirinya. Tenaganya yang semakin kuat, tubuhnya yang seakan-akan bertambah ringan, kecepatannya bergerak, serta yang kemudian dikenalinya pula daya tahannya yang semakin tinggi, serta tenaga dalamnya yang bertambah besar. Glagah Putih pun berusaha mengenali pula kendali atas tenaga dan kemampuannya, sehingga Glagah Putih dapat mengaturnya sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian, maka kemampuan dan ilmunya benar-benar tunduk sepenuhnya atas kehendak dan kendali nalar budinya. Dalam pada itu, pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Narasembada yang memang berilmu tinggi itu meningkatkan ilmunya pula semakin tinggi. Namun Glagah Putih masih saja mampu mengimbanginya. Namun menghadapi Ki Narasembada, Glagah Putih tidak dapat memperlakukannya sebagaimana Rara Wulan memperlakukan Among Asmara. Ki Narasembada benar-benar seorang yang sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Justru mereka yang tidak langsung berada di arena mampu melihat lebih tajam benturan ilmu yang semakin tinggi dari keduanya. Kedua orang itu semakin lama menjadi semakin heran melihat betapa ringannya Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu berloncatan. Tubuhnya seakan-akan sama sekali tidak mempunyai bobot yang membebaninya. Selain keringanan tubuh Glagah Putih, maka keduanya juga melihat, betapa serangan-serangan Ki Narasembada yang mengenai tubuh Glagah Putih sama sekali tidak menggetarkannya. Bahkan ketika terjadi benturan kekuatan, maka yang tergeser surut adalah Ki Narasembada. Sebenarnyalah Ki Narasembada sendiri mulai merasakan kelebihan Glagah Putih. Demikian cepatnya laki-laki muda itu bergerak, sehingga kadang-kadang Ki Narasembada tidak sempat Serangan-serangan Glagah Putih-lah yang lebih sering mengenainya. Bahkan semakin lama semakin menyakitinya. Ketika kaki Glagah Putih yang terayun mendatar bersamaan dengan tubuhnya yang berputar mengenai keningnya, maka terasa sesaat matanya menjadi kabur. Namun ketika serangan yang sama untuk kedua kalinya menyambarnya, Ki Narasembada sempat menghindar dengan merendahkan diri. Bahkan dengan cepat kakinya menyapu kaki Glagah Putih yang kemudian menyentuh tanah. Tetapi dengan kecepatan yang sangat tinggi, Glagah Putih sempat melenting. Dengan bertumpu pada kedua tangannya yang menapak di tanah, maka sekali Glagah Putih berputar di udara. Dengan lembutnya, kedua kakinya pun kemudian menapak di atas tanah. Pada saat yang bersamaan, dengan menghentakkan kemampuannya, Ki Narasembada telah meloncat dengan menjulurkan kakinya mengarah ke punggung Glagah Putih yang membelakanginya. Namun dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, Glagah Putih telah berbalik sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Demikian kedua kaki Ki Narasembada membentur kedua tangannya yang bersilang, Glagah Putih telah menghentakkannya. Benturan yang keras telah terjadi. Glagah Putih tergetar selangkah surut. Namun Ki Narasembada seakan-akan telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di pasir tepian. Hampir saja tubuhnya menimpa sebuah batu yang besar. Ki Narasembada harus menahan sakit di punggungnya. Meskipun Ki Narasembada itu dengan cepat bangkit, namun terasa punggungnya menjadi sangat sakit. Seakan-akan tulang belakangnya telah menjadi retak. Namun Ki Narasembada masih memiliki ilmu puncaknya. Karena itu, ketika ia telah berdiri tegak, maka ia pun berkata, “Kau memang luar biasa, Wiguna. Ilmumu ternyata lebih lengkap dari ilmuku.” Glagah Putih tertegun. Namun ia pun kemudian menjawab, “Jangan menyanjung, Ki Narasembada. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu pamungkas yang sangat dahsyat. Ilmu itu masih belum begitu nampak jelas pada Among Asmara. Dan bahkan nampaknya ia masih agak merasa gagap mengetrapkannya. Tetapi kau tentu berbeda.” “Ya. Aku menguasai kuasa panasnya api di dalam diriku. Aku akan dapat melontarkannya dan membakar tubuhmu menjadi abu. Jika kekuatan ini tidak nampak atau belum mampu dikuasai sepenuhnya oleh Among Asmara, maka aku, gurunya, tentu memiliki kelebihan daripada muridku itu.” “Aku tahu, Ki Narasembada. Tetapi jika aku berani menghadapimu sekarang, aku tentu mempunyai ilmu andalan yang akan dapat meredam panas apimu itu. Jika ilmu kita berbenturan, maka aku tidak tahu apa yang akan terjadi, karena kita belum tahu ukuran kemampuan kita masing-masing. Sementara itu, bukankah semula kita tidak berniat benar-benar saling menghancurkan?” “Apakah kau menjadi ketakutan?” “Ya. Aku memang menjadi ketakutan kalau kau tidak mampu menahan deraan ilmuku. Seandainya ilmu kita berbenturan, maka ilmu yang lebih lemah akan memantul dan menyakiti diri sendiri, ditambah oleh dorongan ilmu yang lebih kuat.” “Kau memang sombong sekali, Wiguna.” “Tetapi aku tidak berniat menyombongkan diri.” “Apapun yang terjadi. Kau tidak dapat terus-menerus menghina ilmu puncak dari perguruanku. Bahkan seandainya salah seorang di antara kita harus mati.” “Kita dapat mencapai tujuan tanpa membahayakan jiwa kita masing-masing.” “Apa yang harus kita lakukan, menurut gagasanmu?” “Di sana ada tebing berbatu padas. Kita akan mempergunakannya sebagai sasaran serangan berlandaskan pada ilmu puncak kita masing-masing. Kita akan dapat menilai, ilmu siapakah yang lebih baik di antara kita.” Ki Narasembada termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya, maka keduanya pun mengangguk hampir bersamaan. Agaknya keduanya sependapat dengan laki-laki muda yang dikenalnya bernama Wiguna itu. “Baik,” berkata Ki Narasembada kemudian, “kita akan melepaskan serangan kita terhadap tebing di seberang sungai kecil ini. Berdasarkan hasilnya, maka yang kalah harus mengaku kalah. Jika kau kalah, Wiguna, kau harus mengerti bahwa kemampuan Among Asmara bukan ukuran tingkat kemampuan puncak perguruan kami.” “Ya,” jawab Glagah Putih, “jika aku kalah, aku akan mengakui kelebihan perguruan Ki Narasembada. Tetapi sebaliknya, Ki Narasembada juga harus mengakui kenyataan yang terjadi.” Dengan kesepakatan itu, maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri di tepi sungai kecil itu menghadap ke tebing berbatu padas di seberang. “Silahkan.” Ki Narasembada pun segera mempersiapkan diri. Ia mengarahkan serangannya kepada segerumbul pohon perdu yang tumbuh di tebing seberang yang berbatu padas. Sejenak Ki Narasembada memusatkan nalar budinya untuk mempersiapkan ilmu puncaknya. Kedua orang saudara seperguruanya pun menjadi tegang pula. Di perguruan mereka, mereka mengakui bahwa Ki Narasembada adalah orang yang memiliki tingkat ilmu tertinggi, sehingga ia telah mewarisi kedudukan tertinggi di perguruannya. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi tegang pula. Mereka tidak mengetahui sejauh manakah kemampuan ilmu puncak Ki Narasembada. Sesaat kemudian, maka Ki Narasembada pun telah sampai pada puncak kemampuannya. Terdengar Ki Narasembada berteriak nyaring. Kedua tangannya terjulur ke depan, dengan telapak tangannya terbuka menghadap ke segerumbul semak yang berada di tebing berbatu padas di seberang. Seleret sinar telah memancar dari kedua telapak tangan Ki Narasembada. Begitu cepatnya menyambar gerumbul liar di tebing seberang. Tiba-tiba saja, lidah api seakan-akan telah menjilat gerumbul-gerumbul liar itu. Dalam sekejap gerumbul liar itu pun telah menjadi hangus. Sementara itu, tebing berbatu padas itu pun menjadi retak-retak, sehingga beberapa gumpal batu padas pun runtuh jatuh ke tepian berpasir. Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada menarik nafas panjang. Ki Narasembada memang orang yang terbaik di dalam olah kanuragan daripada yang lain. Ki Narasembada masih dapat membuktikan kelebihannya untuk menjaga harga diri perguruannya. Di seberang, bukan saja gerumbul liar itu menjadi hangus bagaikan dijilat lidah api yang panasnya melampaui panasnya bara kayu mlandingan. Ki Narasembada pun kemudian menghela nafas panjang. Kemudian ia pun bergeser setapak surut sambil berkata, “Sekarang giliranmu, Wiguna. Aku ingin tahu apakah kau mampu melakukannya. Bahkan seandainya kau sentuh tebing itu dengan unsur kewadaganmu.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku akan menyerangnya dari sini, Ki Narasembada. Aku juga tidak akan mempergunakan sentuhan kewadagan.” “Bagus. Lakukan. Jika kau dapat melukai tebing itu lebih parah lagi, aku akan menundukkan kepalaku di hadapanmu.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu. Diamatinya gerumbul perdu yang telah hangus menjadi arang. Daun-daunnya telah rontok menjadi debu. Glagah Putih tidak mau gagal. Glagah Putih tidak ingin dipermalukan oleh Ki Narasembada. Karena itu, maka Glagah Putih telah memusatkan nalar budinya, menggugah ilmunya pada tataran tertinggi. Sejenak Glagah Putih berdiri tegak. Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang. Tetapi Glagah Putih tidak memiliki kemampuan sebagaimana Agung Sedayu, menyerang dengan sorot matanya yang memancarkan ilmunya. Tetapi Glagah Putih tidak saja berlandaskan ilmu yang telah dimilikinya pada saat ia berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setelah ia menjalani laku, maka segala-galanya telah menjadi semakin meningkat. Karena itu, dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah menyentuh bagian atas dada kirinya dengan ujung jari tangan kanannya, serta menyentuh bagian atas dada kanannya dengan dua jari tangan kirinya, sehingga kedua tangannya bersilang. Kemudian dijulurkannya tangannya lurus ke depan. Tetapi telapak tangannya tidak lagi menghadap ke arah sasarannya. Kedua telapak tangannya yang terbuka justru menelungkup. Ketegangan telah mencengkam tepian itu. Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya berdiri mematung. Jantung mereka menjadi berdebaran melihat sikap Glagah Putih. Bahkan ketika mereka melihat cahaya samar kebiruan pada saat jari-jari tangan Glagah Putih yang bersilang menyentuh bagian atas dadanya. Bersamaan dengan terjulurnya tangan Glagah Putih, maka seakan-akan dari kesepuluh jari-jarinya telah meluncur butir-butir cahaya yang kebiru-biruan, sebagaimana nampak pada saat kedua tangan Glagah Putih bersilang dan menyentuh bagian atas dadanya itu. Sesaat kemudian, terdengar gemuruh. Butir-butir cahaya yang meluncur dari jari-jari tangan Glagah Putih itu seakan-akan telah meledak dan meruntuhkan tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu. Batu-batu padas yang pecah bukan saja berguguran, tetapi pecahan-pecahan batu padas itu terlempar ke segala arah dan berhamburan jatuh di tepian. Jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya itu pun terguncang. Mereka tidak mengira, bahwa kemampuan ilmu laki-laki yang masih terhitung muda itu demikian besarnya, sehingga sulit untuk dicari bandingnya. Gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di tebing berbatu padas itu tidak saja menjadi hangus, tetapi tercerabut sampai ke akarnya dan lumat menjadi debu, yang kemudian diterbangkan angin. Glagah Putih kemudian menelengkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya. Sesaat kedua tangannya itu bergerak menurun, dan kemudian tergantung di sisi tubuhnya yang masih berdiri tegak. Glagah Putih justru terkejut ketika Ki Narasembada, yang kemudian diikuti oleh kedua saudara seperguruannya, berdiri di hadapan Glagah Putih sambil membungkuk hormat. Dengan nada berat Ki Narasembada pun berkata, “Aku harus mengakui dengan jujur, bahwa kau berada di tataran yang jauh lebih tinggi dari tataran ilmuku. Ilmu tertinggi di perguruanku.” “Sudahlah.” Glagah Putih pun kemudian menggapai bahu Ki Narasembada sambil mengangkatnya. “Berdiri tegaklah. Tidak ada yang harus disanjung lagi.” “Kami tidak dapat ingkar dari kenyataan yang kami hadapi.” “Baiklah. Tetapi sudahlah. Lupakan saja semuanya yang telah terjadi.” “Jika saja kau tidak mempunyai gagasan untuk membuat perbandingan ilmu dengan mempergunakan tebing di seberang sebagai sasaran, maka aku tentu sudah lumat oleh kemampuan ilmumu.” “Sekali lagi aku katakan kepada Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruanmu, bahwa aku sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi aku sekedar menyatakan kekecewaanku, bahwa salah seorang murid di perguruanmu, dan bahkan mungkin dengan satu dua saudara seperguruannya, telah menyalahgunakan kemampuan yang dimilikinya. Sementara itu, para pemimpin di perguruan itu gagal mencegahnya. Atau bahkan mungkin tidak bertindak apa-apa sama sekali.” “Kami tidak akan ingkar, bahwa kami-lah yang harus bertanggung jawab,” sahut Ki Narasembada. “Kami akan menertibkan murid-murid kami dengan cara yang lebih baik lagi.” “Hati-hatilah dengan Among Asmara. Jika ia mendendam terhadap Ki Bekel dan anaknya yang semalam ditontoni, Ki Narasembada-lah yang harus bertanggung jawab.” “Ya. Aku akan bertanggung jawab.” “Kenapa orang itu harus berganti nama? Bukankah namanya sendiri yang diterimanya dari orang tuanya sudah cukup baik?” “Ya. Ia akan kembali kepada namanya sendiri.” “Nah, apakah sekarang masih ada persoalan yang menggelitik Ki Narasembada? Mumpung aku masih ada di sini.” “Aku akan mengucapkan terima kasih kepada Genduk Miyat yang telah dapat menahan diri terhadap muridku, Among Asmara.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Ki Narasembada?” “Genduk Miyat tidak membunuhnya. Seandainya saat itu dilakukannya, aku tentu akan berusaha menyelamatkannya. Nah, keterlibatanku malam itu akan dapat membunuhku pula.” “Tetapi bukankah perlakuan Miyat terhadap Among Asmara itu yang membuat Ki Narasembada menemui kami sekarang ini?” “Karena ketidaktahuanku. Karena itu, aku minta maaf, sekaligus mengucapkan terima kasih.” “Baiklah. Kita tidak akan mempersoalkannya lebih panjang lagi. Tetapi tolong, kendalikan Among Asmara.” “Aku berjanji.” “Terima kasih.” Dengan demikian, maka Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya pun minta diri. Ketika mereka akan meninggalkan tepian, Ki Narasembada berkata, “Aku persilahkan Ki Sanak berdua singgah di padepokan kecilku. Kami tinggal di pinggir sungai kecil ini, beberapa ratus patok ke arah udik. Sungai kecil ini akan melingkari sebuah gumuk kecil di kaki Gunung Merapi. Kami tinggal di gumuk kecil itu.” “Terima kasih. Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami dapat singgah. Apakah Among Asmara juga berada di padepokan itu?” “Tidak. Ia sudah tidak tinggal di padepokan. Tetapi ia tinggal di rumahnya.” “Itulah sebabnya pengawasan Ki Narasembada tidak cukup ketat terhadap murid yang sudah terlanjur mewarisi ilmu yang cukup tinggi.” “Itu salah kami. Kami akan memperbaiki kesalahan itu.” Ketiga orang itu pun kemudian menaiki tebing di seberang, di sebelah tebing yang runtuh, dan berjalan menyusuri tanggul ke arah udik. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian justru duduk di sebuah batu yang besar, di bawah sebatang pohon yang rimbun yang tumbuh di tanggul sungai kecil itu. “Ternyata mereka orang-orang yang jujur,” desis Glagah Putih. “Ya,” sahut Rara Wulan. “Sikapnya wajar.” “Agaknya Ki Narasembada benar-benar akan mengawasi muridnya, khususnya Among Asmara.” “Ya. Aku bahkan yakin, bahwa Ki Narasembada akan memberikan peringatan yang keras terhadap Among Asmara dan saudara-saudara seperguruannya yang mendukung sikap dan tindakannya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Rara. Permainanku hari ini justru menyadarkan kepadaku, bahwa aku dan tentu juga kau telah memikul tanggung jawab yang sangat berat.” “Maksud Kakang?” “Ilmu kita sudah meningkat semakin tinggi. Sementara itu, apakah kita yakin bahwa kita pada suatu saat tidak tergoda oleh kemampuan kita, sehingga kita benar-benar akan menjadi orang-orang yang sombong dan terjerumus ke dalam tingkah laku yang keluar dari jalan yang seharusnya?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah sebabnya, Kakang, orang-orang tua selalu memberikan pesan agar kita tidak pernah terlepas dari kesadaran kita tentang diri kita sendiri.” “Itulah yang sulit.” “Kita harus berusaha, Kakang. Kita akan saling mengingatkan. Kita akan saling membantu dalam kelemahan jiwani yang memang mungkin datang mencengkam kita.” “Kita memang harus berjuang dan memohon kepada Yang Maha Agung, sumber dari segala sumber Kuasa di segala ruang dan waktu. Semoga kurnia-Nya tetap berada dalam kendali-Nya. Sehingga kita, peraganya, tidak berjalan sendiri menurut kemauan kita semata-mata.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Pernyataan Glagah Putih adalah satu pengakuan akan kelemahan jiwa seseorang yang mudah tergoda oleh gebyar kehidupan keduniawian. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri, merenungi jalan kehidupan yang akan mereka lalui dengan bekal yang meyakinkan di dalam olah kanuragan. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun berkata, “Rara. Apakah kita perlu memberikan sebutan atas ilmu kanuragan yang kita sandang sekarang ini?” “Nama?” “Bukankah ilmuku dan ilmumu telah lebur? Kau tidak dapat lagi menyebut ilmumu dengan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Aku juga tidak akan dapat menyebut lagi Aji Sigar Bumi, serta ilmuku yang lain yang tidak mempunyai sebutan apa-apa. Meskipun kau masih tetap memiliki Aji Pacar Wutah yang masih dapat kau terapkan jika kau kehendaki, demikian pula aku, tetapi dalam puncak kemampuan kita, kita memerlukan sebutan yang pantas. Di dalam kitab itu tidak ada petunjuk apa-apa tentang sebutan atas ilmu yang tercantum di dalamnya. Bukan sekedar tulisan yang tidak berarti apa-apa. Tetapi setelah kita jalani laku, maka apa yang tertulis di dalam kitab itu telah ternyata dalam diri kita.” “Kakang akan memberi sebutan pada puncak ilmu kita?” “Kalau mungkin, apa salahnya?” “Aku sependapat, Kakang.” “Nah, sekarang kita akan mencari nama itu.” Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas. Kemudian dipandanginya tebing berbatu padas yang berguguran. Rara Wulan sendiri juga mampu melakukannya, meskipun mungkin masih selapis di bawah kemampuan Glagah Putih. Namun apa yang dapat dilakukan oleh Rara Wulan, telah melampaui kemampuan ilmunya Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. “Sebutan apa yang akan Kakang pergunakan?” “Berbeda dengan sebutan ilmu yang pernah kita dengar. Kita tidak perlu mempergunakan sebutan yang mengesankan kekerasan. Bukankah ada sisi yang lembut dari ilmu yang telah kita warisi lewat kitab itu?” “Ya, Kakang.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Kemudian ia pun merenungi beberapa kata yang pantas untuk menyebut ilmunya. Namun akhirnya Glagah Putih itu pun menggeleng sambil berdesis, “Aku tidak menemukan nama yang mapan untuk ilmu kita.” “Jadi?” “Bagaimana jika kita sebut saja dengan Aji Namaskara?” “Aji Namaskara,” ulang Rara Wulan. “Bagaimana menurut pendapatmu?” “Baik, Kakang. Ilmu itu akan selalu mengingatkan kita kepada Ki Namaskara. Orang yang langsung atau tidak langsung telah mewariskan ilmu itu kepada kita. Karena Ki Namaskara mewariskan ilmu itu tanpa nama, maka kita sebut saja Aji Namaskara. Seandainya nama itu masih terdengar agak janggal, semakin lama akan semakin terbiasa bagi telinga kita. Bukankah nama itu hanya akan disebut-sebut di antara kita saja?” “Ya.” “Nah, baiklah. Sejak sekarang kita sebut ilmu puncak kita itu dengan Aji Namaskara.” Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Aji Namaskara.” Keduanya pun kemudian sejenak termenung. Agaknya mereka sedang merenungi nama yang baru saja mereka ucapkan, untuk menyebut ilmu puncak yang mereka kuasai setelah menjalani laku yang berat di dalam hutan di kaki Gunung Merapi. Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Sekarang kita akan melanjutkan perjalanan kita.” “Marilah, Kakang,” sahut Rara Wulan sambil bangkit berdiri. Keduanya pun kemudian meninggalkan tepian itu. Mereka menaiki tebing yang tidak terlalu tinggi. Mereka pun berjalan beberapa saat menyusuri tanggul. “Kita akan kembali ke jalan yang kita lalui tadi,” berkata Glagah Putih. “Ya, Kakang,” jawab Rara Wulan, sambil melangkahi parit yang membujur di sepanjang kotak-kotak sawah. Selanjutnya keduanya pun berjalan meniti pematang di antara tanaman yang nampak hijau. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melangkahi parit lagi dan turun ke jalan yang tadi mereka lewati. Ternyata jalan yang mereka lewati memang jalan yang tidak terlalu banyak dilalui orang. Mereka tidak terlalu sering berpapasan dengan seseorang. Tidak pula ada orang yang jalan seiring dengan mereka. “Jalan ini terasa terlalu sepi,” berkata Rara Wulan kemudian. “Ya. Padahal di depan terdapat beberapa padukuhan yang cukup besar. Sawahnya pun nampak subur terbentang sampai ke batas hutan yang membujur di cakrawala.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Mungkin kerja di sawah telah selesai. Tanaman tumbuh dengan subur. Para petani tinggal menunggu padi yang telah bunting itu berbuah dan menjadi kuning. Kemudian memetiknya dan membawanya ke lumbung.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Pada saat padi bunting justru para petani menjadi tegang. Kadang-kadang jika nasib buruk, justru hama datang menyerang. Hama walang sangit dapat datang setiap saat menghisap biji yang masih agak cair, sehingga ketika padi itu berbuah, maka butir-butirnya telah kosong. Yang ada hanyalah kulitnya yang tegak mencuat dari batangnya. Namun padi yang kosong, yang nampaknya menengadah itu, sama sekali tidak memberikan apa apa kepada para petani yang menanam dan memelihara dengan tekun sebelumnya. Namun jika nasib baik, maka padi itu akan menghasilkan buah yang berisi. Namun justru semakin berisi, maka buah padi itu akan nampak semakin merunduk. Buah padi yang merunduk itu adalah buah padi yang seolah-olah tahu membalas budi kepada para petani yang menanam dan memeliharanya dengan tekun. Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan yang panjang menuju ke sebuah padukuhan yang terhitung besar. Sementara itu, matahari telah mulai bergerak menurun. Sambil menengadahkan wajahnya Rara Wulan pun berkata, “Ternyata kita cukup lama berada di tepian.” “Ya,” Glagah Putih mengangguk, “kita telah kehilangan banyak waktu. Jika saja kita berjalan terus, maka kita tentu sudah melampaui beberapa bulak panjang dan beberapa padukuhan.” “Tetapi bukankah kita tidak berada dalam batasan waktu? Ternyata permainan Kakang di tepian ada juga artinya.” “Maksudmu?” Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Kita sempat memberi nama terhadap ilmu puncak kita.” “Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk. “Selain itu kita pun semakin mengenali diri kita dan semakin mencemaskan ketahanan jiwa kita terhadap godaan duniawi.” “Bukankah dengan demikian kita dapat lebih mengenali pula sisi-sisi kehidupan kita? Yang gelap, yang suram dan yang terang?” “Ya. Satu dorongan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ingat di setiap saat akan keberadaan-Nya dan Kuasa-Nya.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Keduanya telah melintasi padukuhan yang cukup besar yang membujur sepanjang jalan yang mereka lalui. Mereka berjalan lewat di depan bangunan yang cukup besar. Banjar padukuhan itu. Namun padukuhan itu tidak terlalu ramai. Halaman-halaman rumah yang luas menjadikan jarak antara tetangga menjadi jauh. Tanah yang tidak rata, gumuk-gumuk kecil yang ada di padukuhan itu agaknya telah membuat jarak antara seseorang dan orang yang lain. “Gumuk-gumuk kecil itu dapat longsor jika hujan lebat turun,” desis Rara Wulan. “Ya. Tetapi agaknya hal itu jarang sekali terjadi.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Di ujung padukuhan mereka berpapasan dengan beberapa orang anak yang pulang dari padang sambil menggiring kambing mereka. Anak-anak itu berpaling memandang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan kerut di dahi. Mereka belum pernah melihat keduanya lewat jalan utama di padukuhan mereka. Tetapi mereka tidak bertanya apa-apa. “Kambing mereka nampak gemuk-gemuk,” berkata Glagah Putih kemudian. “Tentu di sekitar ini terdapat padang rumput yang luas.” “Atau padang perdu.” “Mereka tidak akan menggembalakan kambing mereka ke padang perdu dekat dengan hutan itu. Di hutan itu tentu berkeliaran binatang buas.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika mereka kemudian berjalan di tengah-tengah bulak berikutnya, maka matahari pun menjadi semakin rendah. Cahaya matahari yang menjadi semakin lunak menebar di atas kotak-kotak sawah yang bertingkat, semakin lama semakin menurun. Di belakang mereka, puncak Gunung Merapi nampak kemerah-merahan. Beberapa lembar awan nampak mengambang di lambung gunung. Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di sebuah banjar padukuhan. Ternyata orang-orang padukuhan itu sangat baik, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan diperlakukan sebagai seorang tamu. Penunggu banjar itu telah menyediakan makan malam bagi keduanya. Bahkan di pagi hari, penunggu banjar itu sudah menyediakan ketela pohon yang direbus dengan legen kelapa. Setelah mengucapkan terima kasih, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan padukuhan itu untuk meneruskan perjalanan mereka. “Ki Sanak,” bertanya Glagah Putih kepada penunggu banjar, “aku sekarang berada di padukuhan mana?” “Ki Sanak berada di padukuhan Watu Palang. Jika Ki Sanak berjalan terus, maka Ki Sanak akan sampai ke padukuhan Tegal Reja. Kalau Ki Sanak berjalan terus ke barat, maka Ki Sanak akan sampai ke Kali Praga.” “Kali Praga?” ulang Rara Wulan. “Ya. Kali Praga. Ki Sanak akan menempuh perjalanan di dataran yang luas. Namun Ki Sanak masih akan menjumpai padang perdu, hutan dan rawa-rawa. Baru kemudian Ki Sanak akan sampai ke dekat satu lingkungan yang ditebari dengan bangunan-bangunan kuno berupa candi-candi.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia belum pernah melewati padukuhan Tegal Reja. Ia pun belum pernah menjelajahi daerah yang menyimpan banyak peninggalan bangunan lama, meskipun mereka tahu tentang bangunan-bangunan kuno itu. Tanah Perdikan Menoreh adalah dataran yang dibatasi oleh dinding yang berujud rangkaian panjang sebuah pegunungan yang disebut Pegunungan Menoreh di sisi barat. Pegunungan yang membujur ke utara, sampai ke tlatah yang akan dilewatinya jika mereka tidak sengaja berjalan melingkar. “Terima kasih, Ki Sanak. Kami mohon diri.” “Berhati-hatilah di perjalanan. Kalian akan menempuh daerah yang gawat. Meskipun daerah yang akan kalian lalui menjadi jalan pintas para pedagang, tetapi biasanya mereka melintas dalam rombongan yang cukup kuat. Mereka tidak mau terperosok ke dalam kesulitan karena sekelompok perampok yang menghadang mereka. Jika mereka melintas dalam kelompok yang agak besar, maka mereka akan dapat saling membantu melawan para perampok itu. Terlebih-lebih di sekitar penyeberangan di Kali Praga.” “Penyeberangan yang bagaimana yang Ki Sanak maksudkan? Apakah di Kali Praga itu ada beberapa tukang satang dengan rakitnya menunggu orang-orang yang menyeberang?” “Pada keadaan yang sewajarnya, tidak. Orang dapat menyeberang tanpa bantuan rakit dan tukang satang.” Sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan mengucapkan terima kasih sebelum mereka beranjak meninggalkan padukuhan itu. Ketika mereka keluar dari padukuhan Watu Palang, mereka masih melihat kabut yang tipis menebar di bulak yang panjang. Namun kabut itu perlahan-lahan terangkat oleh cahaya matahari yang baru terbit. Jalan membujur panjang di hadapan mereka. Menusuk di antara kotak-kotak sawah yang luas. Di ujung jalan itu nampak sebuah padukuhan yang lamat-lamat mencuat dari balik kabut yang menipis. Namun di arah lain mereka melihat hutan yang agaknya masih lebat di ujung kaki Gunung Merapi. “Kita akan pergi ke Tegal Reja,” berkata Glagah Putih. “Apakah kita akan menyeberang?” “Ya. Kita akan menyeberang Kali Praga. Tetapi kita tidak akan menuju ke selatan, agar kita tidak sampai di Tanah Perdikan kembali.” Rara Wulan tersenyum. Katanya kemudian, “Pada dasarnya Kali Praga dapat diseberangi.” “Ya. Seperti yang dikatakan penunggu banjar di Watu Palang. Tetapi jika banjir, agaknya kita akan sulit menyeberang.” “Kau lihat langit bersih, Kakang. Bukankah sekarang tidak sedang mangsa rendeng? Di musim hujan mungkin Kali Praga banjir hampir setiap hari.” “Ya. Tetapi tentu tidak perlu hari ini. Mungkin esok atau bahkan lusa.” “Kenapa harus esok atau bahkan lusa?” “Mungkin ada yang menarik perhatian di sepanjang jalan. Tetapi bukankah jalan masih panjang?” “Tetapi seperti dikatakan oleh penunggu banjar, kita harus berhati-hati, karena kita akan melalui jalan yang agaknya mempunyai banyak hambatan.” “Ya. Meskipun demikian, jalan ini masih saja menjadi jalur perjalanan para pedagang yang akan menuju ke daerah barat. Agaknya cara mengatakannya terbalik, Rara. Bukan para pedagang itu memilih jalan yang meskipun banyak hambatannya. Tetapi justru karena jalan ini banyak dilalui para pedagang yang dianggap membawa banyak uang dan barang-barang berharga, maka daerah ini telah mengundang kelompok-kelompok orang yang berniat jahat. Mereka yang ingin memiliki banyak uang dan barang-barang berharga melalui jalan pintas.” Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Ya. Agaknya kau benar, Kakang. Sebelum para penjahat itu berdatangan, jalan ini tentu merupakan jalan yang aman dan terhitung dekat dengan tujuan para pedagang yang menuju ke barat itu. Sehingga mereka memilih melalui jalan ini. Namun lambat laun, jalan ini pun menjadi jalan yang berbahaya.” “Tentu semula para pedagang itu lewat tanpa harus menunggu beberapa orang kawan. Mereka agaknya menyeberang jalan ini sendiri-sendiri atau berdua saja. Namun mereka kemudian menjadi sasaran kejahatan yang seakan-akan terpanggil untuk melakukannya di sini.” “Ya. Dengan demikian maka para pedagang itupun mendapatkan akal. Mereka melintas bersama-sama, sehingga mereka akan dapat melawan jika sekelompok perampok menghentikan mereka.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Rara Wulan pun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak usah merasa cemas. Kita tidak mempunyai apa-apa, sehingga tidak ada seorang penjahat pun yang akan mengganggu kita.” “Kita membawa uang,” desis Glagah Putih. “Tidak seberapa, dibanding dengan benda-benda berharga yang dibawa oleh para pedagang.” “Ada yang lebih berharga.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Kitab ini.” Glagah Putih pun tiba-tiba berkata, “Bagaimana pendapatmu, jika kitab itu kita sembunyikan saja di tempat yang tidak akan pernah didatangi seseorang.” “Dimana?” “Di dalam goa misalnya. Goa yang tidak akan pernah menarik perhatian orang.” “Kalau petinya rusak dan kitabnya pun kemudian rusak pula?” “Bukankah kitab itu tidak boleh diketahui isinya oleh siapapun, kecuali kita?” “Bagaimana jika kita musnahkan saja?” “Kita masih belum tuntas. Rara. Kita belum menemukan Tuk Kawarna Susuhing Sarpa. Selain itu, masih ada lagi bagian-bagian dari laku yang harus kita selesaikan, meskipun tidak harus dengan serta-merta.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita masih harus menuntaskannya.” “Bagaimana jika kitab itu tidak usah kita tempatkan dalam peti kecil itu?” “Lalu?” “Petinya saja yang kita sembunyikan.” “Kalau rusak?” “Tidak apa-apa.” “Peti itu buatannya bagus sekali, Kakang. Aku sebenarnya senang pada bentuk dan ujudnya.” “Jika demikian, biar saja kitab itu tersimpan di dalam peti itu.” Rara Wulan menarik nafas Namun kemudian Rara Wulan itu pun berkata, “Kakang. Sebaiknya kitab itu tidak ditempatkan lagi di dalam peti ini. Kakang membawa kitabnya, aku membawa petinya. Jika ada orang yang tertarik pada peti ini, maka kita tunjukkan bahwa peti itu kosong.” “Kitab ini dapat rusak, mungkin karena keringat. Tetapi mungkin karena gerak tubuhku. Apalagi jika aku harus berloncatan dan bahkan berguling dan berputaran.” “Kitab itu kita bungkus dengan kain. Kita dapat membeli kain di pasar yang akan kita lewati. Entah nanti, entah esok. Jika kitab itu ada di dalam peti ini, akan dapat terjadi salah paham. Apalagi jika kita akan melewati jalan yang mempunyai banyak hambatan. Mereka tentu akan mempertanyakan isi peti ini. Jika kita harus membukanya, maka kitab itu akan sangat menarik perhatian mereka. Tetapi jika peti itu kosong, maka mereka tidak akan mempersoalkannya lagi.” “Tetapi mereka tentu masih juga akan bertanya, kenapa peti kosong itu kau bawa kemana-mana?” “Peti itu semula berisi perhiasan peninggalan orang tua. Tetapi sudah dirampas orang sebelumnya.” Glagah Putih tertawa. Tetapi ia pun berkata, “Baiklah. Jika kita sudah mempunyai sepotong kain, maka kitab kecil yang ada di dalam peti kecil itu akan kita bungkus, dan aku akan menyelipkannya di bawah bajuku. Tetapi aku harus mengenakan stagenku di luar bajuku, agar kitab itu tidak meluncur jatuh.” “Kau pakai baju gondil. Kau bawa kitab itu di dalam baju gondilmu.” Glagah Putih tertawa lebih panjang. Namun suara tertawanya berhenti. Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berpaling karena mereka mendengar derap kaki beberapa ekor kuda yang berlari di belakang mereka. Beberapa saat kemudian, beberapa orang penunggang kuda melarikan kuda mereka mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan. Ada di antara mereka yang berpaling kepada kedua orang suami istri itu. Tetapi yang lain sama sekali tidak menghiraukannya “Tentu mereka para pedagang dan saudagar yang diceritakan oleh penunggu banjar itu,” desis Rara Wulan. “Ya. Sekelompok saudagar dan pedagang yang cukup kuat. Para pedagang dan saudagar yang berkeliling sampai ke tempat yang jauh, mereka tentu memiliki bekal kemampuan dan ilmu yang tinggi. Bahkan ada di antara mereka yang masih membawa satu dua orang pengawal yang kuat untuk melindunginya dari orang-orang yang berniat jahat. Jika mereka bergabung dalam satu kelompok yang agak besar, maka kelompok-kelompok penjahat pun akan berpikir ulang jika mereka berniat mencegat perjalanan para pedagang dan saudagar itu.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan cara yang demikian, maka para pedagang dan saudagar itu tidak akan diganggu di perjalanan. Baru setelah mereka sampai di tempat yang aman, mereka saling memisahkan diri. Tetapi tempat yang aman itu pun pada suatu saat tentu akan menjadi tidak aman pula. Para penjahat, perampok dan penyamun yang mencium bahwa para pedagang dan saudagar itu telah berpisah dan menuju ke tujuan mereka masing-masing, maka mereka pun akan datang ke tempat itu. Yang kemudian nampak di depan adalah debu yang dihamburkan oleh kaki kuda yang berlari. Iring-iringan orang berkuda itu pun kemudian segera hilang dari pandangan mata mereka. Keduanya pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Jalan yang mereka lalui masih berada di bulak yang luas. Padukuhan yang ada di hadapan mereka masih berjarak beberapa ratus kotak. “Akhirnya daerah ini akan menjadi daerah yang aman dengan sendirinya. Para perampok dan penyamun akhirnya akan pergi, karena tempat ini tidak lagi memberikan kemungkinan kepada mereka untuk merampas harta benda para pedagang dan saudagar yang lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar. Meskipun sebenarnya para pedagang dan saudagar itu juga saling bersaing, tetapi di perjalanan yang gawat mereka saling membantu.” Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka sampai di simpang empat di tengah-tengah bulak yang sepi itu. Beberapa orang bermunculan dari balik gerumbul perdu yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan yang menyilang jalan yang dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. “Berhenti,” berkata seorang di antara mereka. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti. “Ada apa kalian menghentikan perjalanan kami, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih. “Jangan berpura-pura tidak tahu.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku tidak berpura-pura. Tetapi aku benar-benar tidak tahu maksud kalian.” “Baiklah,” berkata seorang yang lain, “aku tidak mau berbelit-belit Berikan apa saja yang kalian punya kepada kami.” “O,” Glagah Putih mengangguk-angguk. “Jadi kalian ingin merampok?” “Ya.” “Kenapa tidak kau lakukan tadi ketika sekelompok orang berkuda lewat? Mereka adalah pedagang dan saudagar-saudagar yang tentu Mereka tentu membawa uang dan barang-barang berharga yang dapat kalian rampas dan kalian bawa ke sarang kalian.” “Gila. Mereka terdiri dari banyak orang.” Glagah Putih memandang para perampok itu seorang-seorang. Mereka memang hanya terdiri dari lima orang. Mereka tentu akan membuat pertimbangan ulang jika mereka akan merampok sekelompok pedagang dan saudagar berkuda yang baru saja lewat. “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “kenapa kalian hanya berlima? Bukankah kalian tahu bahwa para pedagang dan saudagar yang lewat jalan ini tentu tidak hanya satu atau dua orang. Mereka tentu berkelompok, agar mereka dapat mempertahankan dirinya jika mereka bertemu dengan sekelompok perampok.” Seorang di antara mereka menjawab dengan jujur, “Sebenarnya kami tidak hanya berlima Kami telah membuat kesepakatan dengan beberapa orang kawan kami yang lain. Tetapi agaknya mereka terlambat datang. Mereka tentu memperhitungkan bahwa jika ada sekelompok pedagang lewat, tentu tidak sepagi ini. Tetapi menurut dugaan kami, nanti tentu masih ada lagi sekelompok pedagang yang lewat. Mudah-mudahan kelompoknya lebih kecil dari kelompok yang besar yang baru saja lewat.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tunggu saja kawan-kawanmu. Nanti kalian dapat menghentikan sekelompok pedagang yang akan lewat.” “Tetapi kami tidak membiarkan kalian berdua lewat begitu saja tanpa menyerahkan uang dan barang-barang milik kalian.” “Kami tidak mempunyai apa-apa,” jawab Glagah Putih, “kami adalah dua orang pengembara.” “Pengembara?” “Ya. Kami sedang menjalani laku. Kakekku meninggalkan warisan kepadaku pengetahuan tentang pengobatan dan penglihatan tembus ruang dan waktu. Tetapi aku harus menjalani laku. Kami harus mengembara tiga tahun tanpa pulang. Mendatangi tempat-tempat yang keramat dan mencari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan.” Para penyamun itu termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika ada di antara mereka yang memandangi peti yang diemban dengan selendangnya. “Apa yang kau bawa?” bertanya salah seorang di antara para penyamun itu kepada Rara Wulan. “Bukan apa-apa,” jawab Rara Wulan. “Berikan kepadaku,” geram penyamun itu. Tetapi Glagah Putih-lah yang menjawab, “Yang dibawanya adalah sebuah peti yang berisi kitab. Laku yang kami jalani sekarang dasarnya adalah bunyi kitab itu.” “Bohong. Kalian tentu membawa barang berharga di selendangnya itu.” Glagah Putih pun kemudian mendekati Rara Wulan sambil berkata, “unjukkan kepadanya, bahwa yang ada di dalam gendonganmu itu adalah sebuah peti kecil yang berisi kitab yang menuntun laku yang sedang kita jalani sekarang.” Rara Wulan menjadi agak ragu. Namun ia pun kemudian mengambil peti kecil itu dan membukanya. Yang ada di dalam peti kecil itu memang hanya sebuah kitab kecil. “Nah, kau percaya sekarang, bahwa kami tidak mempunyai apa-apa kecuali kitab kecil itu? Jika kau tidak percaya, kau dapat membaca isinya serba sedikit, untuk meyakinkan kebenaran kata-kataku.” “Tidak. Aku tidak perlu melihat isi kitab itu.” “Bukankah kau harus yakin bahwa aku tidak berbohong ?” Tiba-tiba saja orang itu membentak, “Aku tidak dapat membaca! Buat apa aku melihat isi kitabmu?” “Jika demikian, biarlah kami lewat.” “Tunggu,” berkata yang lain, “jika kau mengembara selama tiga tahun, kau tentu membawa bekal uang cukup banyak.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ki Sanak. Kami tidak sedang menempuh perjalanan untuk ngenggar-ngenggar penggalih, sehingga kami membawa banyak uang untuk bekal perjalanan. Tetapi kami sedang menjalani laku. Kami makan dan minum apa saja yang kami temui di perjalanan kami. Suatu kali kami mendapat perlakuan baik dari penghuni sebuah padukuhan. Kami mendapat suguhan makan dan minum. Namun pada kesempatan lain, kami menemukan pohon buah-buahan liar di pinggir-pinggir hutan. Sekali-kali kami melibatkan diri dalam kerja di sawah atau ikut sambatan atas ijin pemiliknya, maka kami akan mendapat uang serba sedikit. Setidak-tidaknya kami akan mendapat makan dan minum di hari itu.” Para penyamun itu termangu-mangu. Namun agaknya mereka mempercayai keterangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, seorang di antara mereka yang agaknya mereka anggap sebagai pemimpin berkata, “Biarlah mereka pergi.” Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Kenapa kita tidak minta perempuan itu singgah barang sebentar di sarang kita?” “Tutup mulutmu. Kau selalu membuat kita semuanya kehilangan kabegjan. Kehilangan kesempatan untuk mendapat rejeki.” Orang itu terdiam. Dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan meneruskan perjalanan kami. Perjalanan kami masih panjang. Kami baru menjalani laku ini selama setengah tahun.” “Pergilah. Jangan lewat jalan ini lagi,” geram pemimpin sekelompok penyamun itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beranjak meninggalkan tempat ini. Namun sebelum mereka pergi, mereka melihat beberapa orang datang lewat jalan simpangan, menemui para penyamun yang sudah ada di bulak itu. “Kau biarkan orang itu pergi?” bertanya seorang di antara mereka yang baru datang. “Ya.” “Kenapa ?” “Mereka adalah pengembara yang sedang menjalani laku atas perintah guru mereka. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali membawa kepala mereka.” Orang yang baru datang itu mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka tidak menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan terus dengan jantung yang berdebaran. Jika orang-orang yang baru datang itu bersikap lain, maka keduanya terpaksa mengambil sikap yang lain pula. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih mendengar seseorang berkata, “Kalian datang terlambat. Ada beberapa orang pedagang dan saudagar berkuda lewat.” “Kalian tidak menghentikan mereka?” “Mereka lewat dalam kelompok besar. Kami tidak ingin membunuh diri di sini.” Agaknya mereka masih berbincang panjang. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi semakin jauh, tidak dapat mendengarkan lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan masih berjalan menyusuri jalan yang sama. Beberapa kali mereka melewati padukuhan. Namun mereka masih juga melihat jejak kaki kuda di jalan yang dilewatinya. Karena itu, mereka pun tahu bahwa para pedagang dan saudagar itu melewati jalan yang mereka lewati itu pula. Dalam pada itu, jalan yang mereka lewati semakin lama justru nampak menjadi semakin ramai. Beberapa jalur jalan bermuara di jalan yang mereka lewati itu. “Kita menuju ke tempat yang agaknya lebih ramai dibandingkan tempat yang telah kita lewati.” Glagah Putih mengangguk. “Apakah kita sudah sampai di Tegal Reja?” “Tentu belum,” jawab Glagah Putih, “tetapi jalan ini tentu menuju ke Tegal Reja.” Rara Wulan pun mengangguk pula. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang agaknya cukup besar, maka mereka telah melewati sebuah pasar. Pasar yang cukup luas. Tatapi agaknya pasar itu telah mengalami masa surut. Pasar itu sudah tidak banyak dikunjungi orang. Apalagi hari sudah semakin siang. “Di hari pasaran, mungkin pasar ini masih juga ramai,” berkata Rara Wulan. “Tetapi menilik bangunannya, serta sisi-sisi yang telah ditumbuhi rerumputan dan bahkan batang ilalang itu, pasar ini sudah menjadi jauh menyusut. Sebagian dari bangunan-bangunan yang ada di pasar ini tidak dipergunakan lagi. Tempat para pande besi bekerja di sudut pasar itu pun nampaknya tidak pernah lagi disentuh.” Keduanya justru berhenti di depan pasar yang menjadi semakin lengang itu. “Masih ada sebuah kedai yang buka,” berkata Glagah Putih, “kita dapat singgah sebentar.” Rara Wulan mengangguk. Ketika keduanya memasuki kedai yang masih terbuka pintunya itu, tidak seorang pun yang berada di dalamnya kecuali pemilik kedai itu. Agaknya dagangannya pun tidak terlalu banyak. Hanya sekedarnya saja. Tidak terdapat seorang pelayan pun di dalam kedai itu, sehingga segala sesuatunya cukup dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memesan minuman. Ketika mereka bertanya tentang makan yang tersedia di kedai itu, pemilik kedai itu menjawab, “Di sini hanya disediakan nasi tumpang, Ki Sanak.” “Tidak ada yang lain?” bertanya Rara Wulan. “Tidak. Tidak banyak orang yang datang ke pasar ini sekarang. Bahkan semakin lama semakin menyusut.” “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Tidak banyak lagi pedagang dari tempat yang jauh datang ke pasar ini. Dahulu, pasar ini merupakan tempat pemberhentian para pedagang dari tempat-tempat yang jauh. Di sebelah pasar itu terdapat rumah yang besar, yang dipergunakan sebagai penginapan. Setiap hari halamannya yang luas terisi oleh beberapa buah pedati. Di sini para pedagang membawa dagangan yang kemudian diambil oleh para pedagang dari tempat yang berbeda. Mereka kadang-kadang saling menukar barang-barang dagangan mereka.” “Apakah sekarang tidak lagi?” “Tidak.” “Kenapa?” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah.” Orang itu berhenti sejenak, lalu ia pun tiba-tiba bertanya, “Apakah Ki Sanak mau makan atau tidak? Yang ada hanya nasi tumpang.” “Jika tidak ada yang lain, baiklah,” jawab Rara Wulan. Pemilik kedai itu kemudian menyiapkan minuman dan nasi tumpang bagi kedua orang tamunya, Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di amben yang panjang termangu-mangu memandang berkeliling. Kedai itu memang sederhana saja. Meskipun ruangannya cukup luas, tapi sebagian tidak lagi dipergunakan. “Pada saatnya, kedai ini tentu sebuah kedai yang besar,” berkata Rata Wulan. “Ya, menilik sisa-sisa perabot yang dipergunakannya sekarang. Tetapi sejalan dengan menyusutnya pasar di sebelah, maka kedai ini pun telah menyusut pula. Agaknya demikian pula kedai-kedai yang lain. Bahkan mungkin satu dua di antaranya sudah ditutup.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya pemilik kedai itu tidak mau menyebut penyebabnya meskipun jelas. Tentu karena tidak banyak lagi pedagang yang datang ke pasar itu. Sedang para pedagang itu tidak mau mengalami kesulitan dengan para perampok dan penyamun. Sehingga pasar ini pun kemudian tidak lebih dari pasar bagi orang-orang yang menjual hasil kebunnya. Mereka yang berbelanja pun hanyalah mereka yang memerlukan kebutuhan dapur sehari-hari.” Pembicaraan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki memasuki kedai itu dan duduk dekat Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata keduanya adalah bebahu padukuhan itu. Pemilik kedai itu dengan serta-merta mendatangi keduanya sambil bertanya, “Minum, Ki Jagabaya? Ki Kamituwa?” “Ya,” jawab orang yang disebut Ki Jagabaya. “Makan?” bertanya pemilik kedai itu. “Makan, Ki Kamituwa?” bertanya Ki Jagabaya. “Terima kasih. Aku sudah makan di rumah.” “Tadi pagi?” “Aku sarapan sudah agak siang.” Ki Jagabaya itu pun kemudian menjawab pertanyaan pemilik kedai itu, “Tidak. Aku hanya akan minum. Apakah kau punya makanan?” “Sudah habis, Ki Jagabaya.” “Baiklah, beri saja kami minum.” Pemilik kedai itu segera menyiapkan minuman bagi Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa Dalam pada itu, kedua orang bebahu itu memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang makan nasi tumpang. Dengan nada ragu Ki Jagabaya bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Aku ingin bertanya, apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini? Rasa-rasanya aku belum pernah melihat Ki Sanak berdua.” “Kami memang tidak tinggal di sekitar tempat ini, Ki Jagabaya,” jawab Glagah Putih. “Ki Sanak tahu bahwa aku Jagabaya di kademangan ini?” “Tadi, pemilik kedai itu menyebut Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa.” “O,” Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa itu tertawa. “Jika demikian, Ki Sanak ini tinggal dimana?” bertanya Ki Kamituwa. “Kami berdua adalah suami istri yang tinggal di Banyu Asri, dekat Jati Anom.” “Jati Anom? Begitu jauh. Lalu apa keperluan Ki Sanak sampai k-mari?” “Kami sedang dalam pengembaraan, Ki Kamituwa. Kami meninggalkan kampung halaman kami, karena kami tidak dikehendaki lagi keberadaan kami di rumah oleh orang tua kami.” “Maksud Ki Sanak?” “Orang tuaku dan orang tua istriku tidak merestui pernikahan kami, sehingga kami terusir dari rumah mereka. Dari rumah orang tuaku dan dari rumah istriku. Karena itu, kami mengembara atas nasehat seorang tua yang pandai. Pengembaraan ini menjadi laku, menyongsong masa depan kami berdua.” “Tetapi kenapa kalian lewat daerah kami yang terhitung daerah yang gawat ini.” “Kami tidak tahu bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat, sehingga kami telah mengembara di lingkungan ini.” “Darimana kau kemudian mengetahui bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat?” “Pemilik kedai ini memberitahukan kepadaku.” “Tidak, Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa,” potong pemilik kedai itu, “aku hanya mengatakan bahwa dahulu banyak pedagang yang lewat dan berhenti di sini. Sekarang tidak lagi.” Kedua orang bebahu itu mengangguk-angguk. Ki Jagabaya pun kemudian berkata, “Orang itu tentu tidak akan berani berkata terus terang. Banyak perampok dan penyamun di sekitar tempat ini. Kami para bebahu menjadi pusing memikirkannya. Kesejahteraan rakyat kami menjadi jauh menyusut. Pasar ini hampir mati. Jika semula rakyat kami dapat mengais rejeki sedikit di pasar ini, sekarang tidak lagi. Kedai-kedai pun tidak lagi banyak dikunjungi orang.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jagabaya pun berkata, “Kami tidak dapat berbuat banyak. Para pedagang yang kemudian lewat dalam kelompok-kelompok yang besar, tidak banyak yang singgah di pasar ini. Mereka langsung pergi ke tempat-tempat yang lebih ramai dan jauh dari para perampok dan penyamun, karena lingkungannya yang lebih baik. Lingkungannya mempunyai kekuatan untuk melawan perampok dan penyamun.” Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mendengarkan saja. Mereka tidak tahu, bagaimana harus menanggapi keluhan Ki Jagabaya itu. Namun mereka dapat mengerti apa yang dikatakan oleh kedua bebahu itu. “Tadi, sekelompok pedagang lewat. Tetapi mereka tidak mau lagi singgah di pasar ini. Apalagi bermalam di sini, seperti dahulu. Ketika aku persilahkan mereka singgah, mereka hanya mencibirkan bibir saja. Bahkan ada yang dengan terus terang berkata bahwa kademangan ini tidak mampu menjaga keamanan mereka.” Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Ki Jagabaya itu pun menarik nafas panjang. Di luar sadarnya ia pun berkata, “Sayang, bahwa Ki Demang tidak sekuat ayahnya dahulu. Jika Ki Demang seorang yang kuat seperti ayahnya, maka keadaan kademangan ini akan berbeda.” Adalah di luar sadarnya pula ketika Glagah Putih itu pun berkata, “Bukankah Ki Jagabaya mempunyai wewenang untuk menangani persoalan yang menyangkut pengamanan para pedagang itu?” Ki Jagabaya memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Kemudian ia pun berkata, “Ya. Tetapi bukankah kegiatanku harus mendapat dukungan sepenuhnya dari Ki Demang? Jika Ki Demang masih saja acuh tak acuh, bagaimana aku dapat melangkah lebih jauh?” Glagah Putih terdiam. Ki Jagabaya itu pun menghirup minumannya lagi. Namun tiba-tiba saja seorang anak muda berlari-lari ke kedai itu. Dengan nafas terengah-engah ia pun berkata, “Ki Jagabaya. Ki Kamituwa. Ada serombongan pedagang yang berada di banjar.” “Kenapa?” “Sebagian mereka terluka. Nampaknya mereka baru saja bertempur melawan para penyamun di bulak panjang. Apakah mereka sempat melarikan diri atau mereka berhasil mengusir para penyamun namun beberapa orang kawan mereka terluka ,aku tidak tahu.” “Kejadian ini bukan kejadian yang pertama,” berkata Ki Jagabaya, “tetapi akibatnya sangat buruk bagi kademangan, khususnya padukuhan ini. Para penyamun itu datang ke padukuhan dan menakut-nakuti rakyat kami. Mereka menganggap bahwa kami telah bersalah memberikan perlindungan kepada para pedagang itu. Padahal sekelompok pedagang dalam jumlah yang agak besar itu mampu melindungi diri mereka sendiri.” “Mereka menunggu Ki Jagabaya dan para bebahu,” berkata anak muda itu. Tetapi Ki Jagabaya masih saja duduk di tempatnya. Katanya, “Para pedagang itu berpegang pada kepentingan mereka sendiri. Tadi, kelompok yang terdahulu, hanya mencibir bibirnya saja ketika aku minta untuk singgah. Sekarang dalam keadaan yang sulit, mereka ingin melibatkan kami.” “Apakah setiap hari ada beberapa kelompok pedagang yang lewat?” bertanya Glagah Putih. “Tidak. Besok hari pasaran di pasar Tegal Reja. Besok lusa mereka akan berada di pasar Mertoyudan. Karena itu, hari ini ada beberapa kelompok pedagang yang lewat kademangan ini.” Glagah Putih menarik nafas panjang. “Bagaimana Ki Jagabaya ?” bertanya anak muda yang berlari-lari itu. “Kau sudah memberikan laporan kepada Ki Demang?” “Sudah, Ki Jagabaya.” “Apa kata Ki Demang?” “Aku diperintahkannya mencari Ki Jagabaya.” Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Ia pun kemudian bangkit berdiri dan berkata kepada Ki Kamituwa, “Marilah kita lihat. Tetapi jika para perampok dan penyamun itu mendendam kepada kita di sini, maka kita-lah yang akan mengalami kesulitan.” “Kita dapat menjelaskannya, Ki Jagabaya, bahwa kita tidak dapat berbuat lain. Kita tidak dapat melawan sekelompok penyamun.” Ki Jagabaya tidak menjawab. Dikeluarkannya uang dua keping, lalu diberikannya kepada pemilik kedai itu. “Sudahlah, Ki Jagabaya. Hanya minuman.” “Kau sudah kehilangan gula kelapa untuk membuat minuman itu.” “Aku nderes sendiri, Ki Jagabaya.” Ki Jagabaya tidak menjawab. Tetapi dua keping uang itu tetap saja ditinggalkannya di sebelah mangkuk minumannya. Sejenak kemudian, keduanya pun telah beranjak dari tempatnya. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Ki Jagabaya, apakah aku diperkenankan melihat keadaan mereka di banjar?” “Apa kepentinganmu?” “Kami berdua mempunyai sedikit pengetahuan tentang obat-obatan-serta perawatan. Mungkin kami dapat membantu merawat mereka.” “Kenapa kau bersusah payah melakukannya?” “Mungkin… mungkin….” Glagah Putih tidak melanjutkannya. “Mungkin kau akan mendapat upah? Begitu?” Glagah Putih tidak menjawab. “Terserah kepadamu. Jika kesulitan yang dialami oleh para pedagang itu dapat memberimu rejeki.” “Bukan maksudku, Ki Jagabaya.” “Baik. Baik, aku mengerti. Aku minta maaf.” Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa itu pun segera meninggalkan kedai itu, meskipun dengan perasaan yang agak segan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera membayar harga minuman dan makanannya pula. Atas ijin Ki Jagabaya, maka mereka pun akan pergi kebanjar padukuhan. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di banjar, dilihatnya Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa sedang berbicara dengan beberapa orang pedagang. Sementara itu para pedagang yang lain nampaknya sibuk merawat tiga orang kawan mereka yang terluka agak berat. Sedangkan beberapa orang kawan yang lain terluka ringan. Namun agaknya mereka yang terluka ringan itu tidak menghiraukan luka-luka mereka serta pakaian mereka yang terkoyak. Sementara itu seorang di antara para pedagang yang berbicara dengan Ki Jagabaya itu berkata, “Aku minta Ki Jagabaya dapat mengerti.” “Aku dapat mengerti, Ki Sanak.” “Jika Ki Jagabaya dapat mengerti, kenapa Ki Jagabaya merasa berkeberatan untuk merawat tiga orang kawan kami yang terluka parah?” “Kami tidak berkeberatan, Ki Sanak. Tetapi kami akan merasa sangat sulit untuk mempertanggungjawabkan mereka jika sekelompok perampok itu datang kemari. Jika mereka datang dengan niat buruk terhadap tiga orang kawan Ki Sanak yang terluka, apa yang dapat kami lakukan?” “Apakah kalian sepadukuhan ini tidak dapat melawan sekelompok perampok?” “Jadi kami harus bertempur melawan para perampok itu? Ki Sanak, Ki Sanak harus tahu bahwa kami tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Tidak ada orang padukuhan ini yang mampu bertempur dengan ilmu kanuragan yang memadai. Bahkan aku dan para bebahu tidak memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi para perampok dan penyamun.” “Tetapi kalian sepadukuhan jumlahnya tentu berlipat.” “Bayangkan, Ki Sanak. Seandainya kami mengerahkan semua laki-laki sepadukuhan untuk melindungi tiga orang saudagar kaya yang terluka parah di padukuhan ini, apa yang terjadi? Berapa orang yang harus kami korbankan untuk kepentingan tiga orang saudagar kaya itu? Apakah kami orang orang miskin di padukuhan ini sudah sewajarnya mengorbankan nyawa kami untuk orang-orang kaya sebagaimana Ki Sanak dan para saudagar?” “Jadi, dimana letaknya kebersamaan di antara kita untuk menentang kejahatan? Jika kalian tidak mau merawat tiga orang kawan kami, bahkan dengan imbalan yang cukup, itu berarti bahwa kalian tidak mempedulikan nasib sesama kalian.” “Tetapi untuk melindungi tiga orang yang terluka parah itu, mungkin sekali kami harus mengorbankan nyawa lebih dari tiga orang.” “Itu adalah akibat yang harus ditanggung dalam kebersamaan. Kita saling berkorban untuk sesama kita.” “Kebersamaan yang manakah sebenarnya yang kalian maksud?” “Jangan pura-pura tidak tahu, Ki Jagabaya. Kami sekarang memerlukan bantuan kalian untuk menyembunyikan kawan-kawan kami yang terluka.” “Sudah aku katakan, kami akan melakukannya. Tetapi kami tidak bertanggungjawab jika para perampok itu kemudian menemukannya.” “Nah, kebersamaan yang aku maksudkan adalah, bahwa kalian harus melindunginya.” “Kami tidak dapat mengorbankan orang-orang kami untuk menyelamatkan kawan-kawan kalian.” “Jadi kalian menolak untuk saling membantu?” “Saling membantu yang mana? Jika kalian dalam kesulitan, maka kalian baru ingat kepada kami. Orang-orang miskin yang tinggal di padukuhan ini. Tetapi jika usaha kalian lancar-lancar saja, maka kalian sama sekali tidak mau memalingkan wajah kalian kepada kami. Tadi juga ada serombongan pedagang yang lewat, tetapi agaknya mereka luput dari pencegatan para penyamun. Ketika aku mempersilahkan mereka singgah di pasar atau berhenti sebentar, mereka justru mencibirkan bibir mereka. Mereka menjadi acuh tak acuh. Nah, sekarang keadaannya berbeda. Baru kalian berhenti dan menemui kami di sini. Berbicara dan minta bantuan kami.” “Cukup. Aku tidak perlu sesorah itu. Kawan-kawanku terluka parah. Itu yang harus kita bicarakan.” “Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya, “aku menyarankan agar kawan-kawan Ki Sanak itu kalian titipkan di padukuhan yang agak jauh, sehingga para perampok itu tidak akan mencarinya ke sini.” Tetapi seseorang di antara para pedagang itu berkata, “Persetan kau, Ki Jagabaya. Agaknya kau justru bekerja sama dengan para perampok dan penyamun itu.” “Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak menuduh kami seperti itu?” “Jika kalian bukan bagian dari mereka, kalian tentu akan bersedia menyembunyikan dan melindungi kawan kami.” Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Sementara itu pedagang yang lainnya berkata, “Ki Jagabaya. Tadi, dalam pertempuran dengan para perampok dan penyamun, kami dapat mengalahkan mereka. Mereka berlarian dengan meninggalkan satu atau dua orang terbunuh dan yang lain luka-luka parah. Jika kalian takut kepada para penyamun, apakah kalian tidak takut kepada kami? Kami dapat memaksa keinginan kami kepada Ki Jagabaya. Bahkan kami akan mengancam, bahwa kami dapat berbuat lebih buruk dari apa yang dapat dilakukan oleh para perampok dan penyamun, karena kami ternyata lebih kuat dari mereka.” Jantung Ki Jagabaya bergetar semakin cepat. Katanya, “Tetapi mereka dapat mengajak kawan-kawan mereka yang lain untuk datang ke padukuhan ini.” Seorang saudagar yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal, meskipun sudah menjadi kotor setelah bertempur melawan para perampok, menyahut, “Sembunyikan kawan kami yang terluka. Terserah caramu. Lindungi mereka. Cari tabib yang terpandai untuk mengobati mereka. Pada saat kami kembali lewat jalan ini, mereka harus sudah menjadi semakin baik. Jika terjadi sesuatu atas diri mereka, maka padukuhan ini akan kami hancurkan. Kau dengar itu, Ki Jagabaya? Jika perampok itu dapat mengajak kawan-kawannya, maka kami pun akan dapat mengajak kawan-kawan kami.” Jantung Ki Jagabaya rasa-rasanya akan meledak. Tetapi disadarinya, bahwa ia tidak mempunyai kekuatan yang dapat mendukung jika ia menjadi marah. Mungkin Ki Jagabaya sendiri, mungkin Ki Kamituwa, memiliki kemampuan untuk berkelahi. Tetapi yang lain tidak. Sementara itu, sekelompok pedagang itu jumlahnya cukup banyak. Namun dalam pada itu, terdengar seseorang berkata, “Itu tidak adil, Ki Sanak.” Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di sebelah seorang perempuan yang juga masih muda. Saudagar yang berpakaian mahal itu memandanginya dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Beberapa langkah ia bergeser mendekati Glagah Putih sambil menggeram, “Setan kau. Kenapa kau turut campur? Siapa kau he?” “Namaku Wiguna. Ini istriku, Miyat.” “Apa yang kau maksud tidak adil?” “Kalian ternyata hanya mementingkan diri sendiri. Kalian tidak mengingat kesulitan yang bakal dialami oleh padukuhan ini jika kau memaksa meninggalkan kawan-kawanmu yang sakit. Apalagi dengan berbagai macam keharusan yang tidak masuk akal. Harus sembuh, harus selamat, harus … harus … apalagi. Jika para penyamun itu datang dan memasuki setiap rumah di padukuhan ini, yang bermaksud melindungi kawan-kawan Ki Sanak, akan mengalami bencana bagi diri mereka. Mayat akan berserakan di jalan-jalan. Kemudian beberapa hari lagi, kalian datang untuk mengambil kawan-kawan kalian. Tetapi karena kawan-kawan kalian telah mati, maka kalian akan menghancurkan padukuhan ini. Berapa orang lagi yang harus mati di tangan kalian?” “Tutup mulutmu. Atau bahkan kau di kirim oleh para perampok itu untuk melihat keadaan di padukuhan ini?” “Nalarmu sudah kusut, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih. Wajah saudagar itu menjadi merah. Katanya, “Kau berani menyebut nalarku sudah kusut?” “Ya. Karena kau menuduhku dikirim oleh para penyamun itu kemari.” “Aku tidak peduli siapa kau. Tetapi karena kau sudah menghinaku, maka kau akan menyesal. Meskipun di sini ada seorang Jagabaya, tetapi aku sendiri akan menghukummu. Mengoyak mulutmu yang lancang itu, serta merontokkan gigimu.” “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku tadi juga berjalan melewati bulak panjang serta bertemu dengan sekelompok penyamun yang jumlahnya sekitar sepuluh atau sebelas orang. Tetapi mereka dapat diajak bicara. Mereka mencoba mengerti keadaan, sehingga mereka tidak mengganggu aku, dua orang suami istri yang mengembara.” “Persetan dengan para penyamun. Mereka sudah kami hancurkan di bulak panjang itu.” “Bukan itu masalahnya. Tetapi seharusnya penalaran kalian lebih panjang dari para penyamun itu.” “Cukup. Kemarilah. Aku akan merontokkan gigimu sampai yang terakhir.” Adalah mendebarkan jantung orang-orang yang mengerumuninya, ketika mereka melihat Glagah Putih itu melangkah dengan tenangnya mendekati saudagar yang garang itu. Dua langkah di hadapan saudagar yang nampaknya cukup kaya itu, Glagah Putih berhenti. Tiba-tiba saja tanpa memberikan peringatan apapun juga, saudagar itu meloncat sambil mengayunkan serangannya langsung ke mulut Glagah Putih. Glagah Putih sendiri juga terkejut. Tetapi tubuhnya telah terlatih dengan matang. Karena itu, kakinya seakan-akan bergerak sendiri, bergeser ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Serangan saudagar itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih. Tangan saudara itu terjulur dengan jarak setebal daun dari wajahnya. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun telah menggerakkan tangannya. Kelima jarinya terbuka menusuk di bawah tulang-tulang rusuk saudagar yang marah itu. Terdengar saudagar itu menjerit kesakitan. Bahkan tubuhnya pun telah terdorong beberapa langkah surut. Saudagar itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga karena itu maka ia pun segera terkapar di tanah. Ketika saudagar itu tergesa-gesa mencoba bangkit berdiri, maka pinggangnya terasa sangat sakit. Tusukan jari-jari tangan Glagah Putih agaknya telah menimbulkan luka di dalam tubuh saudagar,atu. Karena itu, saudagar itu tidak dapat lagi berdiri tegak. Tetapi bubuhnya menjadi agak terbongkok dan kesakitan. Seorang pedagang yang lain telah berteriak dengan lantangnya, “Kau telah menyakiti kawanku. Kau akan menyesali perbuatanmu itu!” “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “yang terjadi justru yang tidak kita kehendaki. Kenapa justru kita yang bertengkar, sementara para perampok dan penyamun itu masih saja mengancam kita?” “Kau adalah bagian dari mereka.” “Dengar, Ki Sanak. Bukankah pendapat Ki Jagabaya itu baik dan patut dipertimbangkan? Bawa kawan-kawanmu yang terluka itu ke padukuhan yang agak jauh. Para perampok itu tentu tidak akan mencarinya sampai ke sana.” “Persetan dengan pendapat Ki Jagabaya.” “Ki Sanak. Jika kita berselisih dan bertengkar di sini, maka kalian tentu akan mengalami kesulitan di perjalanan. Seharusnya kalian menyimpan tenaga kalian sebaik-baiknya. Pada saat kalian menyeberangi Kali Praga, mungkin kalian akan bertemu dengan sekelompok perampok dan penyamun yang lain. Kalian harus bertempur lagi. Sementara itu, jika kalian harus berselisih dengan kami di sini, kalian akan kehilangan lagi beberapa orang kawan. Setidak-tidaknya beberapa orang kawanmu itu akan terluka seperti kawanmu yang akan kau titipkan itu.” “Sombongnya kau, Wiguna. Jika kau tidak mau menyingkir, maka kau akan aku singkirkan.” “Jangan menjadi terlalu tamak, Ki Sanak. Seharusnya jika kau lewat di padukuhan ini, kau justru harus membayar pajak perjalanan kalian. Setidak-tidaknya untuk memperbaiki jalan yang menjadi rusak oleh kaki-kaki kuda kalian. Bukan justru memeras dan memaksa orang-orang padukuhan ini melakukan pekerjaan di luar kemampuan mereka.” “Cukup!” teriak pedagang yang lain. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Beberapa orang pedagang telah mengerumuninya. Kemarahan nampak membayang di wajah mereka. Bahkan seorang yang bertubuh tinggi menggeram, “Aku akan mengoyak mulutnya.” “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “jadi kalian tidak mau mendengar kata-kataku?” “Menyingkir, atau kami singkirkan. Kami akan menghancurkan kesombonganmu dan melemparkanmu ke selokan di pinggir bulak panjang itu.” “Apa boleh buat. Jika kalian memaksa, kita akan berkelahi.” Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa menjadi tegang. Sambil melangkah mendekati Glagah Putih ia pun berkata, “Sudahlah, Wiguna. Kau jangan terlibat dalam persoalan ini terlalu dalam. Bukankah kau masih melanjutkan pengembaraanmu? Biarlah kami mencoba mengatasi perkara ini. Jika terpaksa, kami akan mencoba untuk menyembunyikan kedua orang pedagang yang terluka itu, meskipun harus kami bawa ke padukuhan lain.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Tetapi kami tidak dapat membiarkan ketidakadilan ini terjadi. Para pedagang itu memang seharusnya mendapat perlindungan. Tetapi tidak dengan mengorbankan rakyat miskin di padukuhan ini. Sehari-hari mereka sudah mengenyam kesenangan. Apa yang mereka inginkan sekeluarga, dapat mereka adakan. Sedangkan rakyat padukuhan ini, meskipun ada juga seorang dua orang yang kaya, tetapi pada umumnya mereka harus bekerja keras untuk makan esok pagi. Bagaimana mungkin orang-orang kaya ini dengan tanpa merasa bersalah harus mengorbankan orang-orang miskin?” “Sekali lagi aku peringatkan, pergi atau aku campakkan kau ke parit di bulak panjang itu. Jari-jari kami masih berbau darah para perampok itu Panasnya hati kami masih belum mereda. Sekarang kau bakar lagi kemarahan kami dengan tingkah lakumu yang gila itu.” “Kalian yang harus pergi. Bawa kawanmu yang terluka parah. Besok, jika kalian lewat jalan ini lagi, kalian harus membayar pajak untuk memperbaiki jalan yang dirusakkan oleh tapak besi di kaki-kaki kuda kalian.” Seorang pedagang tidak lagi dapat menahan diri. Ia pun dengan serta-merta telah menyerang Glagah Putih. Namun dengan gerak yang sederhana Glagah Putih mampu mengelakkannya. Bahkan dengan kuat Glagah Putih mendorong orang itu pada punggungnya, sehingga orang itu terpelanting menimpa seorang kawannya, sehingga kedua-duanya jatuh terguling. Namun yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang sengit. Beberapa orang pedagang telah berkelahi melawan Glagah Putih. Sedangkan beberapa orang yang lain masih sedang merawat kawannya yang terluka, yang terbaring di pendapa banjar. Tetapi demikian perkelahian itu terjadi, maka mereka pun segera bangkit dan melangkah menuruni tangga pendapa. Dalam pada itu, Rara Wulan pun telah mengikat peti kecilnya dengan selendangnya, dan kemudian melilitkan selendang itu di tubuhnya seperti seorang yang sedang menggendong bayi dipunggungnya. Mengikat kedua ujung selendang di dadanya, dan siap untuk melibatkan diri jika diperlukan. Sementara itu, Glagah Putih telah bertempur melawan beberapa orang pedagang yang marah. Mereka ingin menangkap Glagah Putih, membuatnya jera dan melemparkan keluar padukuhan. Namun ternyata usaha mereka tidak terlalu mudah. Glagah Putih pun kemudian berloncatan seperti burung sikatan memburu belalang di rerumputan. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih benar-benar telah tersinggung oleh sikap para pedagang dan saudagar yang pada umumnya adalah orang-orang berada itu. Mereka sampai hati mencari keselamatan dengan menginjak ketenangan hidup rakyat kecil di pedesaan. Karena itu, maka seperti para pedagang yang ingin membuat Glagah Putih menjadi jera, maka Glagah Putih pun ingin membuat mereka menjadi jera. Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Tubuhnya menjadi seringan kapas, sementara tenaganya menjadi semakin kuat, sekuat raksasa. Kemampuan Glagah Putih memang sangat mengejutkan bagi para pedagang itu. Baru saja mereka bertempur melawan sekelompok penyamun di bulak panjang. Bahkan mereka berhasil mengalahkan para penyamun itu, sehingga para penyamun itu berlari tunggang-langgang dengan meninggalkan beberapa orang korban. Sekarang, di banjar padukuhan ini, mereka hanya menghadapi seorang laki-laki yang masih terhitung muda. Namun rasa-rasanya mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kawan-kawan mereka yang belum terlibat langsung pun terkejut pula. Laki-laki muda itu berloncatan dengan garangnya. Sentuhan-sentuhan tangannya telah mendorong, dan bahkan melemparkan lawannya keluar dari arena. “Gila,” geram seorang pedagang, “ilmu apakah yang dimiliki orang itu?” Dengan demikian, maka para pedagang dan saudagar yang darahnya masih terasa panas setelah bertempur dengan para perampok itu, harus bertempur lagi menghadapi orang yang menyebut dirinya Wiguna. Seorang yang terluka oleh goresan pedang di pundaknya berteriak, “Biarlah aku membunuhnya! Di bulak itu aku sudah membunuh seorang di antara para perampok itu.” Ketika semua pedagang dan saudagar kecuali yang terluka parah itu mulai terjun ke arena, maka Rara Wulan tidak dapat tinggal diam. Ia tidak dapat membiarkan suaminya bertempur sendiri melawan para pedagang itu. Tetapi peti kecil itu memang akan dapat mengganggunya. Karena itu, maka ia pun mendekati Ki Jagabaya sambil berdesis, “Ki Jagabaya. Titip peti kecil ini.” “Apa isinya?” “Nyawaku dan nyawa suamiku. Karena itu, jangan jatuh ke tangan siapapun juga. Demikian peti itu dibuka, aku dan suamiku akan mati.” “Benar begitu?” “Ya. Jika Ki Jagabaya ingin membunuh kami, bukalah peti itu. Di dalamnya juga terdapat bayi kami.” “Kau masih juga sempat bercanda, Nyi.” “Aku tidak bercanda, Ki Jagabaya. Karena itu, hati-hatilah.” Ki Jagabaya menerima peti kecil itu dengan gemetar. Ia pun kemudian minta Ki Kamituwa berdiri di dekatnya untuk ikut menjaga peti itu. “Trima ada di sini, Ki Jagabaya.” “He?” “Aku akan memanggilnya. Ia memiliki sedikit kemampuan untuk ikut menjaga peti kecil ini.” Sejenak kemudian tiga orang anak muda berdiri di sekitar Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa untuk ikut menjaga peti kecil yang dititipkan oleh Rara Wulan. Untunglah para pedagang itu tidak memperhatikan peti kecil itu. Mereka lebih memperhatikan Rara Wulan yang menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya yang dipakainya di bawah kain panjangnya itu. “Aku ikut, Kakang,” kata Rara Wulan kemudian. Glagah Putih tidak mencegahnya. Lawannya memang cukup banyak. Jika ia harus bertempur sendiri, maka kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi di luar kendalinya. Namun seorang saudagar yang bertubuh gemuk menggeram, “Perempuan gila. Kau kira kami sedang bermain jamuran?” “Ya,” jawab Rara Wulan, “jamur balung pisah.” “Setan betina kau,” geram saudagar itu sambil meloncat menyerang. Ternyata keberadaan Rara Wulan di arena telah mengejutkan para pedagang itu pula. Bahkan mereka yang berdiri di luar arena pertempuran terkejut pula. Dengan loncatan-loncatannya yang cepat, maka dua orang lawannya telah terlempar dari arena. Seorang dapat dengan cepat bangkit berdiri, namun yang seorang masih harus menyeringai kesakitan, karena punggungnya menghantam tangga pendapa banjar. Sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar telah mengacaukan perlawanan para pedagang dan saudagar yang baru saja mengalahkan sekelompok penyamun di bulak panjang. Setiap kali seorang di antara mereka terpelanting dengan kerasnya. Sedangkan yang lain harus mengerahkan kemampuannya untuk mengelakkan serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan itu. Tetapi dua orang laki-laki dan perempuan yang masih terhitung muda itu seakan-akan berada dimana-mana. Seakan-akan mereka menyerang dari segala arah. Sulit bagi para pedagang dan saudagar itu menghindar dari garis serangan mereka. Beberapa saat kemudian maka pertempuran menjadi semakin sengit, para pedagang dan saudagar itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun kedua orang suami istri itu ternyata memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari mereka. Seorang demi seorang para pedagang itu mengalami kesulitan. Mereka menjadi kesakitan serta tenaga mereka pun menjadi semakin lemah. Beberapa orang di antara mereka yang terpelanting jatuh, tidak segera dapat bangkit dan kembali memasuki arena. Namun tiba-tiba seorang di antara para pedagang itu mencabut senjatanya. Sebuah pedang yang lurus, panjang dan yang tajamnya ganda. “Kalian berdua harus pergi dari padukuhan ini, atau aku akan menyingkirkan kalian. Bahkan untuk selamanya.” Ternyata kawan-kawannya pun telah ikut-ikutan pula mencabut senjata mereka. Glagah Putih memberikan isyarat kepada Rara Wulan untuk meloncat surut mengambil jarak. “Tunggu, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “jangan bermain-main dengan senjata kalian.” “Jika kau menjadi ketakutan, pergi. Masih ada kesempatan.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Kalian tahu, bahwa senjata adalah benda yang berbahaya.” “Aku akan membunuhmu jika kau masih saja keras kepala.” “Kalian harus menyadari, bahwa untuk melawan senjata kalian, maka kami pun akan bersenjata pula. Yang terjadi mungkin sekali di luar kendali. Dua orang kawanmu sudah terluka parah. Kalian sudah kebingungan untuk menitipkan mereka, bahkan dengan mengancam orang-orang kecil yang tidak tahu menahu persoalannya. Jika kalian sekarang bertempur dengan senjata, maka kawan-kawan kalian yang terluka akan segera bertambah.” “Aku ingin menyuapi mulutmu dengan pedang,” geram seorang yang bertubuh gemuk itu, “dengan demikian maka mulutmu akan bertambah besar. Pantas bagi orang yang sangat sombong seperti kau.” “Aku-lah yang sekedar memperingatkan kalian. Hentikan perlawanan kalian. Bawa pergi kawanmu yang terluka.” Tetapi para pedagang itu tidak menghiraukannya. Mereka justru telah bergeser mengambil jarak. Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyadari, bahwa ujung-ujung senjata itu akan dapat mengoyakkan pakaian mereka. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih pun segera mengurai ikat pinggangnya, sedang Rara Wulan memegang selendangnya pada kedua ujungnya dengan kedua tangannya. “Kami terpaksa mempergunakan senjata pula,” berkata Glagah Putih. Sekali lagi para pedagang itu terkejut melihat apa yang disebut senjata oleh kedua orang itu. Sehelai ikat pinggang dan sehelai selendang. Tetapi senjata-senjata yang mereka anggap aneh itu membuat jantung mereka berdebaran. “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “sekali lagi aku peringatkan. Hentikan perlawanan kalian dan bawa kedua orang kawanmu itu pergi.” Tetapi para pedagang itu tidak dapat menerima ancaman itu. Kemarahan dan harga diri yang berbaur membuat mereka sulit menghadapi kenyataan tentang kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Karena itu, maka orang yang bertubuh gemuk itu pun berteriak, “Berhati-hatilah. Jika kalian berdua mati, sama sekali bukan tanggung jawab kami.” Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab lagi. Mereka pun kemudian berloncatan mengambil jarak untuk mendapat kesempatan memutar senjata mereka. Sejenak kemudian pertempuran telah berkobar lagi di halaman banjar. Bukan saja serangan tangan dan kaki yang terayun menyambar-nyambar. Tetapi berbagai macam senjata telah berputaran, terayun mendatar menebas dan menikam dengan garangnya. Namun tidak seorang pun di antara para pedagang itu yang berhasil menggoreskan senjatanya. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berloncatan di antara kilatan senjata lawan-lawan mereka. Ki Jagabaya, Ki Kamituwa dan orang-orang yang semakin banyak berkerumun di banjar padukuhan itu menjadi semakin berdebar-debar, bahkan sekali-sekali jantung mereka rasanya telah berhenti berdetak. Mereka sangat mencemaskan kedua orang laki-laki dan perempuan yang dengan tangkasnya berloncatan di antara ayunan senjata itu. Tetapi yang terjadi justru tidak segera dapat dimengerti, bukan saja oleh orang-orang yang berdiri di luar arena, tetapi juga oleh mereka yang sedang bertempur itu. Ikat pinggang yang berada di tangan orang yang menyebut dirinya Wiguna itu, telah membentur senjata-senjata para pedagang itu sebagaimana sepotong besi baja. Bahkan beberapa orang di antara mereka telapak tangannya menjadi pedih, sehingga dengan susah payah mereka harus mempertahankan senjata mereka agar tidak terlepas dari tangan. Meskipun demikian, apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Tiba-tiba saja sebuah pedang terlempar dari genggaman. Kemudian disusul sebuah luwuk yang berwarna hitam kehijau-hijauan. Belum lagi kedua orang yang kehilangan senjata itu sempat memungutnya, terdengar seseorang berteriak marah sekali. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, dengan susah payah berusaha untuk bangkit berdiri. Adalah di luar kemampuannya untuk menghindar ketika selendang Rara Wulan membelit kakinya. Ketika selendang itu dihentakkan oleh Rara Wulan, maka orang itu pun terpelanting, jatuh dan terseret beberapa langkah. Kemarahan bagaikan meledakkan jantungnya. Sambil berteriak orang itu bangkit berdiri. Tanpa berpikir panjang orang itu segera meloncat menyerang Rara Wulan dengan pedang terayun menebas ke arah leher. Rara Wulan sempat merendah sehingga pedang itu terayun di atas kepalanya. Namun sekejap kemudian, selendang Rara Wulan telah memijit tangan orang itu. Ketika Rara Wulan menariknya sendal pancing, maka pedang itu bagaikan meloncat dari tangannya, melenting di udara. Hampir saja pedang itu jatuh menimpa seorang kawannya. Untunglah orang itu sempat mengelak. Tetapi pemilik pedang itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Rara Wulan telah menjulurkan selendangnya. Hentakan yang keras sekali telah mengenai dada orang bertubuh tinggi itu. Dengan kerasnya ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, orang itu pun terjatuh terlentang. Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka dadanya terasa menjadi sangat sakit dan nafasnya menjadi sesak. Karena itu, demikian ia mencoba untuk berdiri, maka ia pun telah terduduk kembali. Orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali duduk, dan berusaha untuk mengatur pernafasannya serta berusaha mengatasi rasa sakit di dadanya. Sementara itu, pertempuran masih berlangsung. Selendang Rara Wulan berputaran menyambar-nyambar. Setiap kali satu dua orang lawannya terlempar dari arena. Beberapa pucuk senjata pun terlepas dari tangan pemiliknya. Dalam pada itu, lawan Glagah Putih pun menjadi semakin berkurang. Seorang bagaikan menjadi lumpuh ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai pahanya. Glagah Putih sengaja tidak mempergunakan ikat pinggangnya untuk mengoyak tubuh lawannya. Tetapi dipergunakannya sekedar untuk menyakiti mereka. Beberapa saat kemudian, lawan-lawan Glagah Putih dan Rara Wulan pun semakin menyusut. Bahkan kemudian beberapa orang yang tersisa telah berloncatan menjauhinya. “Katakan bahwa kalian menyerah!” teriak Glagah Putih. “Jika tidak, maka kami akan memperlakukan kalian lebih buruk lagi.” Tidak seorang pun yang menjawab. Beberapa orang di antara mereka telah kehilangan sejata mereka. Yang lain merasa bahwa tulang-tulang mereka pun bagaikan menjadi retak. Yang lain, wajahnya menjadi lebam kebiru-biruan. Sedangkan yang lain lagi menjadi timpang karena sentuhan ikat pinggang Glagah Putih pada pahanya. Sementara itu, ada yang merasa seolah-olah sendi di pergelangan tangan kakinya terlepas, sehingga pergelangannya menjadi sakit sekali. Bahkan agak membengkak. “Jawab!”teriak Glagah Putih pula. Namun agaknya harga diri para pedagang dan saudagar itu mencegah mereka untuk menyatakan diri menyerah. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata lantang kepada Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah darinya, “Miyat. Ternyata mereka tidak mau menyerah. Karena itu, maka sekarang kita berhak untuk membunuh mereka. Bukan kita yang pertama-tama mempergunakan senjata Tetapi mereka.” “Baik, Kakang,” jawab Rara Wulan tidak kalah lantangnya. “Kematian di antara mereka bukan salah kita. Kita sudah memberi kesempatan kepada mereka untuk menyerah. Tetapi mereka telah menolak.” Ketika kemudian Rara Wulan memutar selendangnya, maka terdengar suara selendangnya bagaikan angin yang menderu. “Tunggu! Tunggu!” teriak seorang di antara para pedagang itu, “Aku menyerah.” Suasana pun menjadi sangat tegang. Pedagang yang bersenjata pedang itu telah melemparkan senjatanya di tanah. Seorang yang lain, yang sudah tidak bersenjata pun kemudian berkata pula, “Aku juga menyerah. Aku sudah tidak bersenjata.” Ternyata kawan-kawannya pun telah mengikutinya pula. Yang masih bersenjata telah melemparkan senjatanya. Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berkata, “Ambil senjata–senjata kalian. Segera bersiap meninggalkan tempat ini. Bawa kawanmu yang dilukai oleh para perampok itu.” “Baik. Baik, Wiguna. Kami akan segera pergi dengan membawa kawan-kawanku yang terluka.” “Dengar, Ki Sanak. Bukannya kami tidak mau menolong sesama. Jika kami minta kalian pergi dengan membawa kawan-kawanmu yang terluka, justru kami mempunyai pertimbangan atas dasar kemanusiaan. Jika kawan kalian tetap di sini, maka para perampok itu tentu akan menemukannya. Sebaliknya, jika orang-orang pedesaan ini harus melindunginya, maka korbanya akan menjadi jauh lebih banyak. Dan itu sama kali tidak adil, bahwa orang-orang kecil dan miskin harus mengorbankan diri untuk kepentingan orang-orang kaya seperti kalian. Karena itu, bawa kawan-kawan kalian. Selamatkan mereka dari tangan para perampok itu. Tetapi seorang di antara para pedagang itu berkata, “Bukankah kau memiliki kelebihan yang tidak tertandingi? Jika para perampok itu datang kemari, kau akan dapat menghalaunya.” “Aku seorang pengembara,” jawab Glagah Putih, “sebentar lagi aku akan meneruskan pengembaraan kami. Kami tidak dapat terikat di satu tempat. karena kami memang sedang menjalani laku. Jika para perampok itu datang sepeninggalku, maka kawanmu yang terluka itu tidak akan tertolong lagi.” Para pedagang itu pun mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun berkata, “Baiklah. Kami akan segera mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan. Tetapi beberapa orang kawan kami justru mengalami kesakitan.” “Aku sudah memperingatkannya. Untunglah bahwa tidak ada kawan kalian yang terbunuh.” Para pedagang itu pun terdiam. Mereka pun segera berbenah diri untuk meneruskan perjalanan. Mereka harus menuruti pendapat orang yang menyebut dirinya bernama Wiguna itu. Namun sebagian dari mereka benar-benar dapat mengerti maksud Glagah Putih. Mereka pun membenarkan, bahwa tidak adil untuk mengorbankan orang-orang miskin bagi kepentingan mereka. Mereka memang tidak berhak mementingkan kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak mempedulikan rakyat miskin yang akan dapat menjadi korban. Mati dalam kesia-siaan bagi kepentingan orang-orang kaya. Beberapa saat kemudian, maka para pedagang itu pun sudah siap untuk meneruskan perjalanan. Namun keadaan mereka menjadi semakin sulit. Beberapa orang masih merasakan kesakitan. Tetapi mereka harus meninggalkan padukuhan itu dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Beberapa saat kemudian, maka para pedagang itu sudah siap untuk meninggalkan banjar. Kawan-kawan mereka yang terluka telah mereka dudukkan di atas punggung kuda. “Maaf, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kepada mereka yang terluka parah itu, “aku mencemaskan nasib kalian, jika kalian tetap berada di padukuhan ini. Padukuhan ini masih terlalu dekat dengan daerah perburuan para perampok itu. Jika kalian dibawa ke tempat yang lebih jauh, maka agaknya para perampok itu tidak akan mencarinya sampai ke sana Sementara itu kalian masih harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebelum kalian menyeberang Kali Praga. Mungkin esok. Mungkin esok lusa. Mungkin kalian akan bertemu lagi dengan gerombolan penyamun yang lain.” Seorang yang rambutnya sudah ubanan mewakili kawan-kawan mereka, minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Orang yang rambutnya ubanan itu sempat pula minta maaf atas sikap mereka yang kasar. “Kami mengira bahwa kami dapat memerintahkan apa saja kepada orang-orang miskin, termasuk mengorbankan diri mereka. Pengalaman kami ini akan dapat membangunkan kami dari mimpi-mimpi kami itu.” “Baiklah. Mudah-mudahan kalian tidak tertidur dan bermimpi lagi. Karena keadaan yang berubah akan dapat merubah sikap kalian. Jika kalian pulang ke rumah kalian, maka kehidupan kalian sehari-hari yang serba berlebihan akan dapat membangunkan mimpi-mimpi kalian lagi. Kalian akan merasa bahwa uang adalah segala-galanya. Bahkan dengan uang, kalian akan dapat membeli harga diri seseorang, dan lebih dari itu, nyawa seseorang.” “Kami akan selalu mengingatnya.” “Ingat, Ki Sanak. Kami berdua adalah pengembara. Jika kalian kembali kepada cara hidup kalian, maka kami berharap bahwa pengembaraan kami akan sampai juga ke rumah-rumah kalian. Meskipun rumah kalian dijaga oleh orang-orang upahan yang berilmu tinggi, namun kami akan menembus dinding halaman rumah kalian.” Orang itu mengerutkan dahinya. Tetapi ada juga di antara para pedagang itu yang tidak senang mendengar ancaman itu. Namun mereka menganggap bahwa orang yang menamakan diri Wiguna itu bersungguh-sungguh. Demikianlah, maka sejenak kemudian iring-iringan itu pun meninggalkan banjar padukuhan. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri jalan bulak menuju ke padukuhan yang lebih jauh, untuk menitipkan kawan-kawan mereka yang terluka. Tetapi sikap mereka pun memang telah berubah. Mereka tidak lagi memperlakukan orang-orang kecil di pedesaan sebagai budak-budak yang harus patuh tanpa syarat. Di padukuhan yang mereka tinggalkan, Ki Jagabaya dan para bebahu yang kemudian berada di banjar, mengucapkan terima kasih kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil mengembalikan peti kecil yang dititipkan kepadanya, Ki Jagabaya berkata, “Aku tidak membuka peti itu.” “Tentu,” jawab Rara Wulan, “jika Ki Jagabaya membukanya, maka nyawa kami sudah terbang. Bayi kami yang kami simpan di dalam nyapun sudah terbang pula.” “Tetapi apakah sebenarnya isi peti itu?” bertanya Ki Jagabaya. Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Bukankah sudah aku beritahukan kepada Ki Jagabaya?” “Dalam keadaan yang gawat itu pun Nyai masih sempat bercanda. Sementara itu, kecemasanku sudah membakar ubun-ubun.” Glagah Putih tertawa pula. Katanya, “Isinya sangat berharga bagi kami berdua, sehingga istriku menyebutnya bahwa isinya adalah nyawa-nyawa kami.” Ki Jagabaya itu pun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Alangkah bodohnya aku ini. Aku mengira bahwa istrimu sekedar bercanda, atau kalau tidak, justru di dalam peti itu benar-benar terdapat nyawa kalian.” Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Nah, Ki Sanak. Sekarang kami pun akan minta diri. Mudah-mudahan sepeninggal kami tidak akan terjadi apa-apa di padukuhan ini. Jika para perampok itu datang, katakan bahwa kalian telah mengusir para pedagang itu.” “Kenapa kalian berdua begitu tergesa-gesa? Kalian dapat tinggal di sini barang sepekan.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Kami masih harus menempuh perjalanan panjang.” “Justru karena itu, bukankah kalian tidak terikat oleh waktu? Bukankah kalian tidak dibatasi, kapan kalian harus sampai di tempat tertentu?” “Benar, Ki Jagabaya. Tetapi waktu menjadi sangat berharga bagiku.” “Di mana malam nanti kalian akan bermalam?” bertanya Ki Jagabaya. Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun sebelum ia menjawab, Ki Jagabaya pun berkata, “Bermalamlah di sini, setidaknya untuk malam ini saja. Jika para perampok itu datang, kami tidak menghadapinya sendiri.” “Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Bukankah para pedagang yang terluka itu tidak ada di sini?” “Meskipun demikian, rasa-rasanya hati kami akan lebih tentram jika kalian berada di sini. Syukur jika para perampok itu tidak datang kemari.” “Jika mereka datang, tentu tidak malam ini. Mereka tentu masih sibuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah terbunuh. Selain itu, tentu mereka pun akan sulit mengumpulkan kawan-kawan mereka yang lain, yang sama tatarannya dengan kawan-kawan mereka yang telah dikalahkan oleh para pedagang itu.” Tetapi Ki Jagabaya itu masih juga berkata, “Aku mengerti. Tetapi keberadaan kalian malam ini di sini, akan sangat berpengaruh terhadap ketentraman hati kami penghuni padukuhan ini.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, “Apakah kita akan bermalam di sini?” “Tidak apa-apa, Kakang. Perjalanan kita hanya akan tertunda tidak sampai sehari.” “Baiklah,” berkata Glagah Putih. Lalu katanya kepada Ki Jagabaya, “Kami akan menerima kesempatan yang Ki Jagabaya berikan untuk bermalam di padukuhan ini nanti malam.” “Terima kasih, Ki Sanak. Malam nanti kalian berdua akan kami persilahkan bermalam di rumahku saja.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Tetapi biarlah aku bermalam di banjar ini saja.” “Di sini tidak ada yang akan melayani jika kalian haus dan apalagi lapar.” “Tidak apa-apa, Ki Jagabaya. Bahwa kami mendapat tempat untuk bermalam, kami sudah merasa sangat berterima kasih.” Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun Ki Kamituwa pun berkata, “Biarlah aku yang nanti menyediakan minum dan makan bagi mereka berdua.” “Jangan merepotkan, Ki Kamituwa. Kami hanya berdua. Kami tidak memerlukan pelayanan. Kami dapat merebus air sendiri di banjar ini. Mungkin di sini ada serba sedikit alat-alat dapur.” “Itu tidak perlu, Ki Wiguna. Kami-lah yang minta kalian berdua bermalam.” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Sementara itu, Ki Jagabaya pun telah memerintahkan penunggu banjar untuk membersihkan sebuah bilik di serambi belakang banjar itu. Beberapa saat kemudian, setelah bilik bagi Glagah Putih dan Rara Wulan disiapkan, maka para bebahu serta beberapa orang yang masih berada di banjar pun meninggalkan banjar itu, pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun orang se-padukuhan itu masih saja membicarakan kelebihan dua orang suami istri yang bermalam di banjar itu. Mereka berdua saja dapat mengalahkan sekelompok pedagang yang telah mengalahkan gerombolan penyamun yang akan merampok mereka di bulak panjang. “Luar biasa. Yang terjadi di banjar itu tidak dapat masuk di akalku,” berkata seorang di antara mereka yang sempat menyaksikan pertempuran di banjar. “Apalagi kita. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa pun nampaknya terheran-heran pula.” “Jika gerombolan perampok itu malam ini datang ke padukuhan kita, maka mereka akan dihancurkan oleh kedua orang suami istri itu.” “Tetapi menurut mereka, rasa-rasanya perampok itu tidak mungkin datang hari ini atau malam nanti. Mereka terlalu sibuk. Sedangkan untuk mengumpulkan orang-orang baru, mereka tentu memerlukan waktu.” Kawannya pun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat penghormatan khusus. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa bersama beberapa orang bebahu yang lain telah datang ke banjar untuk sekedar berbincang. Sementara itu hidangan pun justru datang dari Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa. Namun Ki Jagabaya tetap berhati-hati. Diperintahkannya beberapa orang anak muda untuk mengamati keadaan, jika saja ada segerombolan perampok yang datang. Tetapi sampai jauh malam, tidak seorang pun datang ke padukuhan itu. Yang kemudian justru datang adalah Ki Demang dengan beberapa orang pengiringnya. “Siapa yang bermalam di banjar ini?” bertanya Ki Demang. “Dua orang suami istri yang telah membantu kita, Ki Demang.” “Membantu apa?” “Bukankah aku sudah memberikan laporan kepada Ki Demang lewat Ki Kebayan?” “Laporan apa?” “Ki Kebayan,” bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Kebayan, yang kebetulan juga ada di banjar itu, “bukankah Ki Kebayan sudah lapor kepada Ki Demang?” “Sudah. Aku sudah datang kepada Ki Demang sesaat menjelang senja. Ki Demang berkenan menerima aku sebentar. Laporanku memang belum tuntas. Tetapi Ki Demang waktu itu akan mempunyai keperluan lain, sehingga aku dimintanya meninggalkan rumah Ki Demang. Tetapi pokok-pokok persoalannya sudah aku laporkan.” “Kau tidak mengatakan bahwa ada orang bermalam di banjar malam ini,” sahut Ki Demang. “Memang belum sempat. Ki Demang cepat-cepat minta aku pergi pada waktu itu.” “Persetan kau, Ki Kebayan,” geram Ki Demang. Lalu ia bertanya, “Nah, sekarang aku ingin berbicara dengan orang yang bermalam di banjar ini.” “Kami berdua yang malam ini bermalam di banjar ini, Ki Demang,” sahut Glagah Putih. “Kau-kah yang telah mengusir para pedagang itu?” “Bukannya mengusir, Ki Demang. Tetapi aku sependapat dengan Ki Jagabaya. Jika mereka bermalam di sini, maka akibatnya akan buruk sekali bagi kademangan, khususnya padukuhan ini. Selain itu ada di antara para pedagang itu yang terluka. Jika yang terluka itu disembunyikannya di padukuhan ini, maka kemungkinan terbesar, orang-orang yang terluka itu dapat diketemukan. Ki Demang tentu tahu akibatnya jika orang yang terluka itu diketemukan oleh segerombolan perampok, yang tadi siang telah dikalahkan dan bahkan hampir saja dihancurkan oleh para pedagang itu.” “Itu urusan kami. Bukan urusanmu.” “Memang, Ki Demang. Itu urusan kita. Karena Ki Demang menyerahkan persoalannya kepadaku, maka aku-lah yang menanganinya. Kedua orang suami istri ini ternyata bersedia membantu aku,” sahut Ki Jagabaya. “Tetapi keduanya telah mengacaukan hubungan kita dengan para pedagang itu.” “Hubungan kita dengan mereka memang sudah tidak baik, Ki Demang. Mereka tidak pernah menghiraukan kita selama ini. Mereka hanya lewat saja meninggalkan debu yang dihamburkan di belakang kaki kuda mereka. Tetapi mereka tidak pernah menjadi sumber penghasilan bagi rakyat kita. Tetapi kita tidak pernah mengganggunya. Kita berbuat baik terhadap mereka. Tetapi jika kemudian mereka menitipkan orang-orang yang terluka, bahkan dengan ancaman bahwa kita harus melindungi orang-orang yang terluka, mm… maka kita harus berpikir dua tiga kali.” “Kenapa? Apakah tidak pantas bagi kita untuk menolong sesama?” “Bukannya kita tidak mau menolong sesama. Tetapi bukankah dengan demikian, para pedagang itu sudah menyurukkan kepala kami ke mulut srigala yang lapar? Sedangkan jika kami, setelah mengorbankan beberapa orang, masih juga tidak berhasil melindungi kawan-kawan saudagar itu yang terluka, maka kami akan menjadi tumpahan kesalahan. Mungkin mereka akan menghukum kami, sehingga kami harus mengorbankan lagi beberapa orang kami. Orang-orang miskin yang tidak tahu menahu persoalannya?” “Kenapa hanya kalian? Bukankah aku Demang di sini?” “Tetapi Ki Demang tidak memahami persoalannya. Kami-lah yang tahu benar, apa yang akan terjadi.” “Kau sisihkan aku dari antara bebahu kademangan ini, justru aku adalah Demangnya?” “Bukan tentang bebahu. Tetapi tentang siapa yang mengerti akan persoalan yang sedang dihadapi.” “Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi. Tetapi aku tidak mau banjar ini menjadi seakan-akan penginapan. Apalagi bagi orang-orang yang mempunyai persoalan di kademangan ini.” “Aku-lah yang minta mereka menginap,” sahut Ki Jagabaya. “Sebenarnya mereka sudah akan berangkat untuk melanjutkan perjalanan, tetapi aku menahan agar mereka bersedia bermalam semalam saja. Jika malam ini para perampok itu datang, maka kami tidak hanya akan menghadapinya sendiri.” Ki Demang memandang Ki Jagabaya dengan tajamnya. Sementara Ki Kamituwa pun berkata, “Aku juga minta mereka bermalam malam ini di banjar.” “Kalian telah berbuat menurut kehendak kalian sendiri, tanpa minta persetujuanku.” “Ketika aku datang melapor ke rumah Ki Demang,” sahut Ki Kebayan, “sebenarnya aku juga ingin melaporkan tentang kedua orang suami istri yang akan menginap di banjar. Tetapi Ki Demang tidak memberi waktu kepadaku.” “Kalian hanya dapat menyalahkan aku. Ingat, bahwa aku Demang di sini.” Tetapi Ki Kebayan itu masih juga menjawab, “Kami tidak ingin menyalahkan Ki Demang. Tetapi kami sekedar mengatakan apa yang telah terjadi, dan apa yang telah Ki Demang lakukan.” Ki Demang itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada kedua pengawalnya, “Marilah kita pergi.” Tanpa mengatakan sesuatu lagi kepada para bebahu yang ada di banjar, maka Ki Demang pun kemudian meninggalkan tempat itu. Para bebahu hanya dapat saling berpandangan. Namun, demikian Ki Demang itu hilang di balik pintu regol halaman banjar, maka Ki Jagabaya pun berdesis, “Aku semakin tidak mengerti kemauan Ki Demang.” “Ya,” sahut Ki Kamituwa, “sikapnya semakin aneh.” “Agaknya ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikapnya itu,” berkata Ki Kebayan. Tetapi para bebahu itu tidak dapat menebak, apa sebenarnya yang tersembunyi di balik sikap Ki Demang. Kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Jagabaya pun berkata, “Kami mohon maaf atas sikap Ki Demang. Kami memang sulit untuk mengerti sikapnya. Agaknya ia ingin menyembunyikan kelemahannya.” “Ya. Ki Demang adalah seorang yang lemah dan malas. Karena itu, agaknya Ki Demang ingin menunjukkan bahwa ia tetap berkuasa di kademangan ini,” sahut Ki Kebayan. “Mungkin. Memang satu kemungkinan,” desis Ki Jagabaya. “Tetapi sudahlah. Jangan pikirkan lagi. Keberadaan Ki Wiguna berdua di banjar ini adalah atas tanggunganku. Jika Ki Demang masih ingin mempersoalkan lagi, biarlah aku yang mempertanggungjawabkan.” “Terima kasih, Ki Jagabaya. Mudah-mudahan keberadaanku di sini tidak mempengaruhi, apalagi memperburuk, hubungan Ki Demang dengan para bebahu. Bukankah Ki Demang dan para bebahu masih akan selalu terikat dalam kerja sama yang panjang?” Para bebahu itu mengangguk-angguk. Malam itu ternyata para bebahu berada di banjar sampai lewat tengah malam. Ketika mereka meninggalkan banjar, beberapa orang anak muda masih tetap berada di banjar. “Silahkan beristirahat, Ki Wiguna,” berkata seorang anak muda kepada Glagah Putih. “Terima kasih,” jawab Glagah Putih. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian masuk ke dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka. Namun dalam keadaan yang masih terasa belum mapan itu, keduanya tidak tidur berbareng. Mereka telah membagi sisa malam itu untuk bergantian berjaga jaga. “Aku tidur dahulu,” berkata Rara Wulan. “Baiklah,” jawab Glagah Putih. “Nanti, setelah ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, gantian Kakang yang berjaga-jaga.” “Baiklah.” Tetapi dengan cepat Glagah Putih itu bertanya, “Bagaimana?” “Sekarang aku tidur, nanti Kakang yang berjaga-jaga.” “Marilah kita meneruskan perjalanan sekarang saja,” berkata Glagah Putih kemudian. Rara Wulan tertawa tertahan sambil membaringkan tubuhnya di pembaringan bambu yang ada di bilik itu. Glagah Putih pun tertawa pula sambil berdesis, “Setelah menjalani laku yang berat, ternyata kau juga bertambah pandai.” Rara Wulan masih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Di dini hari, keduanya pun telah pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih menimba air untuk mengisi jambangan. Baru kemudian Glagah Putih pun mandi pula. Air yang dingin terasa menyegarkan tubuh mereka. Sebelum matahari terbit, keduanya pun telah bersiap untuk meninggalkan padukuhan itu. Ternyata para perampok benar-benar tidak datang semalam. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, mereka tentu tidak dapat mengumpulkan kawan-kawan baru dalam waktu yang dekat setelah mereka dikalahkan oleh sekelompok pedagang yang lewat, yang ternyata mempunyai kekuatan lebih besar dari kekuatan segerombolan perampok itu. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri kepada penunggu banjar itu, ternyata Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa telah datang pula ke banjar. “Sepagi ini Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa harus sudah bangun,” berkata Glagah Putih. “Aku sudah terbiasa bangun pagi,” jawab Ki Jagabaya. “Kami memang sudah menduga bahwa kalian berdua akan berangkat pagi-pagi sekali, sehingga kami pun harus berada di banjar sebelum matahari terbit.” “Kami minta diri,” berkata Glagah Putih kemudian. “Sebenarnyalah kami ingin mencoba minta agar kalian tidak pergi hari ini.” “Maaf, Ki Jagabaya,” jawab Glagah Putih, “kami harus mempergunakan waktu kami sebaik-baiknya, meskipun kami tidak dibatasi oleh waktu. Jika kami harus menunda-nunda perjalanan kami, maka laku yang harus kami jalani tidak akan dapat kami selesaikan seluruhnya.” “Bukankah tidak ada batasan hari, bulan dan tahun, kapan laku yang harus kalian jalani itu selesai?” “Kami tidak tahu, seberapa panjang waktu itu dikaruniakan kepada kami. Jika kami menyia-nyiakan waktu, dan tiba-tiba waktu yang dikaruniakan kepada kami itu diambil-Nya kembali, maka kami hanya akan dapat menyesalinya.” Ki Jagabaya mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah. Jika Ki Wiguna berdua harus meninggalkan kademangan kami, maka sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap bahwa pada kesempatan lain, kalian berdua dapat singgah lagi di kademangan ini.” “Kami akan berusaha, Ki Jagabaya. Jika kami kembali dari pengembaraan kami, maka kami akan berusaha untuk singgah.” Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan banjar. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa melepas Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke gerbang padukuhan. Sejenak kemudian maka keduanya pun telah memasuki bulak panjang yang seakan-akan membentang sampai ke cakrawala. Pagi itu langit nampak bersih. Embun masih nampak bergayut di ujung dedaunan. Kicau burung-burung liar terdengar di pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan. Lamat-lamat di kejauhan nampak padukuhan yang seakan-akan mencuat dari hijaunya tanaman di sawah. Beberapa orang sudah nampak mulai menuruni sawah mereka untuk membersihkan rerumputan liar di sela-sela tanaman yang hijau. Di perjalanan yang semakin jauh meninggalkan padukuhan itu, Rara Wulan pun bertanya, “Kakang. Kenapa sikap Ki Demang itu terasa aneh?” “Satu di antara beberapa kemungkinan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa, bahwa Ki Demang yang lemah itu ingin menunjukkan kuasanya.” “Tetapi bukankah akibatnya justru sebaliknya?” “Ya. Tetapi ada kemungkinan lain.” “Ki Demang itu berhubungan secara rahasia dengan para pedagang. Mungkin para pedagang itu telah menyuapnya.” “Tetapi ia tidak berbuat apa-apa bagi para pedagang itu.” “Setidak-tidaknya ia tidak mengusir para pedagang itu. Bukankah Ki Demang itu mengatakan bahwa dengan demikian hubungan mereka dengan para pedagang akan menjadi buruk?” “Aku justru berpendapat lain,” berkata Glagah Putih, “Ki Demang telah membuat hubungan rahasia dengan para perampok. Ki Demang tidak berusaha membangun lingkungannya untuk mempertahankan haknya. Jika ia berniat untuk membiarkan para pedagang itu menitipkan kawan-kawan pedagang yang terluka, justru bagi kepentingan para perampok yang akan datang untuk membalas dendam.” “Kenapa Kakang tidak mengatakan kemungkinan ini kepada Ki Jagabaya?” “Bukankah kita tidak meyakini kebenarannya? Kita hanya menduga-duga. Mungkin benar, tetapi mungkin tidak.” Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Jika kita menyatakan dugaan kita kepada Ki Jagabaya, namun ternyata bahwa dugaan kita salah, maka kita hanya akan menambah ketegangan yang terjadi di kademangan itu.” Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Tetapi langkah mereka pun terhenti ketika dari balik segerumbul perdu di simpang tiga, beberapa orang muncul, langsung berdiri di tengah jalan. Seorang di antara mereka adalah Ki Demang. Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut, sehingga terasa jantung mereka berdebaran. “Apa lagi yang dimaui oleh Ki Demang,” desis Glagah Putih. Rara Wulan yang membawa peti kecilnya, mengikatnya dengan selendangnya erat-erat. “Ki Sanak,” berkata Ki Demang yang melangkah mendekatinya, “aku tahu ilmumu sangat tinggi. Karena itu, aku tidak akan mengganggumu sekarang. Tetapi aku ingin memperingatkanmu, jangan mencampuri urusan orang lain. Jalan yang kau tempuh adalah jalan yang sangat rawan. Para perampok dan penyamun dapat muncul setiap saat dari sarangnya. Tiba-tiba saja mereka menyergap. Kalian berdua memang tidak akan merasa ketakutan karena ilmu kalian sangat tinggi. Tetapi sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam setiap benturan kekerasan yang terjadi. Karena jika kalian melibatkan diri, maka pada suatu ketika kalian akan bermusuhan dengan seluruh kekuatan para perampok dan penyamun di daerah ini, sampai di seberang Kali Praga.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Ki Demang. Kenapa Ki Demang memperingatkan aku agar aku tidak melibatkan diri? Bukankah itu kewajiban setiap orang untuk memberantas kejahatan menurut kemampuannya? Jika aku tidak mampu melakukannya, maka aku pun tidak akan melakukannya. Tetapi jika aku mampu, kenapa harus dicegah?” “Seberapapun tinggi ilmu kalian berdua, tetapi kalian tidak akan dapat menghadapi seluruh kekuatan para perampok dan penyamun yang tersebar di daerah ini.” “Mereka tidak akan menghimpun kekuatan bersama, Ki Demang. Ki Demang tentu mengetahui pula, bahwa sebenarnyalah mereka pun selalu bersaing. Mereka akan berebut ladang yang paling subur. Karena itu, maka mereka selalu terpecah-pecah seperti yang Ki Demang lihat sekarang ini. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi pertarungan di antara mereka.” “Memang hal itu dapat saja terjadi. Tetapi untuk menghadapi kekuatan dari luar, maka mereka akan dapat bersatu.” “Jika mereka dapat bersatu, tentu sudah mereka lakukan Tetapi ternyata tidak. Mereka telah terbelah menjadi bagian-bagian kecil yang lemah.” “Jangan meremehkan mereka, Ki Sanak.” Glagah Putih memandang Ki Demang dengan tajamnya. Dengan nada berat Glagah Putih bertanya, “Apa hubungan Ki Demang dengan para perampok itu?” Pertanyaan itu mengejutkan Ki Demang. Namun kemudian iapun menjawab, “Pertanyaan yang bodoh. Kau tentu sudah tahu jawabnya. Tentu aku tidak berhubungan sama sekali dengan para perampok itu.” “Jadi bahwa Ki Demang memperingatkan agar aku jangan melibatkan diri melawan para perampok itu, hanya karena kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami berdua?” “Ya. Kalian masih terlalu muda untuk dicincang oleh para perampok itu.” “Terima kasih atas kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami. Tetapi kami mempunyai pertimbangan tersendiri. Kapan kami tidak ikut campur, dan kapan kami harus terjun langsung melawan para perampok itu.” “Ki Sanak. Kau harus tahu, bahwa gerombolan perampok dan penyamun bukannya hanya kelompok yang sudah dikalahkan oleh para pedagang yang tadi lewat. Tetapi masih ada gerombolan-gerombolan yang lain.” “Aku tahu. Mereka itulah yang aku maksudkan saling bersaing. Yang satu menghancurkan yang lain.” “Persetan kau, Ki Sanak. Terserah kepada kalian berdua. Jika nasib kalian menjadi sangat buruk, itu salah kalian sendiri.” “Baik. Ki Demang. Kami akan menanggung akibat dari perbuatan kami berdua.” “Jika demikian, terserah kepada kalian. Aku bermaksud baik. Tetapi jika kalian tidak mau mendengarkannya, maka di hari yang lain aku akan mendengar sepasang suami istri telah dibantai di tepian Kali Praga.” Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu Ki Demang pun memberikan isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk pergi. “Tunggu, Ki Demang,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku-lah yang sekarang justru memperingatkan Ki Demang. Ki Demang seharusnya yang berdiri di tempat kami sekarang ini. Seharusnya Ki Demang-lah yang berbuat sesuatu di seluruh kademangan, untuk melawan para perampok itu.” “Aku belum menjadi gila, Ki Sanak. Jika aku melakukannya, maka rakyatku akan dibantainya sampai orang terakhir.” “Berapa jumlah laki-laki di kademanganmu? Kau, dan tentu Ki Jagabaya, memiliki kemampuan untuk melatih anak-anak muda dan bahkan semua laki-laki di kademanganmu.” “Sudah aku katakan, bahwa jumlah gerombolan itu cukup banyak. Mereka akan dapat datang bersama-sama ke kademanganku.” “Bukankah jumlah kademangan juga banyak? Kademangan-kademangan itu tentu akan bersedia saling membantu.” “Memang mudah dikatakan. Tetapi sulit dan bahkan tidak mungkin dilaksanakan.” “Ki Demang harus berani mencoba.” “Aku datang dengan maksud baik. Aku memperingatkan kalian demi keselamatan kalian. Sekarang justru kau yang menggurui aku.” “Bukan maksudku. Aku pun bermaksud baik.” Ki Demang tidak menjawab lagi. Tetapi Ki demang itu pun justru memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Glagah Putih pun tidak berbicara apa-apa lagi. Dibiarkannya Ki Demang itu pergi. Tetapi dugaannya bahwa Ki demang itu justru mempunyai hubungan rahasia dengan para perampok dan penyamun itu pun menjadi semakin tebal. “Agaknya dugaan Kakang benar,” desis Rara Wulan. “Akibatnya akan buruk sekali bagi rakyat di kademangannya. Lambat laun, jalan perdagangan itu pun benar-benar akan tersumbat, jika para perampok dan penyamun mempunyai hubungan rahasia dengan para penguasa di kademangan-kademangan.” “Apakah ada yang dapat kita lakukan?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita akan melihat lingkungan yang lain. Apakah suasananya sama dengan kademangan yang baru saja kita lewati.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi ada yang ingin aku bicarakan lagi, Kakang.” “Apa?” “Peti ini.” “Kita tinggalkan saja petinya. Kita bawa kitabnya. Tentu akan lebih mudah.” “Kita beli selendang di pasar yang dapat kita temui. Kita bungkus kitabnya, disembunyikan di bawah bajumu. Petinya dapat kita sembunyikan dimana saja.” “Kenapa harus disembunyikan? Tinggal saja dimana-mana.” “Sudah aku katakan. Aku senang peti itu. Ukirannya lembut sekali. Pada kesempatan lain, aku akan mencarinya.” “Baiklah. Nanti kita cari tempat untuk menyembunyikan peti itu.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Mereka yakin bahwa mereka akan melewati sebuah pasar, besar atau kecil. Sebenarnyalah sebelum tengah hari, keduanya memang sampai ke sebuah pasar. Pasar itu memang tidak terlalu besar. Tetapi ada orang yang menggelar dagangan kain dan selendang lurik di dalam pasar itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun singgah di pasar itu. Mereka langsung menuju ke tempat penjualan kain lurik itu. Rara Wulan pun membeli selendang lurik berwarna gelap. “Bagaimana kita harus membawanya?” “Kita ikat kitab itu. Kemudian selendang itu kau lingkarkan di perutmu, di atas ikat pinggangmu. Bukankah tidak akan banyak mengganggu?” “Tetapi tentu akan nampak menonjol pada bajuku.” “Tidak seberapa. Kitab itu kau tempatkan di perutmu.” “Aku akan nampak sebagai seorang berperut besar. Bagaimana kalau kau saja yang membawanya?” “Aku akan kelihatan seperti orang yang sedang mengandung.” Glagah Putih tersenyum. Ketika kemudian mereka meninggalkan pasar itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita harus mencari jalan simpang. Kita akan pergi ke gumuk kecil itu.” “Gumuk kecil itu tentu agak jauh dari tempat ini.” “Ya. Kita memerlukan tempat terpencil untuk menyimpan petimu, dan mencoba-coba cara untuk membawa kitab itu.” Rara Wulan pun mengangguk. Sebenarnyalah mereka pun kemudian turun ke jalan simpang. Semakin lama semakin jauh, menuju ke sebuah gumuk kecil yang nampak kehijau-hijauan. Agaknya pada gumuk kecil itu terdapat hutan meskipun tidak begitu lebat. Tetapi semakin dekat, Glagah Putih pun kemudian berkata, “Bukan hutan. Aku melihat banyak pohon nyiur yang nampaknya sengaja ditanam di kaki gumuk itu berkeliling.” “Ya, Kakang. Tetapi gumuk itu terletak di seberang padang perdu yang jarang dilewati orang.” “Ada jalan setapak menuju ke gumuk itu.” “Ya.” “Kita akan melihat apakah gumuk itu ada penghuninya.” Keduanya pun kemudian sampai di batas tanah persawahan dengan padang perdu. Tetapi keduanya masih dapat mengikuti jalan setapak menuju ke gumuk itu. Sedang di belakang itu terdapat sebuah hutan yang memanjang. Semakin dekat mereka dengan gumuk itu, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka melihat tanda-tanda bahwa gumuk itu berpenghuni. Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di kaki gumuk itu, mereka bertemu dengan seseorang yang berjalan dengan memikul beberapa buah bumbung legen. Agaknya orang itu baru saja nderes beberapa batang pohon kelapa. “Ki Sanak,” bertanya Glagah Putih, “apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini?” Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu pun berhenti. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Kemudian nampak dengan sedikit ragu ia pun menjawab, “Ya. Aku tinggal di gumuk itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah ada orang lain yang tinggal di sana?” “Ya. Ada beberapa keluarga yang tinggal di gumuk itu.” Rara Wulan menggamit Glagah Putih sambil berdesis, “Jika demikian, biarlah kita melewati gumuk itu. Bukankah kita mencari tempat yang tidak pernah dijamah oleh tangan manusia? bersambung

api dibukit menoreh 360