PENDAHULUAN Perkembangan tasawuf di Indonesia erat kaitannya dengan budaya-budaya bangsa Indonesia yang bersifat mistik, tasawuf dapat berkembang secara cepat dalam persebarannya,tasawuf yang merupakan bagian dari metode penyebaran ajaran Islam sangat mempunyai kemiripan dalam metode pendekatan-pendekatannya dengan pendekatan-pendekatan agama Bukuini kiranya hendak menjawab pertanyaan tentang hakikat Islam sebagai doktrin dan peradaban. Buku ini mengangkat isu-isu kunci seputar sosok Nabi Muhammad, al-Qur'an, hadis/sunnah, hukum/syariah, teologi/kalam, filsafat, dan tasawuf. Terkait peradaban, Rahman mengulas tentang tarekat, gerakan filsafat, perkembangan mazhab, pendidikan Hellobrad and sist fillahKami dari kelompok 6 -zayyan Habib -susilo adi-dandif rahardian- utami ningsihIngin membahas tentang Sejarah dan perkembangan tasaw 4 Sebutkan berbagai saluran islamisasi di Indonesia! Jawaban: Saluran islamisasi melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, tasawuf, dakwah, dan kesenian. 5. Jelaskan yang dimaksud dengan Pekojan! Jawaban: Pekojan adalah perkampungan para pedagang muslim yang ada di tepi pantai, bandar atau pelabuhan. Saatini, Indonesa telah menjadi negara dengan Mayoritas penduduknya beragama Islam. Jumlah penganut agama Islam diperkirakan mencapai 199.959.285 jiwa yang berarti sekitar 85,2% dari totol penduduk indonesia. Meskipun proses perkembangan islam di Indonesia cukup panjang, namun Islam merupakan Agama yang sangat mudah di terima oleh masyarakat. 70Ajaran Aswaja: Bidang Akidah, Fiqh dan Tasawuf. sesuatu, hatinya merasa senang dan puas, sedangkan kesenangan itu menjadi dua tingkatan, yaitu: pertama, kesenangan berupa kepuasan lahir, yang disebut Al-Ladhdhah, dan kedua, kesenangan berupa kebahagiaan batin, yang disebut As-Sa'adah. Dalam konteks ini, sebagaimana Mahjuddin (2009 phEcQ. - Bacaan manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani masih dilantunkan Kiai Uus dalam haul KH. Encep yang pertama di Bogor. Pembacaan ini menjadi rangkaian akhir acara setelah dilakukan pembacaan doa khatam Al-Qur’an dan tahlil. Usai manaqib dan doa penutup, jemaah yang datang mendapatkan suvenir dari tuan rumah berupa sarung yang dibungkus goodie bag berwarna merah. Makanan khas tahlilan juga didapatkan jemaah ketika acara berakhir. Manaqib merupakan memoar yang umumnya membahas riwayat hidup, garis keturunan, pendidikan, akhlak, keistimewaan-keistimewaan, hingga waktu wafatnya seorang tokoh besar yang dibacakan pada acara-acara tertentu, seperti syukuran, haul peringatan kematian, dan peringatan acara keislaman lain. Abdul Qadir Al-Jailani atau Al-Jaelani merupakan tokoh yang dianggap wali, sultannya para aulia, kerap dijuluki juga Kanjeng Tuan Syekh. Beliau merupakan tokoh sufi yang umumnya sering dibacakan dalam pembacaan manaqib di Indonesia. Tarekatnya memiliki pengaruh yang besar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Awal Mula Tasawuf di Indonesia Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektual yang berkembang pesat. Hampir semua ulama terkemuka pada periode itu adalah para sufi. Tasawuf atau sufisme masuk melalui berbagai jalur, termasuk melalui perdagangan, pernikahan, dan dakwah. Namun, pengaruh tasawuf di Indonesia pada awalnya terutama berasal dari para pedagang Arab, Persia, dan India yang berdagang ke wilayah membawa ajaran tasawuf dan menyebarkannya melalui aktivitas dagang di pelabuhan-pelabuhan utama. Mereka juga membawa kitab-kitab dan tulisan-tulisan tentang tasawuf yang kemudian dikaji dan dipelajari oleh masyarakat setempat. Pada awalnya tasawuf di Indonesia dipraktikkan secara individu dan tidak dianut sebagai sebuah tarekat. Namun, dengan berkembangnya jumlah orang yang tertarik dengan ajaran tasawuf, maka terjadilah transformasi tasawuf dari sekadar metode menjadi organisasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan setempat yang tertarik dengan ajaran Islam kemudian berguru kepada para sufi dan membentuk komunitas-komunitas Islam yang berkembang menjadi pesantren dan majelis-majelis zikir. Ini terjadi antara abad ke-13 hingga ke-16, ketika tarekat-tarekat mulai tumbuh. Para sufi seperti Hamzah Fansuri yang bertarekat Qadiriyah, berperan penting dalam mengembangkan pemikiran tasawuf di Indonesia, yang kemudian membentuk tarekat-tarekat yang lebih terorganisasi. Tarekat-tarekat inilah yang menjadi tulang punggung dakwah Islam dan memainkan peranan penting dalam memperkuat akar Islam di Nusantara. Karya-karya Hamzah Fansuri seperti Syaran al-Asyiqin yang membicarakan tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat bahkan dikenal luas dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Manuskrip aslinya kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan pengkodean Arifin dalam Sufi Nusantara Biografi, Karya Intelektual, & Pemikiran Tasawuf 2013 menulis bagaimana pengaruh Hamzah Fansuri lewat doktrin wahdat al-wujud menjadi rujukan Kesultanan Buton di Sulawesi, juga menjadi ilham lahirnya berbagai suluk di tanah Jawa. Periode berikutnya muncul beberapa tokoh awal tasawuf di Nusantara yang signifikan antara lain Syamsuddin As-Sumatrani, seorang syekh sufi yang banyak berkontribusi dalam bidang tasawuf dan menulis beberapa karya di antaranya Jauhar al-Haqa’iq, sebuah kitab berbahasa Arab yang berisi 30 halaman mengenai hakikat-hakikat tasawuf. Lantas ada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, syekh sufi yang tinggal di Aceh pada abad ke-17. Ia mengarang kitab berbahasa Melayu Bustan al-Salatin yang membahas tentang etika dan moral dalam menjalankan pemerintahan. Selanjutnya ada Syekh Yusuf Al-Maqassari, syekh sufi yang berasal dari Sulawesi Selatan yang bertarekat Naqsyabandiyah. Ia banyak berperan dalam penyebaran agama Islam di wilayah Sulawesi dan melakukan perlawanan terhadap Belanda hingga diasingkan ke Afrika Selatan. Dalam perkembangannya, tasawuf di Indonesia juga dipengaruhi oleh tradisi keagamaan lokal seperti kejawen, kebatinan, dan mistisisme Jawa. Hal ini terlihat dalam cara pelaksanaan zikir atau wirid, serta dalam praktik-praktik keagamaan yang unik dan berbeda dengan praktik-praktik tasawuf di Timur Tengah. Pada masa ini lahirlah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan tokoh sufi kontoversial, Syekh Siti Jenar. Peran Alawiyyin dan Wali Songo Perkembangan tasawuf di Indonesia setelah masa awalnya juga dapat dikatakan sebagai puncak penyebaran ajaran Islam, yakni sekitar abad ke-16 hingga ke-19. Pada masa ini, tasawuf berkembang pesat dan menjadi salah satu kekuatan besar dalam kehidupan sosial keagamaan Indonesia. Beberapa keturunan Nabi Muhammad yang berdatangan sejak abad ke-14, kemudian dikenal dengan Alawiyyin, juga memengaruhi corak dakwah dan tasawuf di Indonesia. Dibarengi dengan tarekat-tarekat sufi yang dikembangkan Wali Songo juga tumbuh subur. Salah satu Wali Songo ialah Sunan Bonang, beliau adalah putra dari Sunan Ampel. Ia mengajarkan tentang pentingnya menaklukkan tiga musuh utama manusia, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Lalu ada Sunan Kalijaga, dikenal sebagai tokoh sufi toleran yang menggabungkan ajaran Islam dengan budaya lokal. Mereka mengajarkan tasawuf melalui metode-metode yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Misalnya sering menggunakan bahasa dan simbol-simbol yang akrab dengan masyarakat, seperti kisah-kisah, puisi, kesenian wayang, dan musik, untuk menjelaskan konsep-konsep tasawuf yang kompleks. Para Wali Songo juga menekankan pentingnya bimbingan spiritual murid-syekh dalam praktik tasawuf. Mereka mengajarkan bahwa bimbingan dari seorang guru sufi yang terpercaya dan berpengalaman sangat penting dalam mengembangkan kemampuan spiritual seseorang. Abdul Wadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan 2013 menuturkan gambaran mengenai konsepsi akidah yang dianut Wali Songo dapat ditelusuri pada tokoh sentral Alawiyyin saat itu, Abdullah bin Alawi al­Haddad al-Husaini, yang menulis karya Ratib Al-Haddad, sebuah kitab mengenai amalan zikir dan doa-doa. Amalan ratib ini sering dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sebagai sarana mencapai kedekatan dengan Allah, mengingat-Nya, serta memohon perlindungan, keberkahan, dan ampunan-Nya. Peran Alawiyyin dan Wali Songo berpadu dalam bendera dakwah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Mereka mengajarkan bahwa praktik tasawuf harus berdampak pada pemahaman seseorang yang lebih dalam tentang Allah SWT, perubahan positif dalam diri, serta membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Tasawuf Indonesia di Era Kontemporer Pada masa ini, tasawuf tetap menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan di Indonesia. Orang-orang masih mengikuti tarekat-tarekat sufi dan mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf. Namun, tasawuf juga mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman. Ada banyak kelompok sufi baru yang muncul dan mencoba menggabungkan ajaran tasawuf dengan ideologi-ideologi baru. Selain itu, tasawuf juga memainkan peran penting dalam gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia seperti gerakan Islam modern dan gerakan keagamaan Islam politik. Tasawuf Modern merupakan buah pemikiran Buya Hamka, seorang ulama dan penulis yang dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Bukunya berisi kajian yang memadukan antara tradisi tasawuf yang telah ada sejak lama dengan akal sehat dan rasionalitas modern. Buya Hamka meyakini bahwa tasawuf tidak hanya terbatas pada upaya spiritual semata, namun juga memperhatikan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam bukunya, ia menjelaskan tentang konsep kesatuan manusia dengan alam semesta yang menjadi dasar penting dalam pemikiran tasawuf modern. Karyanya masih dipelajari di berbagai ranah pendidikan hingga kini. Tokoh-tokoh tasawuf zaman kiwari lain yang memiliki banyak pengaruh misalnya KH. Maimoen Zubair, yang dikenal sebagai kiai kharismatik dengan penyampaian dakwahnya yang sederhana. Sebelum wafat, ia aktif di berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama NU, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Majelis Ulama Indonesia MUI, dan Dewan Masjid Indonesia DMI. Tokoh sufi lain yang kerap menjadi rujukan berbagai kalangan tentu saja Habib Lutfi bin Yahya. Ia merupakan ulama pemimpin Tarekat Ba 'Alawiyya di Indonesia dan ketua Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah JATMAN. Tentu saja masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi terkenal di Indonesia selain yang disebutkan di atas, termasuk pesantren dan makam-makamnya yang masih menjadi tujuan berziarah, seperti Abah Anom dari Suralaya, Tasikmalaya. Lalu ada Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya. Kemudian ada Abah Guru Sekumpul di Kalimantan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan tasawuf di Indonesia dan masih dihormati oleh banyak orang hingga saat ini. Infografik Mozaik Tasawuf di Indonesia. Pengelompokan Tarekat JATMAN menjadi wadah dalam mengorganisasi tarekat di Indonesia sejak didirikan pada 10 Oktober 1957. Dalam klasifikasinya, sebagaimana dikutip Kompas, terdapat dua pengelompokan tarekat, yakni tarekat mu'tabarah, tarekat yang sah karena memiliki silsilah yang terhubung hingga Nabi Muhammad. Kemudian tarekat ghairu mu'tabarah, tidak sah karena silsilahnya tarekat yang tergolong tarekat mu'tabarah di Indonesia dan diakui oleh NU antara lain Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Syathariyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyah, dan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Sementara tarekat ghairu mu'tabarah atau tidak sah, misalnya Tarekat Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur. Meskipun sebagian besar berpegang teguh pada taraket lama, namun ada juga tarekat yang sama sekali baru, bahkan dianggap menyesatkan. Pertengahan 1970-an pernah ada Tarekat Hak Maliah di Banten. Awal mulanya adalah seorang Haji Mustafa, yang konon belum pernah berhaji, mengadu nasib ke Banten bermodal surat keterangan dari Kejaksaan Jakarta Timur dan dokumen ringkas dari Golkar. Ditemani asistennya, ia hendak menyebarkan Tarekat Hak Maliah ke seluruh wilayah Banten. Seturut catatan Tempo edisi November 1976, dalam waktu singkat mereka berhasil mengumpulkan 92 pengikut. Ia mengadakan ritual menanam pisang ambon yang dikafani layaknya manusia. Makam itu kemudian dianggap keramat. Kejanggalan mulai tercium aparat Kodim 602 Serang saat ajaran ini mulai menyatakan bahwa Nabi Muhammad dan Imam Syafei itu tidak ada, wali ada sepuluh, yang satu Pangeran. “Adapun yang dimaksud dengan Pangeran itu adalah pisang ambon dalam makam keramat tadi,” tulis Tempo dalam artikel bertajuk “Aliran Pisang Ambon”. Meskipun tasawuf mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman, ajaran-ajarannya tetap relevan pada kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam dan secara komprehensif juga berdampak pada perjalanan bangsa Indonesia. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi Uploaded byArief Hakim P Lubis 80% found this document useful 5 votes8K views3 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document80% found this document useful 5 votes8K views3 pagesPerkembangan Tasawuf Di IndonesiaUploaded byArief Hakim P Lubis Full descriptionJump to Page You are on page 1of 3Search inside document Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. A. Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia terkait erat dengan tasawuf. Peranan para sufi dalam dakwah Islam di Indonesia telah menyita secara kumulaatif menegaskan signifikansi peranan tersebut. Bukti paling sederhana dari signifikansi ini adalah kenyataan bahwa hampir semua ulama terkemuka periode awal Islam di Indonesia – Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nuruddin al- Raniri, Abd al-Ra’-f al- Sinkili, Muhammad Yusuf aal- Maqassari, dan lain-lain adalah para sufi. Konsekuensinya, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektuaal yang berkembang pesat di Indonesia sejak masa awal. Masih pada penghujung abad ke-16 dan paroh pertama abad ke-17, Hamzah Fansuri w. sekitar 1590 dan Al-Sumatrani w. 1630 telah mengembangkan pemikiran tasawuf falsafi berkembang terus dan membentuk tarekat-tarekat yang memungkinkannya berperan lebih mengakar, massal dan terorganisasi. Pada periode yang paling awal upaya semacam ini terutama ditempuh oleh mereka yang kemudian dikenal sebagai para zuhdah. Serangkaian pemikiran kemudian tumbuh diseputar kecenderungan ini. Yang paling relevan dalam pembahasan saat ini adalah pemunculan tarekat. Tarekat bisa dianut dan diamalkan secara individual, dan inilah yang nampaknya terjadi pada masa-masa awal hingga kira-kira abad ke-5/11. Tetapi dengan bertambahnya jumlah orang yang mengikuti metode tarekat tertentu, maka secara perlahaan terjadilah transformasi tarekat dari sekedar metode menjadi organisasi, sepanjang abad ke-6/12 dan sesudahnya. Trimingham menyimpulkan evolusi tarekat hingga menjadi organisasi, dengan membaginya ke dalam tiga tahapan Tahapan pertama, ketika tasawuf masih sangat sederhana. Para guru dan murid hidup sebagaimana orang biasa dengan beberapa aturan yang juga sederhana, hingga kemudian munculnya fenomena pemondokan sufi yang disebut dengan khanqah. Tahapan kedua, adalah ketika pengajaran yang berkesinambungan sudah membentuk ilsilah tariqah”, Ajaran dan metode-metode kolektif yang mulai ditransmisikan secara teratur membentuk tarekat yang terorganisasi dengan tradisi yang mulai membaku. Tahap kedua ini berlangsung sekitar abad ke6/12 hingga penghujung abad ke-8/14. Tahapan ketiga, sejak abad ke-9/15 adalah ketika tasawuf yang terorganisasi menjadi gerakan massal membentuk aliran-aliran dan sub-sub kelompok ta’ifah. Dalam konteks perkembangan tarekat sebagaimana disebut di atas, Islam mengalami penyebaran besar-besaran di Indonesia setelah tarekat mencapai fase ketiga dari perkembangnnya. Akhir abad ke-16 hingga paroh pertama abad ke-17 biasanya dianggap sebagai era yang sangat penting dalam pembentukan tradisi tasawuf di Indonesia. Dua tokoh utama, Hamzah Fans-ri w + 1590 dan muridnya. Syams al-Din al- Sumatrani w. 1630 merupakan tokoh dominan era ini. Hamzah Fansuri biasa dianggap sebagai pelopor sastra sufi Melayu, sebab sebelumnya dunia Melayu tidak mengenal karya-karya sufi yang bisa disebut sebagai karya Melayu asli. Puisi-puisi mistis karya Hamzah Fans-ri indikatif terhadap afiliasinya kepada sebuah tarekat. Tetapi kelihatannya hal ini tidak didukung oleh bukti langsung, sehingga tidak mungkin menghasilkan kesimpulan final. Bahkan Bruinessen, seorang otoritas kajian tasawuf di Indonesia, tetap tidak konklusif tentang hal ini. Sementara ia memastikan penyebaran ilmu ajaran ? Abd al- Qadir al-Jilani ke Indonesia dan sempat menempatkan Hamzah Fansuri sebagai “orang Indonesia pertama yang kita ketahui secara pasti menganut tarekat Qadiriyah,” Bruinessen juga bertanya “Apa sebetulnya ilmu Abdul Qadir Jilani’ yang diajarkan di Aceh dan Jawa ? Apakah kita boleh mengidentikkannya dengan tarekat Qadiriyah, ataukah ilmu yang dimaksudkan hanya sejenis ilmu kekebalan? Pertanyaan itu sendiri kelihatannya tidak dijawab dengan pasti, dan dengan demikian menimbulkan keraguaan kita terhadap ungkapannya yang pertama. Ajaran tasawuf yang paling menonjol dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani berporos pada pemikiran wahdatul wujud yang kemudian dielaborasi dalam konsepsi martabat tujuh yang ekspressi finalnya dapat dilihat dalam Kitab al-Harakat karya al-Sumatrani. Dari sudut pemikiran, martabat tujuh agaknya bersumber dari kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh An-Nabi yang merupakan karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India. Al-Burhanpuri sendiri bisa disebut sekedar menyederhanakan ajaran al- insan al-kamil dari sufi Abd al- Karim Al-Jili w. 1408, yang pada gilirannya adalah merupakan penafsiran atas pemikiran-pemikiran Muhy al-din Ibn Arabi w. 1240. Meskipun ajaran martabat tujuh tidak diperkenalkan sebagai tarekat tingkatan-tingkatan tersebut bisa melahirkan kesan yang mirip dengan tahapan-tahapan yang umum terdapat pada tarekat. Hal yang sama juga benar tentang karya Syams al- Din al-Sumatrani yang lain yaitu Tanbih al-Tullab li Ma’rifat Malik al-Wahhab yang antara lain berisi petunjuk pelaksanaan zikir. Di sini diperkenalkan berbagai jenis dan tingkatan zikir dalam format yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terdapat dalam tarekat-tarekat. Sementara Al-Burhanpuri diketahui sebagai penganut tarekat Syattariyah, karya-karya Syams al- Din al-Sumatrani tidak memberi petunjuk apakah ia menganut tarekat ini, atau tarekat yang lainnya. Tetapi menarik untuk dicatat Syattariyah menjadi sangat populer di kalangan orang Indonesia yang kembali dari Arabia, tidak lama setelah wafatnya Syams al-Din al-Sumatrani. Tanpa adanya petunjuk tentang hubungan antara Syams al-Din al-S-maatrani dengan tarekat, maka alur argumentasi ini tidak mungkin diselesaikan, paling tidak untuk sementara. Yang bisa dinyatakan adalah bahwa tarekat Syattariyah menjadi populer, meskipun tidak diketahui pasti hubungannya dengan Syams al-Din al-Sumatrani. Fenomena lain yang menonjol dalam perbincangan tarekat di Indonesia adalah adanya reaksi negatif terhadap ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani. Reaksi ini dipersonifikasikan oleh Nuruddin al- Raniri w. 1666 yang menjadi sangat populer terutama karena kontroversinya dengan murid-murid Syamsuddin al-Sumatrani. Nur al- Din al-Raniri menuduh mereka sebagai penganut panteisme yang sesat. Begitupun, analisis terhadap ajaran-ajarannya menunjukkan bahwa Nur al-Din al-Raniri menganut faham wahdat al-wujud dalam versi yang lebih menganut tarekat Rifa’iyah melalui silsilah dari Gujarat, kampung halamannya. Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya dengan Nur al- Din al-Raniri, tetapi tarekat ini masih meluas di Aceh hingga abad ke-19. Tidak tertutup kemungkinan malah kemungkinannya lebih besar bahwa keberadaan tarekat ini adalah hasil penyebaran pada masa sesudah Nur al-Din al-Raniri. Dari aspek jalur transmisi, hingga Nur al-Din al- Raniri, tarekat masuk ke Indonesia dari Timur Tengah via India. Para era selanjutnya, jalur transmisi yang dominan adalah para ulama Jawi yang ada di Hijaz. Salah satu hal yang menarik dari fenomena penyebaran tarekat ke Indonesia adalah bahwa kebanyakan penyebar awal yang langsung diinisiasi di Hijaz atau tempat lain tidak hanya menganut satu tarekat, tetapi beberapa tarekat sekaligus, kemudian memilih salah satu tarekat yang terutama disebarluaskan di Indonesia. Lalu, dalam perkembangan selanjutnya kecenderungan yang lebih dominan adalah penganutan satu tarekat secara terbatas. Trend ini tampaknya memberikan sumbangan besar bagi berkurangnya sifat individualisme tarekat sebagai doktrin dan metode, serta terhadap proses transformasi tarekat menjadi organisasi. dan dengan terbentuknya organisasi- organisasi tarekat, maka tasawuf mendapatkan ekspressi bagi dimensi sosialnya, dan mengubahnya menjadi sebuah gerakan berbasis massal. B. Perkembangan Tasawuf di Indonesia Wacana tasawuf khususnya tasawuf falsafi di Nusantara dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas Sumatera pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak. Menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syahahat-nya yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera. Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan Ala al- Din Ri’ayat Syah berkuasa 977- 1011H/1589-1602M. Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M. Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Kualitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat mempelajari ilmu- ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga dia dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi. Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” pesantren di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekh Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh lawan-lawannya’ yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah. Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Dalam karyanya tersebut Hamzah menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk. Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru- murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol. Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al- Daqaiq, Thariq al-Shalikin, I’raj al- Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknya sama dengan yang diajarkan al-Burhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan. Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan. Kedua tokoh dengan ajaran yang saling melengkapi ini bagaimanapun juga telah mengajarkan dan secara sempurna tentang tasawuf falsafi yang kemudian diikuti oleh banyak pengikutnya di Nusantara dan Indonesia. Tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf dalam akhlak mukmin yang terpancar dari bathinnya sehingga berpengaruh kepada seluruh tingkah lakunya. Tasawuf akhlaki menuntut keikhlasan yang murni semata-mata karena Allah. Sikap jiwa dididik agar memandang segala sesuatunya karena Allah dan akan kembali kepada Allah. Memandang sesuatu karena Allah akan timbul kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Cinta kepada Ilahi yang mendalam juga dimanifestasikan dalam cinta kepada makhluk-Nya, baik kepada sesama manusia maupun alam semesta. Atas dasar cinta itulah terjadi komunikasi yang harmonis antara Allah, manusia dan alam semesta. Inilah kawasan tasawuf akhlaki dalam kehidupan Muslim. Tasawuf akhlaki memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan sunah dan menjauhi penyimpangan- penyimpangan yang menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Tasawuf tipe ini disebut “Tasawuf Suni” al- tashawwuf al-Sunni. Bila tasawuf sunni akhlaki memperoleh bentuk yang final di tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai puncak’ kesempurnaan dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dari Andalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ide yang berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang amat memadai. Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya dengan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang Tuhan dan alam metafisik. Ide-ide yang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syahadat-nya. Sementara tasawuf sunni tidak mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar, menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin. C. Kontribusi Tasawuf di Indonesia 1. Kontribusi dalam Perjuangan di Indonesia Ketika tasawuf telah melembaga menjadi organisasi tarekat, akhinya tarekat memiliki pertambahan jumlah penganut yang sangat cepat, meskipun ini hampir selalu berarti penganut awam. Bagi tarekat sebagai sebuah organisasi pertambahan ini tentulah merupakan hal yang positif dalam artian semakin membesarnya organisasi. Untuk kasus Indonesia, meskipun sebagai sebuah lembaga dan metode tarekat sudah mulai menyebar sejak abad ke- 16, tarekat sebagai organisasi baru mulai kelihatan pada penghujung abad ke-18 dan menjadi fenomena pada abad berikutnya. Dengan menjadi organisasi, maka tarekat memiliki jaringan yang bisa sangat luas, sesuai dengan tingkat penyebaran tarekat dimaksud. Sebagai sebuah organisasi tarekat juga mengembangkan kecenderungan untuk secara sengaja mengirim perwakilan khalifah, badal ke daerah-daerah tertentu. Di sisi lain, dengan semakin banyaknya penganut awam dalam tarekat dan ini adalah konsekwensi logis dari pertumbuhannya sebagai organsiasi, maka tumbuh pulalah kecenderungan kepengikutan’ total kepada para pemimpin tarekat. Dan ini, meskipun mungkin sering dianggap sebagai kemandegan pengembangan konseptual, tetapi justru mendukung kemudahan mobilisasi massal pada saat yang dibutuhkan. Tarekat dalam artian organisasi seperti inilah yang kemudian berperan’ aktif dalam berbagai peristiwa sejarah Indonesia, khususnya dalam protes-protes menentang penjajah. Kita bisa mencatat peranan yang dimainkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah dalam menentang usaha pendudukan kota Palembang oleh kekuatan Belanda pada 1819, atau perlawanan di Kalimantan Selatan pada 1860-an. Dalam pemberontakan Banten 1888 yang sangat terkenal, terdapat indikasi kuat keterlibatan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khususnya dalam penyediaan jaringan mobilisasi massa. Tarekat yang sama juga berperan dalam pertentangan Muslim-Hindu di Lombok pada tahun 1891. Ketika Belanda memberlakukan pajak baru atas komoditi tembakau di Sumatera Barat, masyarakat juga bangkit melawan, dan dalam perlawanan ini terlibat intens tarekat Syattariyah. Di Sumatera Utara khususnya Langkat juga didapati informasi bahwa Tuan Guru Syeikh Abdul Wahab Rokan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah dituduh Belanda membanntu rakyat Aceh melawan penjajah Belanda. 2. Kontribusi dalam Pembentukan akhlak Masyarakat Tarikat menurut Abdullah Ujong Rimba adalah cara atau kaifiyat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai satu tujuan. Cara atau kaifiyat dimaksud adalah cara sebagaimana yang telah diformulasikan dan ditata sedemikian rupa oleh sufi-sufi besar dan guru- guru tarikat sendiri yang sudah demikian banyak jumlahnya. Namun, semua kelompok tarikat yang berkembang tersebut mengamalkan tiga ajaran dasar yang sama sebagaimana disinggung di atas yaitu takhallī, taḥallī dan tajallī . Salah satu tarikat terbesar yang berkembang hingga sekarang adalah Tarikat Naqsyabandiyah. Salah satu Pusat Pengembangannya terdapat di desa Babussalam Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Aliran tarikat ini menurut Rimba tergolong tarikat sufiyah yang cara mengerjakan amal ibadahnya tanpa begitu terikat dengan Alqur’an dan Alḥadiṡ, tetapi menurut ajaran yaug diformulasi oleh guru sufi atau guru tarikat yang mengajarkannya. Sebagai pembentukan dari tasawuf akhlaki dan amali, maka pengamalan ajaran tarikat ini menggunakan pendekatan akhlak dan amalan tertentu yaitu zikir dan doa. Pengamalan ajaran tersebut bertujuan untuk mencapai hakikat atau kasyaf sehingga semakin dekat dengan Allah. Pelaksanaan amalannya sendiri harus di bawah binbingan dan kontrol seorang guru atau mursyid. Oleh karena dibimbing dan dipimpin oleh guru mursyid untuk menempuh jalan dalam mencapai hakikat, maka tarikat ini dinamakan juga dengan tarikat suluk. peribadi yang saleh dan berakhlak mulia. Perbuatan yang demikian itu dilakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri dan bukan karena paksaan. Sehingga hasil perubahan akhlaknya lebih permanen karena dikerjakan oleh orang yang sadar apalagi dewasa. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bisshowab. Terimakasih. Baca juga Hakikat, Pengertian, Macam-Macam dan Contohnya Link jurnal Tasawuf atau yang lebih dikenal dengan sebutan sufisme adalah salah satu cabang dalam agama Islam yang memiliki pandangan keagamaan yang unik. Tasawuf mengajarkan tentang kesalehan individu dalam meraih kebahagiaan spiritual melalui praktik-praktik khusus seperti meditasi, zikir, dan tafakkur. Sejarah dan perkembangan tasawuf di Indonesia sangatlah penting untuk dipelajari dan diketahui karena tasawuf memiliki pengaruh yang besar terhadap kebudayaan dan masyarakat Indonesia. Sejarah Tasawuf di Indonesia Tasawuf pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi, melalui perdagangan dan hubungan diplomatik antara Kerajaan Samudra Pasai di Aceh dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. Pada masa itu, tasawuf banyak dipraktikkan oleh para pedagang dan ulama yang datang dari Arab, Persia, dan India. Mereka membawa ajaran tasawuf dan mengajarkannya kepada masyarakat Indonesia. Pada abad ke-16 Masehi, tasawuf semakin berkembang di Indonesia, terutama di wilayah Jawa dan Sumatera. Pada masa itu, tasawuf menjadi aliran keagamaan yang sangat populer di kalangan rakyat jelata. Hal ini karena tasawuf memberikan ajaran yang mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada abad ke-17 Masehi, tasawuf semakin berkembang pesat di Indonesia. Hal ini karena adanya bermacam-macam tokoh sufi yang datang ke Indonesia dan menyebarkan ajaran tasawuf. Salah satu tokoh sufi yang terkenal pada masa itu adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merupakan salah satu ulama sufi yang berasal dari Jawa Tengah. Ia banyak menyebarkan ajaran tasawuf di Jawa dan Sumatera. Perkembangan Tasawuf di Indonesia Perkembangan tasawuf di Indonesia terus berlanjut hingga saat ini. Tasawuf menjadi salah satu aliran keagamaan yang sangat populer di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengajian tasawuf dan kegiatan-kegiatan spiritual yang diadakan di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia adalah adanya pengaruh budaya lokal. Tasawuf di Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Sunda. Hal ini terlihat dari banyaknya ritual-ritual keagamaan yang diadakan dalam praktik tasawuf yang menggunakan bahasa dan budaya Jawa atau Sunda. Selain itu, perkembangan tasawuf di Indonesia juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dan sosial di Indonesia. Pada masa Orde Baru, tasawuf di Indonesia mengalami penekanan dan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Namun, setelah reformasi, tasawuf kembali berkembang pesat di Indonesia. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia Tasawuf di Indonesia tidak lepas dari tokoh-tokoh sufi yang memperkenalkan dan menyebarkan ajaran tasawuf. Berikut ini beberapa tokoh sufi terkenal di Indonesia 1. Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga merupakan salah satu ulama sufi terkenal di Indonesia. Ia berasal dari Jawa Tengah dan banyak membawa pengaruh dalam perkembangan tasawuf di Jawa dan Sumatera. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh sufi yang merakyat dan mudah didekati oleh orang awam. 2. Syekh Siti Jenar Syekh Siti Jenar merupakan seorang sufi yang berasal dari Jawa. Ia banyak menyebarkan ajaran tasawuf di Jawa pada abad ke-15 Masehi. Namun, ajarannya yang kontroversial membuatnya dianggap sesat dan dihukum mati oleh pemerintah pada masa itu. 3. Syekh Abdul Qadir al-Jailani Syekh Abdul Qadir al-Jailani merupakan seorang sufi terkenal yang berasal dari Irak. Namun, ajarannya banyak dipelajari dan diikuti oleh masyarakat Indonesia. Ia banyak disebut-sebut sebagai pendiri tarekat Qadiriyyah yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. 4. Syekh Yusuf al-Makassari Syekh Yusuf al-Makassari merupakan seorang sufi terkenal yang berasal dari Makassar. Ia banyak menyebarkan ajaran tasawuf di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Syekh Yusuf juga dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia karena peranannya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Kesimpulan Tasawuf merupakan salah satu cabang dalam agama Islam yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kebudayaan dan masyarakat Indonesia. Sejarah dan perkembangan tasawuf di Indonesia dapat dipelajari dari banyaknya tokoh sufi yang memperkenalkan dan menyebarkan ajaran tasawuf di Indonesia. Perkembangan tasawuf di Indonesia dipengaruhi oleh budaya lokal, perkembangan politik dan sosial di Indonesia. Namun, hingga saat ini, tasawuf tetap menjadi salah satu aliran keagamaan yang sangat populer di Indonesia. Judul Buku Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf Penulis Prof. Dr. Hamka Penerbit Republika Cetakan I, Juni 2016 Tebal xii + 337 halaman ISBN 978-602-0822-303 Peresensi Sam Edy Yuswanto* Penulis lepas, penikmat buku, bermukim di Kebumen. Ilmu Tasawuf telah tumbuh dan berkembang sejak lama, tepatnya sejak zamannya Nabi Muhammad Saw. Ilmu Tasawuf memiliki banyak manfaat, salah satunya dapat menjadi alat untuk menghadapi kehidupan ini. Dengan tasawuf, orang-orang besar Islam seperti Diponegoro, Imam Bonjol, dan Cik Di Tiro menentang penjajahan. Dengan tasawuf, Amir Abdul Kadir al-Jazairi berani melawan Prancis. Pada abad kedua, Tasawuf hanya terkenal di Kufah dan Bashrah. Baru pada permulaan abad ketiga, Tasawuf mulai tumbuh dan berkembang secara luas ke kota-kota lain, bahkan hingga ke kota Baghdad. Pada masa itu, esensi Tasawuf terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika atau ilmu tentang hal yang gaib hal 115-118. Terkait definisi Tasawuf itu sendiri, terdapat keberagaman pendapat. Ada yang berpendapat, kata Tasawuf diambil dari kata shafaa, artinya bersih. Ada juga yang berpendapat bahwa Tasawuf berasal dari kata shuffah, yaitu sebuah kamar di samping masjid Rasulullah Saw. di kota Madinah yang sengaja disediakan untuk para sahabat beliau yang miskin tapi memiliki iman kuat, di mana kebutuhan makan minum mereka ditanggung oleh orang-orang mampu kaya di Madinah. Ada juga yang berpendapat, kata Tasawuf berasal dari kata Shaff, yaitu barisan-barisan shaf dalam shalat, sebab orang-orang yang kuat imannya dan murni kebatinannya itu biasanya shalat dengan memilih shaf pertama hal 100. Namun, beragam pendapat tentang definisi Tasawuf di atas ternyata masih kurang tepat. Secara detail, Al-Junaid, salah satu tokoh besar Tasawuf, mengemukakan; Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal instink kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting terlebih bersifat kekal, menaburkan nasihat pada sesama manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan meneladani syariat Rasulullah Saw hal 104. Seorang ahli Tasawuf sufi sejati, biasanya menjunjung tinggi syariat dan akan menjalankannya dengan tidak banyak bertanya. Jika mereka bertemu dengan satu perintah atau larangan, mereka akan turuti atau hentikan dengan perasaan ridha dan patuh. Bahkan terkadang, hadits yang dipandang dhaif lemah oleh para ahli hadits pun diamalkan isinya oleh mereka dengan tidak banyak menanyakan siapa yang merawikan hal 108. Pada abad ketiga dan keempat, esensi utama ilmu Tasawuf adalah tentang hubungan cinta manusia dengan Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah terlebih dahulu telah mengungkapkan jiwa ke-Tasawufan dengan ajarannya yang terkenal, yaitu Hubba, cinta. Sementara itu, Ma’ruf al-Karakhi, seorang pemimpin besar Tasawuf di Baghdad, menambah hasil peroleh jiwa dari cinta itu, yakni Thuma’ninah ketenteraman jiwa karena cinta. Ketenteraman jiwa itulah yang menjadi tujuannya. Sebab, kekayaan yang sebenarnya dan bersifat kekal itu bukanlah berupa harta benda, melainkan kekayaan hati. Kekayaan hati hanya bisa diperoleh dengan jalan makrifat, yang kenal pada yang dicintai. Sebab, apabila yang dicintai itu telah dikenal, maka kebahagiaan dan ketenteraman hati akan dengan mudah diperoleh. Dengan demikian, akan tampak kecil segala urusan “kebendaan” dalam penglihatan mata-hati. Haris al-Muhasibi pernah menjelaskan bahwa rasa cinta seorang makhluk kepada Sang Khaliq merupakan anugerah Ilahi yang disemaikan Tuhan di dalam hati orang yang mencintainya hal 116-117. Melalui buku ini, Buya Hamka berupaya menyelidiki Tasawuf Islam sejak dari masa tumbuhnya, tepatnya sejak awal Islam ditegakkan oleh Nabi Muhammad Saw. bersama para sahabat, hingga membahas hubungan antara Tasawuf dengan Filsafat. ———- *** ———–

pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia